webnovel

XII: Cerita Tentang Dunia

"Jangan lari dan jangan berharap... Dunia ini sudah terlalu kejam. Cukup teruslah melangkah dan lakukan semampumu. Tak usah pedulikan yang mana gelap dan yang mana terang. Yang penting adalah, hidup." Rama bergumam pelan sementara matanya yang sebiru langit masih terpaku pada menara yang jauh disana.

"Hah? Apa-apaan..." Cika yang juga duduk di sampingnya dan tengah mengelap perisainya langsung menatap heran anak lelaki berwajah lesu itu. "Ada aneh-anehnya bocah satu ini..."

Waktu itu masih pagi buta, langitnya pun juga kelabu dan suram, ditambah lagi atmosfernya amat dingin nan menusuk. Namun begitulah, mau bagaimanapun menyiksanya, Rama tetap tak bisa membenci suasana macam ini.

"Ah, ngomong-ngomong, emangnya nggak masalah ya kalau kamu keluar rumah sepagi ini? Orang tuamu nggak marah, kan?"

Rama tersenyum kecil saat mendengar pertanyaan itu. Toh, dia juga sudah mengenakan seragam putih-merahnya agar nanti bisa langsung lanjut ke sekolah.

"Mereka nggak akan marah, kok. Nggak akan..." Alis Rama melengkung dan itu membuat kesedihannya terpampang di wajahnya tanpa ia sadari, tapi Cika yang menyadarinya pun cuma bisa diam, toh mereka juga baru kenal.

Itu aneh, setiap mendengar kata orang tua, Rama selalu saja teringat dengan dosa konyolnya di masa lalu. Rasanya menyakitkan setiap kali memikirkan itu.

"Jadi... Kemana sahabatmu itu? Bukannya kamu bilang kalau dia juga mau ke sini?" Cika angkat bicara lagi. "Soalnya aku masih penasaran dengan wujud orang stres yang memberikan pusaka hebat semacam itu pada seorang manusia."

"Ah, nggak tahu juga, sih. Soalnya aku juga belum bertemu dengannya dari kemarin. Dia kalau pergi emang susah banget buat dihubungi."

Apa yang dimaksud oleh Cika tadi adalah kunci pedang perak yang tergantung di leher Rama. Ya, untungnya dia belum melihat kunci-kunci gila lain yang dimiliki oleh Rama. Dan nyatanya, semua kunci-kunci itu ada di tasnya saat ini.

Kunci meteor emas, kunci petir perak, kunci apel emas, dan juga topeng, yang merupakan hadiah pertama dari Liel untuk Rama.

"Oh iya, ngomong-ngomong, kamu umur berapa, Cika?" Rama bertanya.

"Yah, aku dua belas tahun." Jawab Cika yang masih sibuk menglap.

"Hmm, umur kita nggak jauh beda ternyata." Rama mengungkapkan. "Aku tujuh tahun."

"Eh? Tujuh?" Cika seketika syok mendengarnya. "Tapi, kamu kan sudah kelas enam. Kok bisa?"

"Yah, aku lompat kelas. Soalnya kata guru-guruku, aku ini terlalu pintar." Rama tersenyum kecil lagi.

"Heh... Jadi di Indonesia juga sudah ada sistem semacam itu rupanya." Gadis kecil itu berpikir sambil nyengir. "Ya, masuk akal sih kalau itu kamu. Jujur, sejak melihatmu pertama kali kemarin dulu, aku langsung merasa kalau kau itu nggak normal, lho. Dan, yap, dugaanku benar. Kau itu anak manusia paling nggak normal yang pernah kutemui seumur hidupku."

Rama tertawa pelan. "Sahabatku sering menyebutku sebagai aliran air, yang cuma bisa mengikuti kemana sungainya mengarah."

Cika memasang wajah serius setelah mengetahui itu. "Lah, jadi kau ini tipe orang semacam itu ternyata. Yah, itu menjelaskan alasan kenapa kau sangat pintar, dan alasan kenapa kau ada di sini bersamaku saat ini." Gadis kecil itu menyimpulkan, mata birunya sekilas tampak mengkilap.

"Eh, Cika, kalau boleh tahu, dunia tempat asalmu itu seperti apa, sih?" Rama bertanya lagi untuk yang kesekian kalinya.

"Lho, kau belum tahu? Emangnya sahabatmu nggak pernah cerita?"

"Dia nggak suka membahas soal dunia itu, soalnya katanya disana cuma ada perang aja." Rama memberitahu.

"Ah, itu ada benarnya." Cika menjelaskan. "Di sana memang penuh dengan keajaiban. Hampir segala sesuatu yang ada di sana itu berhubungan dengan keajaiban dan sihir. Ada daratan yang mengambang di angkasa, kota di dasar laut, pedesaan di dalam gunung merapi, dan banyak lagi. Suatu dunia yang lahir dan hidup oleh mukjizat. Namun, aku nggak bisa menyangkal kalau disana juga ada perang tiap hari... Tiap hari..."

"Ah..." Rama cukup keheranan setelah mendengar itu. Bocah itu berpikir sejenak.

Memang dunia itu kedengarannya menakjubkan dan sangat luar biasa, tapi kalau soal kota di dasar laut dan desa di dalam gunung merapi, itu benar-benar menakutkan.

Ditambah lagi, peperangan.

"Ya, itu terdengar keren." Rama memandang lekat-lekat topeng di tangannya. Topeng berwarna hitam dengan wujud yang mengerikan seperti wajah iblis. "Tapi, bagaimana menurutmu tentang dunia manusia ini?"

"Hmm... Yah, sepertinya tak ada yang istimewa." Cika tersenyum kecut lagi. "Ya, emang nggak ada yang istimewa sih di sini, tapi kalau kata ayahku, menurutnya dunia ini jauh, jauh, jauh lebih tenang dibanding dunia sana... Soalnya katanya nggak ada suara teriakkan di sini."

Rama dibuat merinding setelah mengetahui itu. Maksudnya, sebenarnya sesering apa ayah Cika mendengar suara teriakkan di dunia sana? Sampai-sampai ia menjadikannya sebagai titik tumpuan untuk membedakan dunia ini dan dunia itu?

"Kalau begitu, Cika, bagaimana menurutmu tentang... Manusia?"

Cika terlihat agak tercengang dengan pertanyaan Rama yang satu ini.

Ya, mumpung dia ini cuma Cika, jadi seharusnya tidak masalah. Sudah lama Rama ingin menanyakan tentang ini. Soalnya, setiap kali ada pembahasan soal manusia, Rama sering sekali melihat kalau Liel tampak sangat jijik entah karena apa.

"Jujur saja, ya, aku juga membenci manusia, lho. Ya, hampir semua orang yang berasal dari duniaku memang membenci manusia. Soalnya, manusia itu... Makhluk yang sangat rusak, lho." Cika mengungkapkan.

"Eh? Rusak kayak gimana maksudnya?" Rama terkejut karena ia tak terlalu mengerti.

"Ini sulit untuk dijelaskan... Tapi, kalau kau tanya aku tentang manusia, ya, yang ada di kepalaku cuma kalimat itu... Manusia itu rusak."

"Ah, ya sudah kalau begitu." Ada terlalu banyak hal baru yang didapatkan Rama pagi ini, dan butuh waktu baginya untuk mencerna semuanya. Namun, kalau tentang jawaban Cika soal manusia, mungkin, Rama sedikit paham.

"Oh iya. Ngomong-ngomong, kamu pernah nggak punya keinginan untuk kembali ke duniamu itu?"

"Hmm... Aku nggak yakin, toh aku sejak awal lahir di sini. Orang tuaku termasuk beruntung karena diberi kesempatan untuk pindah ke dunia ini, menjauh dari peperangan... Jadi ya begitulah." Jawab gadis itu sembari mengeratkan ikatan perisai di tangan kirinya. "Kau tahu? Orang-orang di dunia kami rela melakukan apa saja demi merasakan hidup yang sedikit normal."

"Tunggu, gimana?"

"Itu aneh, bukan? Disaat kalian ingin memiliki hidup yang normal, banyak manusia di dunia ini yang ingin memiliki hidup seperti kalian." Rama mengenakan topeng seram itu di wajahnya lalu, setelah mengikat talinya di belakang kepalanya, sesuatu yang gaib kembali terjadi. "Orang-orang bodoh yang menginginkan kekerasan..."

Sesuatu yang tampak seperti kabut gelap mulai meluap keluar dari sekujur tubuh Rama, dan Cika yang menyadarinya langsung terkejut setengah mati.

"Buset! Kenapa ada aura iblis di sini–Lho, Rama!? Itu kamu!?" Cika kebingungan setelah mengetahui kalau sumber dari kabut hitam ternyata adalah Rama. "Bukannya itu juga Pusaka!?" Pekiknya tak percaya. "Kau sebenarnya punya berapa Pusaka, sih!?"

"Sedikit, kok." Balas Rama dengan suara yang sangat amat berbeda dan juga menyeramkan seakan mengikuti wujud topengnya itu. "Ini juga pemberian sahabatku. Namanya Topeng Setan Hitam, Ifrix." Rama mengungkapkan sambil memandang heran pada kabut yang tak berhenti meluap dari sekujur tubuhnya.

Memang kabut itu membuat orang-orang yang melihatnya jadi ketakutan sampai berkeringat dingin seperti yang dialami oleh Cika saat ini, tapi toh, Rama tidak berniat menggunakannya untuk hal yang tidak seharusnya. Topeng itu milik Rama, dan dia bukan orang jahat.

"Cepat lepaskan itu! Aku nggak nyaman dengan auranya, ah!" Cika mengeluh kesal.

"Iya, iya. Maaf, deh." Mengikuti permintaan Cika, Rama segera melepaskan topeng itu, dan disaat itu pula kabut hitam dari tubuh Rama juga ikut menghilang. "Aku cuma mau memastikan apakah ini masih berfungsi atau nggak."

"Astaga... Pusaka milikmu itu ditempa langsung menggunakan jiwa si Iblis Api Hitam, Ifrix. Dan begitu juga kunci perak milikmu yang dibuat dari entah apa. Itu tetap akan berfungsi meskipun kau menyimpannya di gudang sampai ribuan tahun. Berbeda dengan cincinku, aku mendapatkan kekuatan Poseidea karena ia memberikannya padaku." Cika menjelaskan sambil mamandang Rama dengan jengkel.

"Oh, jadi Pusaka juga ada banyak macamnya, ya? Aku baru tahu." Rama sekali lagi memandang topeng di tangannya dengan tatapan kosong.

"Pusaka-pusaka yang kau miliki ini harusnya termasuk dalam kategori Kelas Bencana, lho. Persis kayak Cincin Posedea milikku."

"Kelas Bencana? Berarti ini harusnya kuat, kan?"

"Ya jelas, lah. Dengan Pusaka sekelas ini, kita bisa dengan mudah untuk menghancurkan sebuah kota dalam hitungan menit." Ungkap gadis kecil itu, tapi entah kenapa wajahnya jadi terlihat tegang sekarang. "Tunggu sebentar... Kenapa kau tiba-tiba membahas soal ini?"

Ya, gadis itu sepertinya menyadari sesuatu yang bahkan tidak disadari Rama.

"Kenapa ya? Aku jadi merasa sangat ingin masuk ke menara itu." Mata biru Rama kembali terpaku pada menara di kejauhan. Warna yang sama seperti aliran sungai yang selalu mengalir tanpa henti.

Menara yang juga dikenal banyak orang sebagai Gerbang Surga, namun, diketahui segelintir orang sebagai Gerbang Neraka.

"Heh!" Cika segera bangkit berdiri dan berusaha mengguncangkan tubuh Rama untuk membuatnya sadar. "Berhentilah memikirkan soal menara itu! Hiraukan saja suara-suara di kepalamu itu!"

Rama sebenarnya tidak mendengar suara apapun dalam kepalanya, hanya saja dia memang merasa sangat aneh saat ini. Seakan-akan ada sesuatu yang salah, dan ia jadi amat penasaran tentang menara itu.

Perasaan semacam ini sering Rama dapatkan ketika ia berpergian bersama Liel untuk menemui teman-temannya.

Perasaan tak terjelaskan ketika Rama menghadapi keajaiban yang baru.

"Kita ke sana, yuk?" Ajak Rama. Wajahnya masih kosong. Namun itu malah membuat Cika semakin panik.

"Heh! Astaga! Kau ini kerasukan apa, sih!?" Cika naik pitam. "Ingat apa yang dikatakan Rohan kemarin! Kalau kau sampai ke sana, maka kau sama saja membuat ramalan itu jadi kenyataan! dasar bodoh!"

"Eh... Kamu tenang dulu, ah... Aku cuma ingin melihatnya dari dekat, kok. Dan lagian, aku juga nggak pernah dengar suara aneh apapun di kepalaku. Aku cuma penasaran aja."

Keringat dingin mengalir dari dagu Cika. Jelas saja dia panik karena Rama. Ya, bocah itu sendiri juga sebenarnya kebingungan dengan apa yang baru saja terjadi. Rasa yang ada di hatinya tadi sudah hilang sekarang.

"Astaga... Aku kira kamu sudah terpikat sama menara itu." Cika menghela nafas lega. Ia lalu menoleh ke belakang memandang menara itu. "Kau cuma ingin melihatnya dari dekat saja, kan?"

"Aku juga boleh ikut nggak?" Ujar satu suara dari belakang Rama, yang seketika membuatnya terkejut.

Rama dan Cika segera menoleh, dan betapa herannya mereka ketika mendapati ada seorang remaja berseragam SMP yang berdiri di situ. Dia tinggi jangkung, berambut pendek jabrik dan wajahnya tampak seperti anak-anak berandalan.

"Kau... Bisa melihatku?" Tanya Cika ragu-ragu.

"Tentu, lah. Aku nggak buta, kok." remaja SMP itu melangkah maju melewati Rama dan Cika, lalu berdiri di depan memunggungi mereka.

"Eh... Emangnya, kenapa kamu mau ikut?" Rama bertanya.

"Suara di kepalaku... Mengatakan kalau segala mimpiku bisa menjadi nyata asalkan aku ke sana." Jelas remaja itu. "Alasan itu sudah lebih dari cukup buatku untuk pergi ke sana."

"Eh... Sebaiknya kamu nggak usah dengerin suara itu, deh, soalnya itu semua bohong–" Namun, belum saja Rama selesai berbicara, remaja itu segera memotong kata-katanya.

"Aku nggak peduli." Ujar remaja itu penuh keyakinan. "Aku ingin mengubah sesuatu di masa lalu, dan aku nggak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini."