webnovel

XI: Seorang Yang Mengintip Takdir

"Kehidupan, adalah permainan paling kejam yang pernah diciptakan." Ujar Cika tiba-tiba. Gadis kecil berwajah riang yang selalu bertingkah macam tante-tante itu tampak sangat sibuk dengan ponselnya.

"Eh? Kenapa kau bicara begitu?" Komentar Rama yang mengikuti dari belakang. Bocah lelaki berwajah malas dengan mata yang selalu berubah warna itu memasang ekspresi bingung di mukanya.

Hari ini, warna mata Rama bertukar dari perak menjadi emas, persis seperti mata sahabatnya, Liel. Warna itu pernah muncul sekali beberapa tahun silam.

Warna yang menjadi pengingat tentang hari dimana Rama melakukan dosa paling besar dalam hidupnya.

"Yah, karena kenyataannya memang begitu, kan?" Gadis bermata biru itu melepaskan pandangannya dari layar ponselnya lalu menyebrangi jalan raya.

Di sore hari yang berangin waktu itu, kedua bocah itu sedang berada di tengah Kota Kendari dalam rangka untuk menemui seorang kenalan Cika.

Gedung-gedung besar berdiri kokoh dan berdempetan di kiri kanan mereka. Jalan raya penuh sesak dengan pengendara, dan aroma yang tak sedap memenuhi udara. Ya, namanya juga daerah perkotaan, wajar kalau suasananya ramai dan sedikit tak menyenangkan.

Akan tetapi tengah-tengah keramaian itu, sepertinya tak ada satupun orang yang terganggu dengan keberadaan Cika, padahal anak gadis itu membawa pedang dan perisai di punggungnya, tapi orang-orang sepertinya tak mempedulikannya.

Ya, mungkin begitu, atau mungkin juga tidak. Soalnya Cika sendiri merupakan bagian dari keajaiban, dan faktanya manusia tak memiliki hak untuk melihat keajaiban, atau begitulah yang sering dikatakan Liel.

Sederhana sekali kalau dipikir-pikir.

"Oh, iya, kita mau ketemu siapa, sih?" Rama kembali angkat bicara.

"Yah, cuma kenalanku, kok." Ungkap Cika.

"Emangnya kenapa dengan dia? Kamu mau berkunjung atau gimana?"

"Eh, dia sebenarnya nggak tinggal di sini, tapi pintu rumahnya ada di mana-mana." Cika menjelaskan. Dia kelihatan sedikit gelisah saat ini. "Aku pernah membeli tiga ramalan dari dia. Yang pertama adalah soal cincin milikku, yang kedua tentang uang, dan yang ketiga itu tentu saja soal Singa Perak itu."

"Lho, jadi dia seorang peramal? Seorang yang bisa melihat masa depan?" Rama terperangah kagum mendengarnya. Sejauh ini dia dia memang sudah pernah melihat gunung yang dihancurkan oleh pedang, juga seekor naga, bahkan lubang di tengah laut, tapi ini pertama kalinya dia mendengar tentang profesi itu secara langsung.

"Ya, dia memang salah satu peramal yang paling terkenal di dunia ini." Cika tiba-tiba nyengir kecil. "Soalnya kita bisa berhutang padanya, asalkan nanti tetap dibayar." Lalu, senyumannya hilang lagi. Wajah gadis itu menjadi tegang. "Cuma, dari tiga ramalan yang aku beli darinya, salah satunya itu tidak sesuai... Dan itu adalah masalah besar."

"Ah, jadi kamu mau komplain nih ceritanya?"

"Wah nggak, dong." Ujar Cika yang berbelok masuk ke dalam gang sempit dan bau yang dihimpit oleh dua bangunan ruko besar. "Orang itu berusia delapan puluh lima tahun, dan selama itu pula, tak ada satupun orang yang pernah komplain soal ramalannya, dan aku nggak segila itu untuk jadi yang pertama."

Cika akhirnya menghentikan langkah kakinya di depan sebuah pintu baja yang dipenuhi banyak karat. Namun, keringan dingin mengalir di dagunya.

"Jadi?" Rama masih sedikit bingung.

"Ramalannya... Ramalannya tidak pernah meleset sekalipun. Tapi kemarin, untuk pertama kalinya ada ramalannya yang salah, dan itu... Pertanda buruk." Cika menggapai gagang pintu bobrok itu, dan membukanya. "Pertanda yang sangat buruk..."

Ketika pintu itu terbuka dan mereka berdua melangkah masuk, Rama langsung dibuat kagum lagi untuk yang kesekian kalinya.

Ruangan yang ada di balik pintu ternyata bukanlah ruangan, melainkan suatu daerah di dekat danau yang luas yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun nan tinggi.

Di pinggir danau itu, Rama juga mendapati ada seseorang yang sedang duduk di kursi sambil menikmati secangkir teh beraroma kurma.

"Tunggu, bagaimana mungkin ini bisa terjadi?" Rama bingung mau menatap pintu di belakangnya atau pemandangan di depannya.

"Ah, ini namanya Pintu Sihir." Cika memberitahu. "Harganya emang kelewat mahal, sih, tapi fungsinya kau bisa lihat sendiri, kan? Kau bisa mendesain ruangan di dalamnya sesukamu."

"Wah... Hebat banget." Rama bergumam sambil memandang ke segala penjuru. "Emangnya harganya berapaan, ya?"

"Assalamualaikum Rohan." Setelah Cika mengucapkan salam, pintu di belakang Rama tiba-tiba tertutup dengan sendirinya.

"Waalaikumsalam–Oh, Cika rupanya." Balas pria tinggi jangkung berparas tampan dan berkacamata yang mengenakan jubah hitam panjang itu. "Wah, cepat juga, ya? Apa perburuannya lancar? Ah! Ayo, ayo, silahkan duduk kalian berdua." Dia mempersilahkan Rama dan Cika untuk duduk, lalu menuangkan teh untuk mereka.

"Yah, itulah masalahnya..." Cika mengungkapkan.

"Oh? Ada masalah rupanya."

"Ramalannya... Salah." Ungkap Cika ragu-ragu.

Pria itu langsung berhenti menuangkan tehnya ketika mendengar ucapan Cika. Ia lalu kembali duduk dan mencoba untuk mendengarkan dengan serius.

"Ramalanku salah... katamu?" Lelaki yang tadinya tampak sangat murah senyum itu, seketika berubah jadi agak menyeramkan. Baik suaranya yang tadinya lembut dan suasananya yang juga hangat, kini berubah drastis. "Coba kau jelaskan."

"Yah, singa itu memang sudah mati... Tapi, dia matinya kemarin. Dan aku membeli ramalan dari kamu tadi subuh, tepatnya jam satu. Sudah beberapa jam berlalu setelah singa itu mati." Cika menjelaskan.

"Tidak mungkin..." Wajah pria itu jadi agak pucat. "Ini sudah bukan meleset lagi. Kesalahannya terlalu jauh... Tapi, bagaimana ini bisa terjadi? Apa mungkin ini gara-gara menara itu?" Dia lalu mengarahkan pandangannya pada Rama, dan saat itu pula, wajah pria itu berubah jadi tegang. "Eh... Ngomong-ngomong Cika... Siapa anak SD ini?"

"Ah... Seperti yang kamu lihat, dia ini manusia biasa, kok, cuma mungkin dia agak sedikit tercemar aja." Kata Cika. "Namanya Rama Wiranaga."

"Ah, halo, Om." Rama memperkenalkan dirinya.

"Sedikit tercemar katamu?" Pria itu tiba-tiba beranjak dari kursinya, lalu menatap mata Rama dekat-dekat. "Dia sebenarnya tidak tercemar... Dia juga sama seperti kita. Lihat apa yang kita dapat di sini... Dua Belas Mata." Pria itu menyimpulkan setelah memperhatikan kedua bola mata Rama.

"Eh..." Rama terkejut bukan main setelah mendengar itu. "Dua Belas Mata itu apa, Om?" Padahal beberapa hari lalu Aria sudah memberitahu Rama tentang matanya itu dan memyebutnya dengan sebutan Mata Tanpa Warna, dan di Kepingan Gaia pun tertera demikian. Bukan Dua Belas Mata.

Akan tetapi, ketika mereka bertukar pandangan, Rama juga sempat melihat sesuatu yang ganjil pada mata ungu cerah pria itu. Ada semacam simbol aneh berwarna emas di dalam bola matanya, hanya saja bentuknya tidak jelas.

"Hah? Yang benar?" Cika juga buru-buru melihat mata Rama dekat-dekat. "Bukannya itu cuma mitos?"

"Itu berarti kau memiliki dua belas jiwa yang berbeda di dalam tubuhmu. Sungguh, itu kekuatan yang berbahaya lho, Nak." Jelas pria itu. "Bahkan aku sampai nggak perlu melakukan apapun untuk melihat masa depanmu... Hanya dengan menatap matamu saja... Aku sudah mendapatkan banyak sekali gambaran."

"Astaga... Kamu dapat melihat masa depannya hanya dengan menatap matanya aja? Nggak perlu doa atau ritual apapun?" Tanya Cika yang masih tak percaya.

"Tapi... Ini buruk... Ini sangat buruk." Pria itu kembali duduk di kursinya lalu memandangi danau di samping mereka dengan tatapan pasrah. "Sepertinya ini semua memang berhubungan dengan menara itu... Dan Rama, adalah sumber utamanya."

"Ah... Apa yang sebenarnya terjadi?" Rama mulai berkeringat dingin. Dia sebenarnya sangat kebingungan, tapi bocah itu tak tahu harus bereaksi seperti apa.

"Kau sudah melihat menara itu, kan?" Tanya pria itu, dan Rama mengangguk mengiyakan. "Namanya adalah Menara Yenos, atau Gerbang Surga. Karena di puncaknya, kau akan mendapatkan hadiah yang sangat kau inginkan." Pria itu menjelaskan. "Orang-orang dulu mengatakan kalau menara itu merupakan Phantaminum. Menara itu pernah muncul beberapa kali ratusan tahun lalu, dan ia bermaksud untuk mengundang orang-orang agar masuk ke dalamnya."

"Ah, aku juga tahu cerita ini." Cika melanjutkan. "Menara Yang Lapar. Ayahku lebih suka menyebutnya begitu. Dia bilang, menara itu mencari penantang. Dia mencari orang-orang yang mampu untuk mendaki sampai ke puncak dan mendapatkan hadiahnya. Namun, tujuan sebenarnya bukanlah itu, karena keinginannya yang sebenarnya adalah–"

"Menara itu ingin mereka semua gagal, agar dia bisa memakan mayat para penantang, demi memuaskan rasa laparnya." Si Peramal mengakhiri ceritanya diiringi dengan datangnya hembusan angin kencang.

"Ya, menara itu memang medan perang..." Cika menambahkan dengan suara yang agak gemetar. "Hampir semua orang menganggapnya sebagai Gerbang Surga, tapi kenyataannya, itu adalah neraka."

"Dan kamu, Nak Rama, kamu akan menjadi penantang. Kamu adalah pemain utamanya." Pria itu mengungkapkan sambil menoleh menatap mata Rama.

"Tapi... Aku nggak mau, ah." Jawab Rama takut-takut. "Soalnya sahabatku juga sudah pernah melarangku untuk mendekati menara itu."

"Walaupun kau berkata begitu, pada akhirnya, kau tetap akan masuk ke menara itu." Pria itu menekankan dengan serius. "Sumpah, ini adalah pengelihatan paling aneh yang pernah kudapatkan seumur hidupku."

"Namun, bagaimana kalau ramalan Om salah lagi?" Balas Rama. Sebenarnya dia agak kesal, karena rasanya pria itu seakan menganggap kalau Rama akan masuk begitu saja ke dalam menara itu bagaikan orang bodoh.

"Jujur, itu jelas akan sangat-sangat merusak reputasiku. Namun, aku juga akan merasa sangat bersyukur kalau saja ramalanku tentangmu itu salah. Karena aku paling nggak suka dengan ramalan kematian. Soalnya... Saat menatap matamu tadi, aku melihat ada banyak, banyak sekali... Peperangan."

"Hah? Perang?"