webnovel

GADIS 100 MILIAR

Zizi tidak pernah menyangka papanya yang sangat menyayanginya telah menjualnya pada seorang pengusaha kenalannya. Hidupnya berubah dalam semalam. Dimulai dari pesta palsu yang berakhir tragis hingga hampir saja dia kehilangan keperawanannya, lalu dikurung di sebuah mansion. Pengusaha yang membelinya memiliki kepribadian ganda. Suatu waktu dia sejahat monster, di waktu yang lain dia menjadi sebaik malaikat. Pria itu selalu berhasil mengaduk-aduk perasaannya. Dia melukainya, namun dia juga yang menyembuhkannya. Pria bermata hijau juga berhasil memenangkan hatinya, membuatnya jatuh cinta dan mencintai dengan sepenuh hati untuk pertama kalinya dalam hidupnya. * Novel ini awalanya bercerita tentang Zizi, seorang gadis berumur 27 tahun, yang dijual ayahnya seharga 100 miliar rupiah pada kolega bisnisnya yang bernama Andres, seorang pria blasteran Indonesia-Spanyol berumur 31 tahun. Benih-benih cinta muncul sejak pertemuan pertama mereka di malam pertama Zizi diantarkan papanya ke rumah Andres. Zizi yang memimpikan pria bermata hijau dan Andres yang mencari perempuan bermata hitam menyuburkan benih-benih cinta yang tumbuh. Kisah cinta mereka diselingi kisah-kisah cinta dari orang-orang terdekat: sahabat Andres bernama Dika, adik Zizi bernama Betrand, sepupu perempuan Andres bernama Ariel dan banyak tokoh lainnya yang akan muncul secara bertahap.

Giralda_Blanca ¡ Urban
Not enough ratings
170 Chs

KEPRIBADIAN GANDA

Usai ciuman yang ternyata bisa berakhir lebih cepat, pria itu menaruh keningnya di kening Zizi lalu menekan hidungnya pada hidung Zizi.

"Diam," perintahnya dengan suara berbisik.

Udara hangat yang keluar dari mulutnya yang terbuka ketika berbicara menyentuh bibir Zizi yang basah dan sekarang ditambah hembusan hangat dari helaan napasnya yang cepat dan keras. Zizi merasa sekujur tubuhnya memanas. Dia bisa gila jika pria ini tidak menarik wajahnya.

"Iya," jawab Zizi.

Zizi merasakan tekanan di kening dan hidungnya berkurang sedikit lalu beberapa detik kemudian bibirnya mendapatkan tekanan yang lebih kuat. Pria itu menciuminya lebih intens dan panas yang sepertinya tidak akan berakhir cepat. Oh, tidak! Harusnya Zizi mengikuti perintah pria itu diam, tidak hanya tidak bergerak tapi juga tidak mengatakan sepatah katapun.

"KALAU AKU BILANG DIAM, KAMU HARUS DIAM!!!" Teriak pria itu marah setelah menghentikan ciumannya dengan tiba-tiba.

Benar, pria itu menghentikan ciumannya secara tiba-tiba. Zizi memang tidak membalas ciumannya dan Zizi juga tidak pernah berciuman sebelumnya, tapi dia tahu dari beberapa film yang ditontonnya dan novel yang dibacanya kalau cara pria itu menghentikan ciumannya barusan bukan cara mengakhiri ciuman yang benar. Harusnya pria itu mengakhiri ciumannya seperti ciumannya sebelumnya. Zizi berhenti bernapas ketika sadar apa yang baru saja dia pikirkan.

Pria itu menaruh gelasnya di atas meja. Dia baru selesai minum.

"Aku minta maaf," ucap pria itu sambil menatapnya.

Zizi tidak langsung menjawab. Dia balas menatap mata hijaunya sambil menimbang-nimbang apakah dia bisa memaafkannya.

"Kamu mau minum?" Tanya pria itu tiba-tiba ketika dia hendak menerima permintaan maafnya.

"Kamu mau pakai gelas ini atau aku ambilkan gelas lain?" Tanyanya lagi sebelum Zizi menjawab pertanyaan sebelumnya.

"Pakai gelas itu saja," jawab Zizi lalu menelan air liurnya.

Pria itu menarik sehelai tisu dan mengelap pinggiran gelasnya. Zizi melihatnya dengan tatapan horor. Astaga... Zizi tercengang. Setelah mengelap wajahnya dengan tisu basah yang diproduksi untuk membersihkan pantat bayi, sekarang pria itu melakukannya lagi untuk mengelap gelas yang akan diminumnya.

Pria itu menuang air dalam gelas. Mata Zizi memperhatikan tangannya yang besar dengan bulu yang lumayan lebat dan urat yang menonjol. Pandangan matanya bergerak ke atas menyadari tatapan pria itu di wajahnya. Wajahnya memanas.

"Minum?" Tanya pria itu.

Zizi mengangguk. Dia sepertinya trauma mengucapkan kata 'iya'.

Pria itu mengambil gelas yang sudah terisi penuh. Setelah itu, tangan kirinya merangkul lengan kiri Zizi sambil mengeser tubuhnya mendekat. Zizi bisa mencium aroma parfumnya. Tubuhnya kembali bergetar. Dia sempat berniat menggerakkan bahunya agar pria itu melepaskan pelukannya, namun sesuatu memaksanya memilih diam. Zizi menurut saja ketika pria itu membantunya minum.

"Lagi!" Kejar Zizi ketika pria itu hendak menaruh gelas yang airnya masih tersisa setengah. Dia belum selesai minum.

"Kamu kehausan?" Tanyanya sambil tertawa.

Suara tawanya terdengar renyah di telinganya. Zizi tidak bisa membendung senyumnya. Pria itu kembali menyodorkan gelas. Zizi menghabiskan airnya dengan dua kali tegukan karena pria itu menarik gelasnya lagi sebelum dia meminum semuanya.

Sekarang pria itu menggeser piringnya ke depan Zizi lalu mengambil sepotong roti dan menunjukkan padanya.

"Coba sedikit dulu. Jangan ditelan kalau kamu tidak suka. Kamu boleh memuntahkannya," katanya, dengan nada pelan.

Zizi menoleh dan mendapati betapa dekat posisi hidung mereka. Helaan napasnya tercekat. Pelan-pelan dia memutar kembali kepalanya sambil merasakan gemuruh di dadanya.

Pria itu berkata lagi, "menurutku enak. Hanya saja mungkin lidahmu tidak cocok."

Zizi menoleh lagi sambil memundurkan kepalanya agar kejadian tadi tidak terulang lalu memberanikan diri berkata, "aku coba."

Pria itu mengarahkan rotinya pada mulutnya. Zizi menggigitnya dan mengunyahnya pelan. Aroma dan rasa rempahnya kuat, tapi cukup bisa dinetralkan dengan rotinya. Setelah semua tertelan, rasanya masih tertinggal di lidahnya sehingga membuatnya ketagihan.

"Enak," kata Zizi.

Karena Zizi tahu pria itu menunggu komentarnya, jadi dia memberitahu dengan jujur.

Pria itu tersenyum. Zizi tidak munafik untuk mengakui senyumnya menawan. Zizi sempat memerhatikan sekilas mata hijaunya. Semburat warna kuning, abu-abu, dan biru yang menghiasi irisnya terlihat menakjubkan. Pria itu menyodorkan sisa rotinya. Zizi menyambutnya dengan gigitan yang lebih besar. Selanjutnya tidak ada percakapan hingga Zizi menghabiskan semuanya. Zizi menebak pria ini memiliki kepribadian ganda. Saat ini dia menjadi orang baik yang penuh perhatian. Dia tahu kapan waktunya menyodorkan roti dan kapan waktunya mengambilkan air minum. Beberapa kali jemarinya menyampirkan anak rambutnya ke belakang telinga lalu Zizi akan gemetaran di buatnya.

"Sepertinya kamu tidak sedang tidak lapar," pria itu mencibir dengan meminjam kata-katanya.

"Aku hanya tidak mau seseorang memakanku karena aku menolak memakan makanannya," balasnya, lalu langsung menyesal karena berbicara tanpa dipikir terlebih dahulu. Bagaimanapun jawaban itu meluncur deras begitu saja dari mulutnya tanpa bisa dibendung.

Jempol pria itu mengusap bibir bawah Zizi dan membuat napasnya tercekat. Oh, tidak! Mulut sialannya melakukan kesalahan lagi!

"Ada sisa makanan di bibirmu," pria itu memberi tahu sambil mengerling lalu mengacak rambut Zizi sebelum bangkit berdiri dan membereskan meja.

Zizi menghempaskan kepalanya pada sandaran sofa. Untung, pikirnya. Tiba-tiba perutnya mulas. Zizi ingin buang air besar. Kantong kemihnya juga telah terisi penuh.

"Aku-" Zizi berdiri seketika dan kain yang tadi membungkus tubuhnya yang setengah telanjang jatuh ke lantai.

Pria itu baru saja memungut garpu di lantai ketika menoleh pada Zizi. Sekarang garpunya jatuh lagi. Zizi menatap ke bawah dan melihat sesuatu yang tidak seharusnya dilihat pria itu lagi. Matanya segera beralih pada pria itu yang untungnya sekarang sedang memungut lagi garpu yang jatuh dan menaruhnya di atas piring.

Zizi memohon sambil memelas, "aku harus ke toilet sekarang. Tolong buka ikatan tanganku."

Pria itu tidak mendengarkan. Dia bahkan tidak menoleh padanya.

Zizi menawar, "kamu bisa mengikatnya lagi setelah aku selesai."

Pria itu berjalan menuju lemari.

Zizi memohon-mohon lagi, "aku mohon. Tolonglah. Aku janji tidak akan kemana-mana."

Zizi berjalan mendekatinya. Apapun caranya dia harus mendesak pria itu membuka ikatan tangannya. Keadaannya sangat genting sekarang.

Pria itu membuka-buka pintu lemari seperti sedang mencari sesuatu.

Zizi kembali bersuara, "aku tidak bisa membersihkan diri dengan tangan terikat seperti ini. Aku mohon beberapa menit saja."

Pria itu terlihat enggan menarik tangannya dan membuka ikatannya.

"Terima kasih," ucap Zizi dengan tulus.

"Tunggu!" Serunya, ketika Zizi hendak berlari mencari toilet.

Pria itu melanjutkan kembali membuka pintu-pintu lemari lebih cepat. Zizi menunggu sambil memijat kedua pergelangan tangannya bergantian.

"Mandi dan pakai ini," perintahnya, lalu menaruh baju dan pakaian dalam wanita di telapak tangannya.

"Handuknya sudah ada di dalam," tambahnya, sambil menunjuk ke arah pintu di belakang mereka tempat toilet itu sepertinya berada.