webnovel

Perjalanan Nirwana

Di tengah hutan belantara yang lebat, terdapat sebuah benteng pertahanan yang menjulang gagah, menjadi penjaga setia di tengah keheningan alam liar. Benteng itu terbuat dari batu-batu besar yang disusun dengan rapi, mencerminkan kekuatan dan kestabilan struktur kerajaan pada era tersebut. Gerbang besi yang berat terbuka perlahan, mengungkapkan seorang prajurit gagah yang menunggang kuda perkasa, langkahnya mantap menuju ke dalam benteng.

Seorang prajurit baru saja turun dari punggung kudanya, tatapannya tajam saat melihat seorang kesatria yang berdiri tegap di halaman pondok. Langkahnya menyusuri tanah halaman yang terbuka, menuju ke arah kesatria yang hadir dengan sikap yang gagah.

"Ada apa, prajurit? Bukankah kau adalah salah satu dari rombongan Helena yang telah meninggalkan benteng kemarin lusa?" tanya William dengan rasa penasaran yang kental.

Prajurit itu sontak menekuk lengan kirinya dengan kepalan tangan kanan hingga berhasil menyentuh bagian dada sebelah kanannya. "Lapor, Tuan William. Saya telah menerima perintah dari Nona Helena tentang adanya penjemputan terhadap Tuan Nirwana yang tengah diundang oleh Yang Mulia ke istana Amarta."

"Siapa yang memberikan perintah ini kepadamu?" tanya William sekali lagi dengan suara tegas dan penuh otoritas.

"Siap!" Prajurit itu seketika menegakkan tubuhnya dengan sikap yang kaku dan disiplin di hadapan William. "Nona Helena, Tuan!"

William mengangguk pelan sambil menyanggah dagunya dengan kepalan tangan. Matanya sedikit menyipit, menunjukkan pertimbangan dalam pikirannya. "Baiklah, sebaiknya kau pergi ke barak dan istirahatlah," ucapnya dengan suara yang tegas namun penuh perhatian.

Setelah prajurit itu pergi meninggalkannya, William segera berbalik arah dan beranjak pergi memasuki pondok. Di dalam ruangan yang dihiasi oleh rak buku dan beberapa lukisan yang terpajang indah di dinding, William duduk berhadapan dengan sang Kapten. Suasana ruangan dipenuhi dengan aroma buku kuno dan kehangatan cahaya lilin yang memancar dari ujung ruangan, menciptakan suasana yang tenang dan penuh keberkahan di antara dua sosok yang tengah berhadapan.

"Kapten, saya telah mendapati adanya laporan dari seorang prajurit yang menyatakan bahwasannya Tuan Nirwana tengah di undang ke istana oleh Baginda Raja," ucap William dengan tegas, menyampaikan informasi penting kepada Kapten Steven.

Kapten Steven mengangguk perlahan, menunjukkan pemahaman atas laporan yang disampaikan oleh William.

"Apa kau bersedia mengawal Nirwana dan Tiara menuju Ibukota Ignea?" tanya Kapten Steven.

"Yang Mulia hanya mengundang Tuan Nirwana, Kapten. Mengapa Tiara harus ikut?" tanya William heran.

Kapten Steven tersenyum samar sambil mengetuk permukaan kayu dengan jari-jarinya. "Tanpa Tiara, apakah Nirwana akan ikut bersamamu, meski itu adalah perintah dari Yang Mulia?"

William tersenyum lebar sembari menggaruk belakang kepalanya. "Sepertinya mustahil, Kapten."

Kapten Steven tersenyum samar sebelum beranjak bangkit dari kursinya. "Oleh karena itu, ajak Tiara bersamamu dan pastikan kedua orang itu selamat sampai tujuan."

"Dimengerti, Kapten," jawab William dengan penuh kesiapan, siap melaksanakan tugas yang telah diberikan kepadanya.

Setelah perbincangan selesai, William bergegas untuk meninggalkan ruangan sang Kapten. Namun, sesuatu menarik perhatiannya, membuatnya menghentikan langkah dan menoleh ke arah jendela.

Pandangan William terpaku pada sepasang insan yang tengah saling bertatap mata dengan senyum yang mempesona. Nirwana dengan lembut menyibak rambut Tiara, sementara sosok gadis elf di hadapannya tersipu malu. William menghela nafas lega, terlintas bayangan tentang hubungan cinta yang pernah ia jalin dengan Leona, menghadirkan kilatan kenangan yang manis di benaknya.

Meskipun William tidak ingin mengganggu hubungan mesra keduanya, ia tetap bersiteguh dengan pelaksanaan perintah dari sang Kapten. Pemuda yang mengenakan zirah baja melangkah dengan mantap di tengah luasnya padang rumput, menuju tempat di mana ia akan membicarakan rencana yang telah diperintahkan oleh sang Kapten kepada Nirwana dan Tiara. Suasana padang rumput yang luas dan terbuka menciptakan latar belakang yang indah namun juga menegangkan untuk pertemuan yang akan datang.

"Jadi, kau adalah kesatria yang akan mengantar kami hingga sampai pada kerajaan Amarta?" tanya Tiara penuh keraguan saat melihat William.

"Tentu saja. Dan pastinya tanpa pengawal," ucap William dengan bangganya.

Tiara memicingkan mata, ekspresinya penuh keraguan. "Aku tidak yakin bahwa kesatria payah sepertimu dapat mengantar kami dengan selamat sampai tujuan," ucapnya dengan nada skeptis.

"Apa maksudmu dengan kata-kata payah?" geram William sambil mengepalkan tangan di depan dadanya, ekspresinya penuh dengan keberatan.

"Hmmph!" Tiara mengerutkan dahinya. "Pertama, kau telah membuat kesalahan dengan cara mengintip kami yang tengah bermesraan di mansion tua. Kedua, kau tidak bisa menasehati Helena meski dia juga sama payahnya denganmu. Dan ketiga, kau sudah dua kali menggangu keromantisan antara aku dan Nirwana."

"Soal itu..." lirih William tersenyum samar sembari menggaruk belakang kepalanya, mencoba menenangkan suasana yang mulai tegang.

Derap langkah kaki terdengar mengusik keheningan di halaman pondok tua, berhasil mengalihkan pandangan sepasang remaja yang tengah berada di sana. Kapten Steven, dengan wibawa yang melekat padanya, tiba di tempat mereka berada.

"Sebaiknya kalian segera bergerak ke selatan sebelum mentari terbenam. Jika hari sudah mulai petang, lebih baik beristirahat di desa terdekat untuk melanjutkan perjalanan keesokan harinya," ucap Kapten Steven dengan suara tegas dan penuh otoritas, membuyarkan persetruan mereka dan memberikan arahan yang bijaksana.

Pintu gerbang kayu pada benteng pertahanan Amarta perlahan terbuka, memperlihatkan sepasang remaja beserta seorang kesatria yang kini melangkah keluar dari zona pertahanan Amarta di semenanjung utara. Cahaya matahari senja yang memancar di balik benteng menciptakan siluet yang dramatis bagi ketiga sosok yang tengah memasuki dunia luar.

Di suatu hutan belantara yang dipenuhi oleh pepohonan tinggi dan semak belukar yang menjulang di sekitarnya, derap suara langkah sepatu kuda mengawali perjalanan Nirwana menuju ibukota Ignea. Udara hutan terasa terisi dengan aura magis yang misterius, menciptakan ketegangan yang terasa di udara. Di antara pepohonan yang rindang, bayangan-bayangan makhluk aneh dan fantastis terlihat bergerak di balik semak-semak, menambahkan elemen ketegangan dan keajaiban dalam perjalanan mereka.

Semilir angin sore menyibak poni rambut yang menutupi dahi Nirwana, sementara Tiara, gadis elf yang menemaninya, terlihat duduk dengan anggun di belakangnya. Dengan lembut, kedua lengan Tiara meraih pinggang Nirwana, menyatukan kedua telapak tangan mungilnya pada perut pemuda itu. William, yang masih duduk di pelana kuda, mengimbangi langkah kuda Nirwana sambil sesekali melirik ke arah kemesraan yang terpancar di antara mereka dengan antusias. Suasana damai dan romantis terasa menyelimuti hutan belantara yang penuh dengan misteri dan keajaiban, menciptakan aura yang magis dan menegangkan dalam perjalanan mereka menuju ibukota Ignea.

Di tengah hutan belantara yang penuh dengan keajaiban, suara angin berbisik lembut di antara pepohonan tinggi, menciptakan melodi alam yang menenangkan. Kicauan burung-burung hutan bergema di udara, menambah warna dan kehidupan pada suasana yang damai. Dedauan kering yang tersapu oleh angin menimbulkan gemersik yang lembut, memberikan sentuhan alami pada perjalanan mereka.

"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu, Nirwana..." suara lembut Tiara berhasil mengusik indra pendengaran Nirwana.

"Katakan saja," jawab pemuda itu sambil menarik tali kuda. Sorot matanya terpaku pada jalan setapak yang mereka lalui.

"Apakah di dunia asalmu, kau memiliki kekasih selain aku?" kali ini suara Tiara terdengar lirih, hingga nyaris tak terdengar oleh William, sosok kesatria yang menemani perjalanan panjang mereka.

Nirwana menghelakan nafasnya. "Tidak." Suaranya terdengar mantap namun penuh dengan kejujuran, mencerminkan ketulusan perasaannya pada Tiara dalam suasana alam yang mempesona di sekitar mereka.

Pada akhirnya, William berdeham di antara perbincangan keduanya. "Ehem! Aku tidak terlalu yakin jika pemuda tampan sepertimu tidak memiliki kekasih selain kau, Tiara."

Nirwana menoleh. "Kau tidak pernah mengerti tentang sejarah yang aku miliki. Aku hanya berharap agar kau dapat mengawal perjalanan kami dan tidak campur tangan dalam kepribadian kami."

"Mohon maaf atas kelancangan saya, Tuan Nirwana."

"Tuan William, jika Anda ingin tahu... Apa yang membuat Kapten Steven begitu berwibawa di hadapan para kesatrianya adalah sikap disiplinnya dan otoritasnya dalam menjaga prioritasnya sebagai seorang pemimpin," lanjut Nirwana.

"Anda benar, Tuan Nirwana."

"Oleh karena itu, berhentilah mencampuri privasi kami."

"Tentu, Tuan. Maafkan saya." Suasana hening dan penuh dengan pengertian tercipta di antara ketiganya, di tengah hutan yang mempesona dengan suara alam yang menenangkan di sekeliling mereka.