webnovel

8: JANGAN PERGI! [A]

Sepulang sekolah kemarin. Untuk menghindari sekaligus mencegah Widya ngelayap dulu sepulang dari kegiatan belajar bersama tema-teman yang berasal dari latar belakang normal-NYA. Yang mana hal itu kurang diperkenankan dalam keluarga mereka. Dhanan yang kebetulan sedang banyak waktu luang memutuskan untuk menjemput anak itu saja. kalau boleh jujur sebenarnya ia sendiri tidak begitu tau di mana persis lokasi sekolah Widya. Sepertinya cukup di "pedalaman". Bukan terletak di pinggir jalan besar. Jadi, karena ia selalu bilang biasa pulang gunakan bus kota. Ia parkirkan saja mobilnya di dekat halte agar bisa langsung bertemu saat anak itu datang.

"Kak Dhan, kamu itu sudah tidak waras, ya? Kenapa juga sih sampai berani bawa mobil Daddy ke tempat umum seperti ini?!" omel Widya saat melihat wajah pria itu muncul dari pintu jendela kemudi sebuah mobil yang terbuka.

"Ck ck ck. Sebelum marah seperti emak-emak sen kiri belok kanan. Coba kamu lihat dulu mobilnya," pinta Dhanan mencoba sabar. Anak seperti dia memang harus ditangani dengan hati lapang.

Oh, ternyata bukan mobil Daddy, ya. Hanya warnanya saja yang sama, batin Widya saat itu merasa jauh lebih tenang. Menaiki sebuah mobil Honda Brio yang sama-sama dicat vantablack oleh si empunya.

Karena Widya belum pernah naik mobil pribadi "semurah" itu dalam hidup. Ia sedikit "terkesima" kala menyaksikan interior bagian dalamnya. Rasanya sangat unik dan ia yakin tak akan pernah ia lupakan sampai kapan pun juga.

"Walau aku niat menjemputmu. Pada kenyataannya aku tidak tau di mana sekolahmu," ucap Dhanan membuka percakapan mereka saat itu.

Widya membatin, dasar manusia buta arah. "Kenapa Kak Dhan pakai mobil Kak Dhanan sendiri untuk jemput aku?" ia bertanya.

"Semua mobil Daddy sedang digunakan oleh anggota lain," jawab Dhanan.

Widya bertanya lagi, "Kenapa Kak Dhanan menjemputku? Bukankah selama ini tidak pernah ada anggota yang diizinkan lakukan hal seperti itu?"

Dhanan hanya diam saja. Sok berlagak sedang lihat pemandangan di luar jendela yang bergerak. Dan Widya yang duduk di jok belakang hanya bisa ikut diam juga. Jauh di dalam lubuk hati ia sudah tahu apa yang jadi alasannya. Tapi, rasanya baik juga untuk menanyakan langsung agar tak penasaran, 'kan?

Penyebabnya sendiri adalah… karena luka yang ada di sekujur tubuhnya saja belum pada sembuh.

Melihat wajah Widya yang tampak makin tenggelam dalam perasaan cemas dari kaca spion dalam. Dhanan coba kembali awali pembicaraan, "Hei, tidak semua anggota yang pernah kamu lihat di rumah itu masuk dalam daftar buronan polisi nasional atau red notice, lho," ia memberitahu dengan nada suara mencoba lebih riang. Agar tidak makin buat suram keadaan.

"Tapi, aku tetap saja khawatir, lho," respon Widya pelan. Ikut menatap pemandangan bergerak di luar jendela sebelah kanan. Tepat di belakang tempat duduk Dhanan.

"Sepertinya yang jadi objek rasa khawatirmu sebenarnya saat ini itu bukan kami, ya," tebak Dhanan coba membaca raut galau Widya. Coba menerapkan micro expression yang sekilas pernah ia pelajari.

Kembali ia arahkan pandangan ke depan. Agar lelaki itu bisa amati raut wajahnya makin jelas. Berkata, "Aku dengar kalian semua itu pandai membaca wajah… atau apa pun lah nama ilmunya. Apa berarti pandai baca perasaan juga? Seperti ahli kejiwaan?" ia bertanya.

"Tentu saja," jawab Dhanan tegas. Ia melanjutkan, "Kalau tidak pandai dalam hal seperti itu. Para pelaku bisnis seperti kami bisa dihancurkan dengan mudah, 'kan?" ia balik bertanya.

"Ahh, benar juga," respon Widya pelan. Kembali ia palingkan wajah ke jendela sebelah kanan. Rasa hancur, sesak, sakit, semua bercampur jadi sebuah kesatuan. Ia hanya ingin merasa bahagia seperti manusia lain. Tapi, hal semacam itu tampak terlalu mewah untuk dimiliki oleh orang seperti dirinya. Tidak peduli apa pun yang jadi alasannya.

"Kamu habis putus cinta, yah?" tanya Dhanan asal jeplak saja.

Widya langsung melihat ke arah lelaki itu dan berpura-pura ingin mencekiknya dari belakang. Berkata, "Siapa yang habis putus cinta, Kak Dhaaan? Kak Dhanan tau sendiri kan kalau pacaran itu hal yang sangat dilarang oleh Daddy."

Dhanan merespon, "Aha ha ha ha, maaf, maaf, maaf. Habis waktu masih remaja aku akan memasang wajah seperti itu hanya kalau habis putus cinta atau marahan dengan pacar."

"Oh iya, saat remaja Kak Dhan hanya akan sekolah biasa, ya," balas Widya.

"Ya tidak biasa juga, sih. Aku kan sudah jadi antek organisasi kroco saat masih remaja. Jadi, portofolioku itu sudah panjang. Bwa ha ha ha ha ha ha!" jawabnya ditutup dengan tawa puas.

Widya pun tersenyum kecil. Merespon, "Ternyata Kak Dhan sudah terjerembab dalam jurang kebejatan ini sejak masih sangat muda, ya."

"Begitulah, Widya. Apa yang ingin kita lakukan. Apa yang akhirnya kita lakukan. Bahkan hal-hal yang pada akhirnya akan kita sesali suatu saat nanti. Semua hal yang berakhir kita putuskan. Itu semua kita yang tentukan.

"Ironis sekali, bukan?"

*

Pagi ini keesokan harinya di sekolah. Widya kembali datang dengan penampakan tidak biasa. Mungkin kondisi dari beragam luka yang bertebaran di tubuhnya sudah jadi jauh lebih baik. Tapi, sekarang wajahnya yang tampak bermasalah.

"Apa kamu habis menangis semalaman suntuk?" tanya Bisma saat melihat raut sembab anak remaja di depannya.

Harjita yang duduk di barisan bangku seberang hanya melihat saja. Ia tak tau apa lagi yang harus dikatakan pada Widya dalam situasi yang tampaknya sangat rumit seperti ini.

"Heh, aku tidak akan pernah menangis. Meneteskan air mata di keluargaku itu bisa membuatmu digantung terbalik dalam kondisi telanjang bulat di pohon mangga satu malam penuh," balas Widya. Tanpa sadar menceritakan kehororan dari keluarga yang selalu ia sembunyikan. Selama hampir tiga tahun bersahabat dengan dua teman sekelasnya itu juga ia tak satu kali pun mengizinkan siapa pun main ke rumah. Atau mengerjakan tugas yang normal untuk anak remaja seumuran mereka.

Semua itu sangat terlarang.

Dan cerita Widya praktis buat Bisma dan Harjita menenggak ludah mereka. Glek. Terlepas dari benar atau tidaknya, ya. Itu hal yang sangat mengerikan dan tidak umum dilakukan oleh keluarga mana pun di ibu pertiwi kita tercinta.

"Lalu, matamu itu kenapa? Habis disengat lebah sarang madu satu peternakan apa bagaimana?" tanya Harjita pada akhirnya. Ternyata penasaran juga. Ingin bergabung dalam obrolan pembuka hari mereka.

"Kalian mau tau?" tanya Widya seraya menatap ke pemandangan di luar jendela. Melanjutkan, "Aku baru saja merasa sangat sedih karena kehilangan sesuatu yang bahkan tidak pernah atau pantas aku miliki."

"Pasti sedang ada masalah dengan Sas, ya?" tanya Bisma asal jeplak.