webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Sahabat Merapi II

Pria itu tampak sangat marah sekarang. Dia kemudian menurunkan kakinya ke tanah, tapi jarak sepatunya dan bunga itu sangat dekat. 

"Apa kau tidak pernah diajari sopan santun, bocah tengik!" Pria itu langsung melayangkan tinjunya tepat ke arah wajah Satriya, namun, tiba-tiba saja daratan mulai berguncang hebat sebelum tangan pria itu menyentuh kulit wajah Satriya. Jeritan ketakutan seketika terdengar dari segala penjuru, dan semua orang langsung terjatuh di atas pantat mereka pada saat itu juga. 

"Cih... gara-gara orang-orang seperti pamanlah, sang Gunung jadi murka!" 

Gempa itu bahkan berhenti sedetik kemudian. Dan satu-satunya manusia yang masih berdiri di sana hanyalah Satriya seorang. Dia masih berdiri kokoh dan menatap geram pada tentara itu.

"Ugh!" Satriya jatuh berlutut. Kepalanya tiba-tiba terasa sangat nyeri bukan kepalang. Rasanya seperti kepala Satriya baru saja dilempar batu berkali-kali. Dia mencengkram kepalanya dengan keras. "Sakit banget! Ada apa ini! Argh!" 

"Kak Satriya! Kakak kenapa!?" Jaka dan Kiki langsung menghampiri Satriya yang masih meringkuk di tanah. 

"Anak ini...! Gempa tadi terjadi gara-gara anak ini!" Teriak si tentara yang kini sudah kembali bangkit berdiri. Dia terlalu panik hingga membuat pikirannya menjadi tak jernih. "Semua pasukan! Tangkap anak ini!" 

"Hah!? Itu nggak mungkin!" Jaka berusaha melindungi Satriya. 

"Iya... mungkin saja itu benar... " Bisik seorang warga. 

"Gempa yang tadi itu bukan gempa yang seperti biasanya... " 

"Anak itu pasti menggunakan ilmu hitam... " 

Semua warga pengungsi serta pasukan-pasukan keamanan yang ada di sana ternyata menelan bulat-bulat kebohongan pria itu. Mereka menaruh keyakinan pada hal yang jelas-jelas tidak masuk akal dan terlalu jauh dari nalar manusia. 

Para polisi dan tentara langsung mengambil langkah seribu untuk mengepung Satriya, Jaka dan Kiki. Mereka mengarahkan senjata mereka ke arah ketiga anak itu tanpa ragu. 

"Hey! Kalian nggak boleh melukai Kak Satriya!" Teriak Kiki ketakutan. Air matanya mengalir deras di pipinya.

"Menyingkir dari situ! Atau kalian juga akan kami tembak!" Raung seorang polisi.

"Cepat laporkan semuanya pada Komandan!" 

"Aku sudah menduganya! sejak awal aku memang sudah curiga pada anak itu! Dia bahkan memiliki mata kuning yang kelihatan bersinar!" 

"Yang benar!?"

"Segera laporkan!"

Rasa nyeri yang dirasakan Satriya tiba-tiba lenyap begitu saja. Matanya yang kuning kini berpendar dan terpaku pada bunga putih yang berada tepat di bawahnya. Tapi, di saat itu pula, ada satu kepingan ingatan yang muncul dalam pandangan Satriya. 

Di dalam kenangan itu, Satriya melihat sosok Centini yang tengah melangkah ke arahnya bersama dengan seorang gadis kecil berambut pirang, panjang dan amat lebat, sampai-sampai Satriya bisa merasakan kelembutannya hanya dengan melihatnya. 

"Satriya, kemarilah. Ada seseorang yang ingin bertemu denganmu, nih." Panggil Centini. "Satriya, perkenalkan, anak ini adalah Merapi. Dia adalah jiwa dari gunung ini." 

"Hay, Satriya! Salam kenal, ya! Seperti kata Mbak Centini, namaku Merapi. Tapi kamu boleh memanggilku Mera, kok." Ujar anak yang periang itu. "Oh iya! Kamu mau nggak jadi temanku?" Gadis itu tersenyum lebar sambil mengulurkan tangannya ke arah Satriya. 

"Ya, tentu saja." Tangan Satriya perlahan menyambut uluran tangan gadis itu. 

Saat jemari Satriya bertaut dengan jari Mera, sesuatu yang aneh tiba-tiba terjadi, dan bayang-bayang masa lalu itu pun akhirnya pudar. Satriya ditarik kembali ke kenyataan masa kini. Namun, anehnya Satriya bisa mendengar satu suara yang berasal dari bunga mungil itu.

"Panggil namaku jika kamu membutuhkanku, Satriya... " 

Suara itu, perkataan itu, seketika melenyapkan semua perasaan benci yang ada di dalam diri Satriya. Kebenciannya pada manusia telah hilang begitu saja. Satriya tidak tahu apakah perasaan bencinya terhadap manusia hanya hilang untuk sementara atau selamanya, tapi yang pasti, tubuh, pikiran, dan hatinya saat ini sudah terasa lebih baik dari sebelumnya. 

Satria membulatkan tekadnya, kemudian dia berbisik pelan. "Baiklah... Jawablah panggilanku, Merapi." 

"TEMBAK!"

"TIDAK!"

Sekonyong-konyong, timbul hembusan, atau mungkin ledakan angin yang amat kencang, sampai menghempaskan banyak orang ke belakang, termasuk para pasukan itu. Angin kencang itu berasal dari arah Satriya, seakan-akan dialah yang membuat hal itu terjadi. 

Satriya bangkit berdiri.

Tanah di bawah Satriya tiba-tiba berguncang, dan tak lama kemudian tanah itu mulai terangkat ke atas membawa serta merta Satriya, Jaka, dan Kiki di atasnya. Tanah itu terus naik sangat tinggi ke langit, hingga terlihat seperti sebuah pilar atau batang pohon yang teramat sangat panjang. 

Orang-orang yang ada di sana terperangah melihat pemandangan itu. Kejadian yang terlalu mustahil untuk terjadi dan tak dapat dicerna oleh akal orang biasa. Dari pada disebut malapetaka, pemandangan itu malah lebih terlihat seperti suatu keajaiban.

Setelah beberapa saat, pilar tanah itu akhirnya berhenti naik. Mungkin tingginya kira-kira dua ratus meter di atas permukaan tanah. 

"A-apa yang terjadi, Kak!?" Jerit Jaka yang tampak sangat panik, sementara wajah Kiki dibanjiri oleh air mata. Kedua anak itu memeluk erat pinggang Satriya, karena tanah tempat mereka berpijak tidak bisa dibilang lebar.

"Kak! A-aku takut!" Cicit Kiki. 

"Kalian tenang saja, aku akan melindungi kalian, kok." Kata Satriya.

"Halo, Satriya." 

Seorang gadis berambut pirang keemasan tiba-tiba muncul di depan Satriya. Dia melayang di udara. Senyuman terbentuk di bibir menghiasi wajahnya yang cantik jelita.

Satriya melirik ke arah Jaka dan Kiki. Mata mereka tertutup rapat karena saking takutnya, sampai-sampai mereka tidak menyadari kedatangan gadis itu.

"Mera... " Wajah Satriya menjadi tenang. Dia benar-benar merasa sangat bahagia karena bisa bertemu dengan sahabatnya lagi setelah sekian lama. Dan, Satriya juga baru sadar kalau ingatannya ternyata telah kembali seperti semula. "Bagaimana kabarmu, Mera—" 

Padahal Satriya berniat berbincang-bincang sebentar dengan Mera, tapi gadis itu langsung memotong perkataan Satriya. 

"Aku senang karena kamu membutuhkanku, Satriya. Dan aku juga senang karena kamu telah memanggilku. Sudah lama banget, yah? Tapi... untuk saat ini, akan lebih baik kalau kita menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu, oke?" 

"Ya... Aku paham..." Wajah Satriya berubah murung. "Aku juga baru kehilangan ingatanku tadi pagi, cuma sekarang ingatanku sudah kembali lagi. Tapi... rasanya... sangat lama... seolah-olah ingatanku memang sudah hilang selama bertahun-tahun... dan—"

"Setelah ini selesai, aku janji, aku tidak akan meninggalkanmu lagi seperti dulu." Kata Mera penuh tekad. "Hidupmu baru dimulai hari ini, Satriya. Kau masih ingat, kan? janji yang kita buat hari itu?"

Satriya menganggukan kepala pada pertanyaan Mera. "Kita akan mencari tempat baru untuk hidup bersama-sama seperti orang biasa. Aku, kamu, Centini, dan Nagapathi. Kita berempat... dan juga mereka yang membutuhkan kehidupan." 

"Nah, karena waktumu sudah diulang kembali hari ini, jadi, ayo kita laksanakan rencana itu sesegera mungkin!"

Satriya tersenyum lega. "Baiklah kalau begitu. Ayo kita selesaikan dengan cepat." 

Mera turun dari udara dan berpijak di tanah tempat Satriya berada. 

Satriya menghentakan kakinya dengan pelan, dan pada saat itu pula pilar tanah itu langsung bergerak turun mengantarkan mereka kembali ke tempat semula. Orang-orang semakin terkejut karena mereka mendapati keberadaan Mera yang berdiri di samping Satriya.

"TEMBAK! TEMBAK! TEMBAK!" Teriakan barbar itu terdengar lagi, dan rentetan hujan peluru dalam sekejap menyerbu dari segala arah.

Namun, Mera mengangkat tangannya ke depan, dan tanah di sekitar mereka terangkat ke atas dan menangkis peluru-peluru itu. 

"Sungguh manusia yang tak tahu diuntung." Mera mengibaskan tangannya, dan bersamaan dengan itu, dari dalam tanah muncul tanaman-tanaman sulur yang terlihat hidup. Sulur-sulur itu menyerang para tentara dan polisi yang menembak tadi. Satu per satu mereka dihempaskan dengan sekali pukulan, hingga pingsan. 

"Sudah lebih ratusan tahun aku terus bertahan menghadapi siksaan kalian para manusia. Kalian membakarku, menebangku, dan menghancurkanku. Ya, aku memang hanya sebuah gunung. Tapi, kalian kadang terlalu bodoh untuk menyadari bahwa orang paling sabar sekalipun memiliki amarah dalam diri mereka. Dan seperti kata pepatah, malapetaka adalah nama lain dari murka orang yang sabar. Oh, maaf, maksudku gunung yang sabar." Mera tersenyum kecil.

Orang-orang di sekitar mereka diam bagai patung setelah melihat apa yang bisa dilakukan oleh gadis yang berdiri di samping Satriya. Mata mereka semakin terbuka lebar, dan beberapa bahkan jatuh berlutut. 

Untuk sesaat suasana menjadi senyap setelahnya, namun keheningan dengan cepat dipecah oleh suara yang berasal dari angkasa. Jauh di langit, terlihat ada banyak helikopter yang sedang menuju ke tempat mereka.

"Hmm... sepertinya kau agak keterlaluan, Mera." Kata Satriya yang tersenyum pahit.

"Yah aku juga terpaksa." Jawab Mera seraya berbalik menatap para warga di sekitar. "Tapi sepertinya berita tentang hal-hal aneh yang terjadi di sini sudah sampai di telinga Pak Presiden, jadi situasinya mungkin bakal agak lebih panas sekarang."

"Hmm... Yah baiklah." Satriya masih mengamati keberadaan helikopter yang semakin dekat. "Tapi, tolong jangan bunuh mereka, Mera." 

"Kamu tenang saja. Sudah terlalu banyak nyawa manusia yang melayang hari ini, dan semua itu karena ulahku. Lagi pula, aku juga nggak mau berurusan dengan Dewan." Jelas Mera. "Setelah tertidur selama sepuluh abad, aku akhirnya terbangun karena merasakan kedatanganmu. Namun, setelah kita bertemu, aku malah tertidur lagi karena ikatan itu. Benar-benar membosankan."

Satriya bertanya dalam benaknya, bagaimana rasanya tidur selama itu? 

Mera menarik nafas dalam-dalam lalu dia pun menjelaskan banyak hal pada orang-orang. Mulai dari penjelasan mengenai dirinya sendiri yang merupakan jiwa dari Gunung Merapi, dan juga tentang bencana hari ini yang terjadi karena murkanya pada manusia. 

Banyak yang memasang wajah bingung saat mendengar penjelasan Mera, tapi tampaknya mereka berusaha untuk menerima kenyataan itu setelah semua yang terjadi di beberapa menit terakhir. Kekuatan-kekuatan aneh yang ditunjukkan Satriya dan Mera rupanya sudah lebih dari cukup untuk dijadikan sebagai bukti.

Kemudian, Mera memerintahkan pada semua orang untuk pergi sejauh mungkin dari daerah Gunung Merapi. Dia bahkan terang-terangan menyatakan kepada mereka kalau sebentar lagi akan terjadi perang di sini. 

Namun, tanpa keraguan sedikitpun, orang-orang langsung segera bersiap-siap untuk meninggalkan gunung ini. Para polisi dan tentara yang cukup waras juga membantu melancarkan proses evakuasi itu dan memastikan tak ada satupun orang yang tertinggal, termasuk orang-orang yang dibuat pingsan oleh Mera. 

"Untuk saat ini, lebih baik jika kalian mengikuti mereka." Pinta Satriya pada Jaka dan Kiki. 

"Tapi, Kak, kami sudah tidak punya siapa-siapa lagi... " Bisik Jaka sedih. 

"Kami nggak punya keluarga di kota." Tambah Kiki.

Satriya bersyukur bisa bertemu dengan kedua anak ini. Meski baru beberapa jam saja, tapi Satriya merasa bahwa dia bisa menganggap kedua anak ini lebih dari hanya sekedar kenalan. 

"Dengarkan aku kalian berdua." Satriya berusaha meyakinkan mereka. "Besok pagi aku berencana pergi bersama Ibuku dan juga Mera untuk memulai kehidupan yang baru, dan aku juga berniat untuk mengajak kalian berdua bersamaku." 

Mata Jaka dan Kiki terbuka lebar mendengarnya. 

"Jadi? Nanti kalian mau ikut denganku, kan?"

Jaka dan Kiki bertukar pandang, lalu berkata dengan mantap, "Kami mau, Kak!"

Mobil-mobil truk itu perlahan melaju pergi meninggalkan Satriya dan Mera sendirian di tengah lapangan. Namun, Satriya masih bisa melihat dengan jelas sosok Jaka dan Kiki yang berdiri sambil melambaikan tangan.

"Jadi, kau berniat menjalin ikatan dengan kedua anak itu?" Tanya Mera yang tersenyum simpul. 

"Yah... besok mereka berdua resmi menjadi keluargaku," Satriya menoleh menatap Mera. "Dan juga keluargamu tentu saja."

"Baguslah kalau begitu. Lebih banyak orang artinya lebih seru, bukan? Jadi petualangan kita juga nggak akan membosankan." Mera dan Satriya bersama-sama mengalihkan pandangan ke arah kumpulan helikopter yang kini telah berada di atas mereka. "Petualangan untuk menemukan kehidupan yang lebih baik." 

"Yah, kehidupan yang lebih baik." Bisik Satriya. Mata kuningnya menyala terang. 

"Baiklah. Aku menjawab panggilanmu, Satriya." Tiba-tiba saja, seluruh tubuh Mera memancarkan cahaya yang amat terang benderang hingga berhasil mengusir kegelapan malam. 

Sosok itu memiliki tubuh yang sangat besar hingga menjulang tinggi ke angkasa. Sosok raksasa yang bangkit dan lahir dari tanah itu bahkan menyerang kendaraan-kendaraan yang melayang di udara dengan membabi buta. Yah, pada dasarnya, raksasa itu baru mulai mengamuk setelah dihujani bom oleh helikopter-helikopter milik pasukan militer itu. 

Semua penumpang di truk tak mampu berkata-kata saat melihat pemandangan yang ajaib sekaligus amat mengerikan itu. Mata semua orang terbuka lebar. Namun, untung saja mereka sekarang sudah berada cukup dari daerah Gunung Merapi, jadi seharusnya tak ada apapun yang perlu dikhawatirkan lagi untuk saat ini.

Tapi anehnya, di antara semua penumpang itu, hanya Jaka dan Kiki saja yang tidak terlihat risau atau tegang. Mereka berdua tersenyum, dan tampak cahaya harapan dalam pandangan mata mereka.

Ingatan tentang saat-saat dimana Satriya mengajak mereka untuk hidup bersama masih berputar dalam benak mereka berdua. Setelah sekian lama, mimpi mereka untuk bebas akhirnya terwujud. 

Kenyataannya, Jaka dan Kiki benar-benar sangat membenci ayahnya, karena setelah ibu mereka meninggal, ayah mereka menjadi agak sinting dan selalu menyiksa mereka serta menyalahkan mereka berdua atas tragedi yang menimpa ibu mereka.

"Tapi, Kak, kok rasanya aku kayak sudah nggak membenci Ayah lagi, ya?" Kiki tiba-tiba angkat bicara. 

Perkataan sang Adik malah membuat Jaka teringat kembali dengan saat-saat dimana Ayahnya mendorong mereka berdua waktu tanah terbuka dan hampir menelan mereka. Jaka ingat betul wajah marah ayahnya saat menyuruh mereka lari. Tapi, meski begitu, Jaka juga tidak bisa menyangkal, kalau bukan karena ayahnya mereka berdua pasti sudah tidak akan hidup lagi sampai detik ini. 

"Yah, aku nggak terlalu mengerti, sih. Tapi... aku juga sudah nggak membenci Ayah lagi, kok." Jaka tersenyum lebar. "Entah kenapa aku merasa sangat bahagia sekarang. Kita hidup..."