webnovel

12: Kembali! [C]

"Tidak ada kekerasan terjadi dalam rumah tangga keluargaku. Aku punya seorang ayah yang sangat baik. Pengertian. Hanya menghendaki yang terbaik untuk para anaknya. Memiliki sikap yang selalu lembut. Baik sorot mata maupun belaian tangan pria itu sangat menenangkan. Siapa pun yang beradu pandang dengannya pasti akan rasakan kehangatan.

"Untukku, kalau boleh jujur, ia lebih seperti… tuhan," jawab Widya. Sangat terprogram. Sudah seperti orang kesurupan.

"Sadarlah, Wid, aku mohon," pinta Sas lembut, "Tidak akan ada yang menyakiti kamu saat ini. Kamu bisa utarakan semua dengan hati tenang. Jangan biarkan rasa takut dan khawatir tak beralasan berhasil merubahmu jadi orang lain," nasihat anak remaja itu.

Widya merasa berdosa karena nyaman saat berada di dekat Sas. Rasa tenang, nyaman, dan lengkap yang lebih dari sekadar teman. Padahal itu bukan sesuatu yang diizinkan oleh seseorang yang barusan ia anggap tuhan.

Hidup ini sangat menyakitkan. Dan kita sebagai manusia selalu berusaha untuk temukan sesuatu yang bisa menetralisir perasaan nyeri itu.

"Aku percaya, aku percaya padamu, Sas," respon Widya seraya balas tatapan lembut anak remaja di hadapan.

Tak jauh dari tempat mereka berdua duduk di sebuah bangku kayu tepi taman yang ramai saat sore karena diisi orang-orang yang ingin beristirahat nikmati udara segar sambil menyantap berbagai macam cemilan. Terdapat seseorang yang tak sedikit pun alihkan pandangan dari Sas dan Widya. Seolah dua anak remaja itu adalah alasan utama yang buat ia berada di sana. Menghabiskan waktu hanya untuk melihat bagaimana dua laki-laki mengobrol dan saling berbagi perasaan.

"Haaahh," ia hembuskan asap yang mengepul dari dalam mulut. Ia ambil sebatang rokok yang sejak tadi bertengger di bibir dengan dua jari. Ia acak-acak rambut belah tengahnya dengan tangan yang lain. Berkata, "Mengkhianati seseorag yang sudah beri segalanya termasuk hidup dan mati untukmu itu akan jadi kesalahan besar yang akan sangat kamu sesali lho, Pramatya."

"Widya, kita pulang saja, yuk," ajak Sas tiba-tiba.

"Kenapa? Tumben sekali. Ini masih terang juga," tanya Widya. Merasa sedikit sedih. Padahal ia ingin jauh lebih lama bersama dengan anak itu. Sungguh mengecewakan kalau harus berakhir secepat ini, bukan?

Sas mendirikan tubuh sambil tersenyum tipis. Menjawab, "Aku ingat ada seseorang yang ingin datang bertamu habis Maghrib nanti. Aku harus menyiapkan banyak hal sebelum dia datang."

"Oh begitu, baiklah," respon Widya ikut dirikan tubuh dan mengikuti langkah Sas menuju motornya yang terparkir di pinggir jalan.

Kalau boleh jujur sebenarnya perasaanku hanya sedang sangat tidak enak saja, sih. Entah kenapa, batin Sas seraya menatap taman kota yang baru ia tinggalkan dengan dua mata waspada di balik kaca helm gelap. Saat itu… ia lihat seorang lelaki berpakaian hitam dengan jeans Peter Says Denim biru gelap dan kets putih tampak meninggalkan sebuah bangku kayu.

*

Rumah tidak pernah memiliki konotasi positif untuk seorang Widya Arienh. Rumah untuknya pribadi jauh lebih seperti magnet yang miliki daya paksa buat ia menempel walau tidak pernah suka. Dan ia sendiri hanya seonggok besi rongsok yang terpaksa terus bersanding dengan magnet yang masih berkilauan itu.

Sesampai Widya di markas besar klan Ismoyono Arienh yang berupa komplek kediaman masif seluas hampir empat koma lima hektare itu. Langit sore menjelang masuk waktu Maghrib masih cukup cerah hingga buat ia mampu amati dengan jelas segala sesuatu yang telah menahan hidup (dan mati)-nya selama ini.

Beberapa bangunan besar yang ada di sisi depan, kanan, kiri, dan belakang komplek kediaman mengusung konsep futuristik masa depan. Membuat mereka seolah diseret datang dari beberapa dekade lagi. Sementara seolah diseret paksa menuju ratusan tahun sebelumnya. Di bagian tengah alias kantor utama sekaligus tempat tinggal sang penguasa semua kejayaan yang terpampang dari deretan batu bata itu. Terdapatlah sebuah bangunan dengan gaya arsitektur Neo Klasik yang pertama muncul di Eropa abad tujuh belas, tepatnya tahun seribu tujuh ratus lima puluh.

Gaya arsitektur yang kelahirannya didasarkan pada kejenuhan terhadap beberapa arsitektur bangunan yang sudah ada sebelumnya itu seolah menunjukkan kecintaan sang empunyanya pada harmoni yang muncul dari bersatunya dua hal bertolak belakang. Masa lalu dan masa depan. Kebajikan serta kejahatan. Hitam dan putih. Yin dan yang.

Di saat sama, perpaduan antara arsitektur lama dari masa Yunani kuno dan Romawi kuno ini buat aku sedikit kesulitan untuk bergerak ke masa depan, batin Widya saat baru turun di depan bangunan Neo Klasik itu. Saat ia ingin masuk dan membuka pintu, seorang pria dengan stelan hitam di bagian dalam terlebih dahulu membukakannya.

"Selamat datang, Mas Widi," sapa pria yang memiliki wajah dan tubuh sangar itu lembut. Seperti frasa, badan security hati Hello Kitty.

Widya tersenyum balas sambutan ramah bin hangat itu. Berkata, "Berapa kali saya bilang, Kak? Tidak usah repot-repot membukakan pintu atau memanjakan saya seperti itu. Saya kurang nyaman karena ingin secepat mungkin jadi manusia bermanfaat untuk kelompok seperti Kakak."

"Aha ha ha ha," tawa pria itu. Membalas, "Sudahlah, Mas Widi, kita semua ini kan anggota dari sebuah keluarga besar. Tentu harus saling membantu tanpa pamrih."

Ia pun berjalan lagi. Namun, saat baru saja ingin masuk menaiki anak tangga. Terlihat Dhanan yang tergopoh-gopoh berjalan hendak menghampirinya dari bagian dalam bangunan. Drap drap drap!

"Ehe he he he, Kak Dhanan kenapa kamu tergesa-gesa begitu, sih?" tanya Widya santai. Pokoknya ingin segera sampai di kamar saja. Setelah itu menenggelamkan diri dalam kesenangan karena membayangkan orang yang selalu buat hati riang. Cihuy.

Eh?

"Apa lagi sih yang kamu lakukan, Widi?!" tanya Kak Dhanan keras. Dua matanya tampak sangat gusar menatap wajah Widya.

"Apa, sih? Aku tidak lakukan apa pun, kok. Sejak dihukum karena pulang telat kemarin juga aku selalu kembali tepat waktu. Masalahnya ada di mana lagi, ya?" ia bertanya.

Kak Dhanan hanya bisa menutupi wajah dengan satu telapak tangan. Berkata, "Kamu itu terlalu bodoh atau terlalu polos sih sebenarnya, Widi? Sudah berapa tahun kamu jadi anaknya Daddy?" ia bertanya lagi.

Naiklah satu alis Widya. Bertanya, "Hah?"

*

Sementara itu di apartemen Sas. Ia yang baru datang langsung menginspeksi rumah untuk memastikan bahwa tak ada hal aneh terjadi tanpa ia ketahui selama seharian sekolah. Tidak lupa juga ia memeriksa kembali rekaman kamera pengawas untuk memastikan bahwa benda itu masih berfungsi dengan baik dan tidak ada hal aneh terjadi.

"Kelihatannya semua baik-baik saja seperti hari biasa. Aku tidak perlu khawatir," ucapnya berusaha menenangkan diri sendiri.

Ia tatap seisi apartemennya yang sederhana dari ruang tamu sekaligus ruang keluarga sekaligus ruang televisi. Ada dua kamar di sana, tapi yang ia gunakan hanya yang belakang sementara kamar depan ia pakai untuk menaruh pakaian.

Sas membayangkan… andai saja Widya bisa pindah mengisi kamar satunya. Tentu ia jadi bisa merasa lebih tenang setiap harinya. Ia juga ingin memastikan Widya akan selalu baik-baik saja.

"Tak akan ada yang menyakiti kamu lho kalau di rumah ini," ucap Sas membuat kedua jari telunjuk dan ibu jarinya menjadi bentuk persegi panjang. Memikirkan akan jadi betapa sempit tempat ini kalau ditinggali dua orang. Tapi, tentu hal itu akan jauh lebih baik timbang kesepian yang mengerikan, bukan?

Tok tok tok. Dari arah luar pintu apartemen tiba-tiba terdengar suara ketukan. Masih dalam keadaan belum mengganti pakaian Sas segera berjalan menghampirinya. Cklek. Membuka pintu.

"Hai," salam si tamu. Berjalan masuk walau belum diberi izin.

Dari belakang Sas melihat pria yang tiga senti lebih tinggi darinya itu kagum. Dengan tatapan nanar bertanya, "Berapa orang yang sudah kamu bunuh hari ini, Kak?"