webnovel

IV: Momen Sederhana Dalam Badai

"Di tempat asal kami, ada satu acara besar yang disebut sebagai Hari Air Mata, hari yang dinantikan semua orang dari seluruh benua. Itu adalah hari dimana kau bisa mengenang orang-orang tersayang yang telah dipanggil Tuhan, lalu mengunjungi makam mereka dan memberi mereka bunga mawar putih." Jelas Liel yang tengah berdiri di ujung tribun dekat turunan tangga sambil memandangi air hujan.

"Hmm... Disini kayaknya nggak ada hari gituan, deh." Balas Rama, matanya yang sewarna perunggu mengawasi punggung Liel.

"Aku baru tahu juga soal itu." Ujar Kain, bocah berpenampilan lusuh itu sedang duduk di atas pagar pembatas. 

"Ya iyalah kau nggak tahu, orang kau aja selama ini cuma hidup di hutan." Celetuk Aria. Pemuda tampan berambut pirang cerah itu tersenyum mengejek.

"Dan hari inilah, Hari Air Mata." Ujar Lilac, gadis itu masih mengenakan seragam kokinya, mengingat dia baru saja pulang kerja ketika Liel memanggilnya.

Di sore yang gelap nan dingin kala itu, Rama, Liel, Kain, Aria, dan Lilac sedang berteduh di tribun di Lapangan Sorumba. Masih di kecamatan Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. 

Awalnya, Liel memanggil mereka kesana untuk makan bersama dan merayakan Hari Air Mata. Tapi sayangnya, hujan deras tiba-tiba turun tepat setelah Lilac sampai di sini, jadi, beginilah keadaannya.

Namun, dipikir-pikir, pemandangan di depan mereka saat ini pun bisa dibilang lumayan hebat. 

Titik-titik air hujan yang tak henti-hentinya menyerbu dari angkasa kemudian jatuh menimpa daratan dan menciptakan suara gemericik yang menenangkan. 

Sederhana tapi mewah, mungkin itu cukup untuk menggambarkan bagaimana suasana dunia di sekitar saat ini. Ya, jika kau tahu cara untuk menikmatinya dengan benar.

Rama mengamati sekelilingnya. Kondisi tribun tempat mereka berteduh sebenarnya sangat buruk; lantainya sudah retak-retak dan sangat kotor, dan atapnya pun bolong-bolong, dan itu semua karena warga di sini tak mau mengurus tribun ini. Namun, meski begitu, Rama dan Liel sudah terbiasa dengan itu, gara-gara lantaran sering bermain di situ.

Akan tetapi, setelah melihat wajah Lilac, Kain, dan Aria, Rama pun sadar kalau mereka juga sepertinya tak memusingkan kondisi tempat ini.

Senyuman kecil terbentuk di bibir mereka semua ketika mereka menikmati hujan yang turun. 

"Ah, sudahlah. Kita lakukan disini saja." Liel berbalik, menjentikkan jarinya, dan membuat karpet lebar berwarna merah, serta selusin makanan yang masih hangat muncul dengan ajaib di situ.

Lobster panggang, ayam kalkun utuh berbalut mentega, sate daging, berbagai macam sup dan sambal, nasi dan roti, dan banyak lagi.

"Eh?" Suara kecil itu tanpa sadar keluar dari mulut Kain begitu saja. Mungkin dia masih belum terbiasa dengan hal-hal yang bisa dilakukan Liel. "Anu... kekuatan Liel itu sebenarnya apa, sih?" Kain terdiam melongo memandangi makanan-makanan itu. 

"Yah, gampangnya dia bisa menciptakan apapun yang dia mau, asalkan itu nggak mempengaruhi manusia yang lain." Jelas Lilac sambil mengambil posisi duduk di karpet, diikuti dengan Aria, Rama, dan Liel, tentu saja.

"Ah... Begitu rupanya." Kain pun ikut duduk. "Tapi, kalau dipikir-pikir, kekuatan begitu kayaknya curang banget, deh."

"Kau baru sadar?" Aria menatap Kain dengan cara yang menjengkelkan.

"Sudahlah, makan aja. Mumpung masih hangat." Lilac mengingatkan seraya mengambil posisi duduk di karpet, baru kemudian ia membagi-bagikan alat makan.

Jujur saja, Rama sangat terkejut mendengar soal kekuatan Liel yang sesungguhnya. Bocah itu sama sekali tidak tahu tentang itu selama ini, padahal dia juga sahabatnya. 

Namun, Rama tetap berusaha untuk berpikir positif. Lagi pula, kalau diingat-ingat, Rama memang belum pernah bertanya pada Liel soal itu. 

Ya, setidaknya sekarang dia sudah tahu, bukan? Jadi harusnya tak ada masalah.

"Ah, ngomong-ngomong ini ada hadiah buat kamu, Liel." Rama baru tersadar kalau ia memiliki hadiah untuk Liel.

"Hah?" Aria dan Lilac yang tengah menyendok makanan seketika terkejut sewaktu mendengarnya. 

"Hadiah? Buat apa?" Tanya Lilac penasaran. 

"Eh? Kalian nggak tahu? Hari ini tanggal tujuh, november, lho. Hari ini ultahnya Liel." Ungkap Rama sambil mengambil sebuah termos berukuran sedang dari dalam ranselnya. "Nih." Rama memberikan hadiahnya pada Liel.

"Hmm? Ini apaan?" Liel menelisik termos itu.

"Teh buatanku, dengan campuran kulit apel merah." Kata Rama sambil tersenyum kecil. 

Akan tetapi, wajah Lilac dan Aria masih saja tampak heran, sementara Kain sibuk makan lobster besar.

"Tapi... Ulang tahun Liel, kan, tanggal satu januari." Lilac memberitahu dengan ragu-ragu.

"Iya, di berkas yang kubaca juga begitu." Timpal Aria keheranan.

"Eh?" Rama bingung.

"Hey, kalian berdua nggak usah heran sampai segitunya, ah." Liel menatap Lilac dan Aria dengan wajah datar. "Hari ini tuh ultahku sebagai manusia. Kalau ultahku yang asli, sih, yah yang tanggal satu itu." 

Yap, satu fakta aneh lainnya yang baru diketahui Rama. Sepertinya itu berhubungan dengan reinkarnasi. Dulu memang Liel sempat menyinggung soal dia yang sudah mati dan lahir kembali puluhan kali. Namun, Rama merasa kalau cerita itu terlalu berlebihan untuk dicerna otaknya. Tapi sekarang, dia akhirnya tahu kalau itu benar, dan itu terkesan mengerikan.

Liel memunculkan lima cangkir cantik dengan kekuatannya, lalu menuangkan teh buatan Rama ke tiap-tiap cangkir.

Aroma harum yang tajam dari kulit apel dalam sekejap menyebar kemana-mana, mengalahkan aroma harum semua makanan mewah itu.

Liel langsung menyesap tehnya dengan penuh minat, dan ia tampak puas. 

"Hah... Hangat." Ucap Liel sambil memandangi cangkirnya. "Emang, ya, kalau orang yang jenius itu pasti serba bisa. Teh aja rasanya bisa jadi enak kayak begini."

"Hehe... Biasa aja, kok." Rama nyengir malu-malu.

"Ini benar teh buatanmu?" Tanya Lilac kagum. Dari wajahnya dia tampak sangat terkejut setelah menyicipi teh itu.

"Yap." Rama mengangguk cepat, tapi ekspresi Lilac tetap tidak berubah.

"Kalau begitu, aku juga ingin ngasih kamu sesuatu." Liel mengambil sesuatu dari kantong jaketnya; sebuah kunci perak yang berbentuk seperti petir. "Nih, aku baru buat kunci lagi buat kamu."

Rama cuma bisa memandang syok kunci itu

Benda ktu langsung membuatnya teringat dengan kunci emas pemberian Liel yang dulu, kunci untuk memanggil batu meteor.

"Ta-Tapi... Kenapa harus benda kayak gini lagi, sih?" Rama penuh keraguan.

"Heh!?" Kain, Aria, dan Lilac memekik kaget bersamaan.

"Udah, ambil saja. Yang ini bagus, kok." Liel mengulurkan kunci itu pada Rama.

"Eh... Yaudah, deh, kalau begitu..." Rama menerima kunci itu dengan berat hati.  "Jadi... Apa yang bisa kulakukan dengan kunci ini?" Rama mencolek-colek kunci itu dengan jemarinya, dan ada sensasi sengatan aneh ketika ia menyentuhnya.

Akan tetapi, sesuatu yang aneh terjadi; tak lama kemudian, ada sebuah lubang kunci kecil yang tiba-tiba muncul mengambang di depan Rama, dan itu terlihat sangat ajaib.

"Perasaanku, kok, nggak enak, ya?" Aria hanya bisa memasang senyuman kecil.

"Eh... El, bukannya agak berlebihan, ya, kalau kau memberikan pusaka seperti itu pada Rama? Dan berdasarkan yang aku dengar tadi, jelas kalau ini yang pertama kalinya." Tanya Lilac yang tersenyum kecut sambil memijat keningnya.

"Ah, nggak apa-apa, kok." Ucap Liel penuh keyakinan.

Dengan ragu-ragu, Rama perlahan menggerakkan tangan kanannya untuk memasukkan kunci barunya ke lubang itu. 

Ya, kunci itu muat, seolah-olah lubang itu memang tercipta untuknya. 

Namun, ketika ia memutar kuncinya, seketika itu pula terdengar suara guntur yang menggelegar dan petir mulai mengamuk di angkasa sana. 

Tapi, itu bukanlah bagian yang paling aneh.

Diikuti oleh kilatan putih yang amat menyilaukan, satu petir tiba-tiba turun dari langit dan menyambar Rama. 

Sungguh, itu terjadi terlalu cepat, cahaya penghantar maut itu benar-benar mengincar Rama, dan bocah itu bahkan tidak sempat untuk bereaksi sewaktu itu terjadi. Sekujur tubuhnya merinding dan syok melanda pikirannya.

Tapi, tepat sebelum petir itu menyambar Rama, bocah itu sadar kalau ada semacam cahaya biru yang melindunginya, dan hebatnya lagi, pelindung itu mampu memantulkan petir itu dan membuatnya berbelok menyambar satu pohon yang jauh di sana, hingga pohon itu terbakar dan tumbang.

"Kalau kau menggunakan kunci itu, maka kau akan berubah menjadi magnet untuk menarik badai. Tapi, kemampuan aslinya adalah untuk menciptakan pelindung yang akan melindungimu dari badai itu sendiri dan memantulkannya." Jelas Liel bangga. Hanya saja, kenapa dia terlihat sesombong itu? Padahal yang tadi itu sangat mengerikan.

Teror itu membuat pikiran Rama jadi hampir kosong, dia kebingungan sementara tangannya perlahan menggapai kunci perak yang mengambang itu lalu menariknya keluar dan memasukkannya ke kantong celananya.

Rama sadar kalau Aria, Lilac dan Kain hanya tersenyum masam di tempat mereka.

"Ya sudahlah, yuk, lanjut makan." Ajak Liel sambil kembali duduk di antara Aria dan Lilac. "Kamu nggak usah pikirin kunci-kunci itu. Intinya, aku bisa merasa lebih tenang asalkan kunci-kunci itu ada ditanganmu. Aku nggak mau kehilangan lagi soalnya."

Rama tidak mengerti. Dia masih tidak mengerti dengan rahasia yang ada di dunia ini. Tiap kali bocah itu melihatnya, ia pasti terpojok dalam rasa kebingungannya sendiri.

Rama menoleh sebentar ke belakang. Hujan masih turun dan langit kelabunya tampak suram. Anginnya dingin dan atmosfernya cukup menusuk.

Akan tetapi, karena Rama berada di sini, bersama dengan teman-temannya, Rama merasa kalau semua itu tidaklah penting, asalkan mereka ada. 

"Hey, Rama, ayo cepat makan." Kain mengingatkan, mulut bocah itu tak berhenti mengunyah.

"Ah, iya." Rama menatap ke arah teman-temannya, kemudian melanjutkan makannya, dan juga hidupnya.