webnovel

9: JANGAN PERGI! [B]

PLTAK. Widya langsung mendaratkan bogem mentah di batok kepala anak yang duduk di depannya itu. Berkata, "Kenapa tau-tau menyebut nama anak itu, sih?" ia bertanya. Merusak suasana.

"Habis kelihatannya kalian sangat dekat, 'kan? Walau bilang baru pertama kali saling berhubungan langsung. Tapi, mata awam seperti kami pun bisa langsung mengerti lho kalau ada yang lebih antara kamu dan Sas," ucap Harjita, "Sesuatu yang kata orang… spesial."

"Kelihatan sejelas itu, kah?" tanya Widya sambil menaruh dagu di dua tangan.

*

Saat waktu istirahat tiba. Widya tak pergi ke kantin bersama dengan Bisma dan Harjita maupun ke taman untuk mengobrol dengan anak-anak lainnya. Tapi, justru itulah dirinya yang sebenarnya. Seorang anak laki-laki aneh yang lebih suka sendiri. Bersama ketenangan. Menikmati penderitaan yang tak juga berkesudahan. Sungguh menyakitkan, namun tidak akan bisa terelakkan.

Sebagai ganti dari rutinitas yang selalu berusaha ia paksa ikuti. Widya memilih pergi ke halaman belakang sekolah di mana tak ada banyak orang di sana karena jauh dari tempat jajan dan tidak ada tempat duduk yang asyik dipakai nongkrong.

Widya menatap area belakang SMA Swata Internasional (Khusus Laki-laki) Prasaja Sirius Bel Esprit yang berupa dataran lebih rendah. Buat ia bisa melihat pemandangan rumah warga juga pohon-pohon yang berjejer dengana asri menyegarkan pandangan.

Namun, walau udara saat itu cukup sejuk. Ditambah pemandangan estetik memanjakan mata. Sesuatu yang ada di dalam hatinya malah terasa sangat kosong. Mengingat kembali bagaimana ia berkata pada Sas untuk tidak menemuinya lagi. Tidak jalin hubungan dengannya lagi.

Sesungguhnya hanya ada duri yang terasa di tenggorokan saat ucapkan hal seperti itu.

"Ah, aku bodoh sekali, sih," ucapnya seraya bersandar ke railing pembatas. Berharap hembusan angin bisa padamkan api penyesalan yang kuasai hati sejak perpisahan mereka kemarin.

Entah rasa sesal atau kesal karena tak bisa tak menyesal padahal berpikir tengah lakukan hal yang benar.

"Sedang berpikir apa? Sendirian menatap pemandangan di tempat sepi seperti ini," tanya sebuah suara "ghaib" yang muncul dalam kepalanya.

Reflek Widya menjawab, "Aku kesal karena harus berpisah dengan seseorang."

"Oh iya? Dengan siapa?" tanya suara yang muncul dalam imajinasinya itu lagi.

"Dengan seseorang… yang sangat baik. Tapi, untuk melindungi kebaikan itu aku harus jadi lebih bijaksana dengan tidak mengharapkan apa pun darinya," jawab Widya.

"Apa kamu tidak berpikir jika sikap seperti itu malah menyakiti orang tersebut?" tanya pola pikirnya lagi.

"Mungkin iya, tapi aku terlalu pengecut untuk membalik badan dan berkata bahwa semua yang aku ucapkan hanya omong kosong belaka," jawab Widya dengan sorot mata datar, "Aku tak benar-benar ingin kehilangannya."

"Jadi, apa yang ingin kamu lakukan sekarang? Berdiam diri di sini atau membalik badan dan lakukan sesuatu yang tidak sempat kamu lakukan saat itu. Mencari orang tersebut. Dan berusaha perbaiki semua?" tanya pola pikirnya lagi.

"Aku ingin mengakhiri rasa sakit ini. Itu kenapa aku harus…" ia menjawab sambil taruh dua telapak tangan di pegangan railing. Menjijitkan tubuh. Mengangkat satu kaki dan…

"JANGAN!" teriak pola pikirnya lagi. Tapi, ia sudah tidak peduli. Rasa sakit karena menduduki posisi mengambang dalam klan Arienh buat ia tak bisa berpikir dengan lurus. Jauh di langit biru yang tengah naungi dirinya dan pola pikirnya. Ia seperti sedang melihat bagaimana bayangan tangan pria yang ia sebut daddy tampak sangat jelas.

Tepat saat ia akan menjatuhkan diri… GREP. Sepasang tangan meraihnya dari belakang. Mendekap tubuhnya dengan kuat. Dan mendorong ia hingga terhempas ke lokasi yang aman. Bruuukh. Walau itu menyakiti tubuhnya sendiri dalam artian yang pasti.

"Hooosh… hooosh… hoooshh…" desah nafas Widya terdengar berat seperti ingin adu cepat dengan lelehan keringat yang basahi wajah sampai dada. Dua matanya terbelalak karena merasa familiar dengan kejadian seperti ini. Hanya beda latar dan suasana saja.

Dan ia pun… lagi-lagi.

"Are you okey? Apa kamu baik-baik saja?" tanya penyelamatnya dengan wajah dan nada suara orang panik. Seseorang yang entah bagaimana lagi-lagi menyelamatkan ia dari kegelapan yang belum waktunya.

"Ke, Kenapa kamu bisa ada di sini, Sas? Aku sudah bilang kan kalau jangan dekati aku lagi?!" tanya Widya. Lagi-lagi, lagi-lagi, lagi-lagi malah marah, tidak terima pada bagaimana hidupnya "dikembalikan". Hidup yang sesungguhnya hanya ingin segera ia akhiri. Agar tak tambah masukkan kesakitan lagi dalam diri.

Sas menjongkokkan tubuh dan berlutut setelah itu memeluk erat tubuh Widya. Greph. Alih-alih menjawab pertanyaannya. Ia lebih memilih lakukan sebuah aksi nyata untuk tunjukkan apa yang tengah ia rasa. Kedalaman jiwa. "Kalau aku tidak ada di dekatmu bagaimana aku akan menyelamatkanmu kalau coba lakukan hal tidak masuk akal seperti ini lagi?" ia bertanya balik. Menaruh dagu di atas salah satu bahu. Seseorang yang benar-benar tidak ingin ia biarkan sendirian.

"A, Aku masih belum mengerti," ucap Widya akhirnya berusaha utarakan juga isi hati. Tapi, tidak kuasa. Terasa sakit. Karena luka tak tersembuhkan. Penuh penyesalan. Dikuasai kesedihan. Ia tidak mau kehilangan seseorang dalam pelukan. Lagi. Tapi, takdir kejam bisa kapan saja mendarat di haribaan kehidupan. "Kenapa? Apa alasannya, Sas? Kenapa kamu terus berusaha isi celah yang ingin segera aku tutup dan lenyapkan dalam nasib berwarna hitam ini?" ia hanya bisa bertanya tak mengerti. Tak sedikit pun berpikir akan mengerti. Di saat sama juga ia merasa tak akan pernah bisa mengerti.

Semua rasa sakit tak berkesudahan ini.

"Tidak semua hal di dunia butuh alasan, 'kan?" tanya Sas balik, "Pokoknya sejak saat itu. Waktu di mana tingkap yang halangi pertemuan kita terbuka. Aku merasa harus terus lakukan yang terbaik untuk menyelamatkanmu dari kematian.

"Kematian itu… sangat mengerikan, Widya. Aku tidak ingin kamu mencicipi hal yang belum diketahui bagaimana rasanya oleh siapa pun yang masih hidup itu rasakan. Tidak sebelum kamu tau apa arti hidup bahagia sesungguhnya."

Mendengar itu, sepasang bibir Widya seperti dipaksa terbuka karena tidak percaya ada orang sebaik itu yang peduli pada semua permasalahannya. Masalahnya yang selalu orang banyak anggap "sepele". Tidak penting. Bahkan sebelum ia utarakan apa permasalahan tersebut.

Jika sudah seperti ini… apa ia akan benar-benar sanggup kehilangan Sas? Apabila hal tidak terduga sampai terjadi di luar ekspektasi.

Dari lantai dua. Bisma dan Harjita yang kebetulan lewat koridor sekolah bagian belakang memergoki dua teman mereka tengah berpelukan di tempat sepi. Bisma dengan najongnya langsung nyosor ingin mencium pipi Harjita. Yang tentu saja langsung dihajar oleh anak remaja dengan rambut belah tengah kamseupay itu.

"Hmm."