webnovel

11: Kembali! [B]

Saat sampai di ambang pintu kelas itulah ia melihat sosok yang tadi ia tanyakan. "Datang juga kamu, bro. Hampir saja mati aku."

Sas diam saja melihat Bisma terus melangkah keluar kelas. Alih-alih bingung memikirkan maksud ucapannya yang tidak jelas. Ia memilih masuk saja dan menghampiri Widya yang masih mengobrol dengan Harjita dan beberapa anak lain dengan akrabnya. "Hai," ia coba menyapa ramah. Bertanya, "Si Bisma kenapa, tuh? Tumben langsung pulang. Apa sudah punya pacar dia?"

"Haaahh, kamu ini. Aku sudah bilang kan tidak perlu kemari," ucap Widya mengeluarkan aura sok cool. Tapi, di balik sikap tsundere itu wajahnya tengah tersenyum tipis.

"Aku takut di jalan menuju parkiran motor siswa kamu malah loncat dari lantai tiga," balas Sas santai.

Widya langsung menempelkan jari telunjuk di depan bibir seraya mendesis, "SSSHHH!!! Jangan bicarakan hal seperti itu di tempat umum, 'kan?" tanyanya.

Sas membungkukkan tubuh agar wajah mereka jadi lebih dekat. Berkata, "Berarti kita akan selalu butuh ruang yang lebih privat, dong. Suatu tempat di mana hanya ada kita berdua."

"Huh, tau, ah!" omel Widya kesal.

"Ha ha ha," tawa Sas riang. Bahagia berhasil buat kesal orang yang, uhuk, ia, uhuk, su… uhuk, ka.

Sementara itu Harjita yang masih tertinggal di kelas bersama dengan beberapa anak lain yang siap isi waktu pulang sekolah sekolah mereka dengan rumpian.

"Kelihatannya Widya jadi lebih ceria ya beberapa waktu belakangan," komentar seorang teman sekelas.

"Padahal sebelumnya aku belum pernah lihat Widya dan Sas bersama, lho. Kenapa tiba-tiba mereka bisa jadi dekat seperti itu, sih? Apa yang sudah terjadi dengan mereka?" tanya teman sekelas lain.

"Sas juga," anak lain ikut menimpali, "dia kan anak kutu buku yang cukup pendiam. Kaget sih aku bisa lihat dia lakukan hal mencolok seperti manggil teman sekolahnya dengan sebutan kayak, darling, atau yang bikin geli semacamnya begitu."

"Hyaah, kan ada banyak waktu yang kita miliki setelah pulang sekolah. Ada banyak hal yang mungkin terjadi saat itu," ucap Harjita mendirikan tubuh. Ingin pulang dan habiskan waktu bebasnya dari kegiatan pendidikan dengan beragam aktifitas menyenangkan.

*

"Sas, apa yang akan kau lakukan kalau melihat aku tiba-tiba ingin mengakhiri hidup lagi tanpa alasan jelas seperti yang sudah terjadi selama ini?" tanya Widya sambil memasukkan tiga pentol yang masih panas sekaligus ke dalam mulut. HAAPH! Haahh… haahh… haahh.

Bukannya menjawab, Sas malah menarik tangan Widya yang ingin memasukkan lebih banyak pentol lagi. "Widya, kalau mulutmu sampai terbakar bagaimana? Jangan bicara sambil memasukkan makanan ke dalam mulut dong apalagi yang masih berasap begitu," peringatnya dengan raut khawatir.

Perhatian anak ini benar-benar tidak pada tempatnya, batin Widya julid. Walau begitu ia merasa sedikit… senang? Tenang? Apa pun lah namanya. "Terasa sangat nikmat saat buat mulutku ini merasa kesakitan tau," beritahunya tenang. Seolah panas bola daging dan pedas sambal yang banyak itu sama sekali bukan masalah.

"Hehh, ternyata Wid Wid-ku yang manis ini masokis, ya?" tanya Sas langsung. Dengan panggilan "sayangnya". Mengambil beberapa helai tisu dari dalam tas dan ia gunakan untuk bersihkan saus dan kecap yang berceceran di tebing bibir Widya.

"Kenapa kamu berusaha mengalihkan pembicaraan kita?" tanya Widya tak ingin ikut teralihkan oleh panggilan, uhuk, Wid Wid yang manis, itu. "Dan juga, jangan bersihkan mulutku dengan gestur seperti itu di tengah orang banyak seperti ini, dong. Nanti kita dikira penyuka sesama jenis, bodoh," peringatnya serius.

"Aaahh, peduli setan dengan apa yang orang lain pikirkan," respon Sas. Ia berkata lagi, "Soal pertanyaan yang tadi kamu ucapkan. Tidak perlu lagi dijawab karena itu sudah sangat jelas."

"Aku masih sama sekali belum mengerti alasan di balik semua tindakanmu. Aku ini tumbuh besar di lingkungan yang harus menebar kecurigaan pada setiap perbuatan baik orang lain," ucap Widya, "Terlebih orang asing," lanjutnya lebih lirih. Kali ini sangat lirih hingga buat ia yakin bahwa Sas tak akan mendengar kalimat itu.

"Memang kenapa? Kalian keluarga yang paranoid sekali, ya?" tanya Sas.

"Hal yang paling mengerikan dalam hidup ini kan kebaikan yang diberi secara cuma-cuma," jawab Widya lantang, tegas, tirukan ucapan seseorang padanya beberapa tahun silam.

Sas memasukkan lagi satu pentol yang tadi hampir sampai ke mulut ke dalam plastik. "Kehidupan macam apa yang sebenarnya sudah kamu lalui selama ini, Wid Wid?" tanyanya.

Widya tersenyum kecil. Menjawab, "Aku juga tidak begitu paham aslinya. Perjalanan hidup ini sudah sangat rumit sejak baru dimulai. Aku selalu, selalu, selalu merasa akan kehilangan nafas. Saat mengingat kenangan yang tak bisa dihapus," ucapnya sambil membungkukkan tubuh.

Berbanding terbalik dengan Sas yang malah dangakkan kepala menatap angkasa yang tengah naungi mereka. Angkasa yang mulai telan keagungan sang mentari. Hawa dingin dan nyaman yang membelai tengkuk sepoi-sepoi. "Apa aku boleh menanyakan sesuatu?" tanya anak remaja lelaki itu. "Kamu bebas untuk diam jika merasa ini bukan hal yang harus diceritakan pada orang 'asing'."

"Apakah itu?" respon Widya.

"Sejauh apa kekerasan yang selama ini sudah keluargamu lakukan? Apa tidak ada kesempatan laporkan hal itu pada kepolisian? Kamu sudah cukup dewasa untuk tidak hanya diam saat diperlakukan seperti itu, 'kan? Apa kamu baik-baik saja datang ke sekolah dengan tubuh penuh bekas kesadisan seperti kemarin? Atau apa kamu memang ingin menghabiskan masa remaja yang indah ini hanya dengan kekangan juga ketakutan sepanjang waktu? Yang buat kamu hanya bisa memandang hati-hati. Mengatakan sesuatu dengan hati-hati. Bahkan diam saja pun pasti kamu lakukan dengan penuh kewaspadaan, 'kan?" tanya Sas panjang lebar. Tanpa sedikit pun menoleh ke arah wajah Widya.

Lagi-lagi, lagi-lagi, lagi-lagi, bukannya fokus pada apa yang remaja di sampingnya tanyakan. Widya malah jauh lebih serius mengamati siapa yang menanyakannya. Seorang Sas yang terlihat semakin bersahaja serta menawan. Tak sepatah kata pun berhasil ia ucapkan.

Tak juga mendengar jawaban buat Sas menoleh ke arah Widya. "Wid Wid?" ia memanggil saat melihat anak itu malah tengah menatapnya dengan dua mata nanar.

Akhirnya ia kembali tersadar, "Ah, iya, iya, iya, maaf. Aku sedikit bengong karena langit di belakang kepalamu warnanya sangat indah. Buat aku tidak mau alihkan wajah."

"Sekarang malah jadi kamu ya yang berusaha alihkan pembicaraan kita," komentar Sas dengan ruat sedikit kesal. Menatap wajah Widya tidak terima.

"Ah ha ha ha ha ha," tawa Widya canggung. Ia menjawab, "Aku diam bukan karena tidak ada yang perlu aku ceritakan padamu. Atau ada hal yang perlu aku rahasiakan. Tapi, karena memang tidak ada masalah yang berhubungan dengan apa yang kamu tanya barusan."

Orang ini sedang bohong, tebak Sas. Menatap dua mata anak remaja di depannya tajam.