webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Sahabat Merapi I

Story By : Aliza Bitthia & Kevin E.S.P

Satriya terbangun saat mencium bau hangus tajam yang menusuk hidungnya. Seluruh hutan terbakar habis, dan entah kenapa Satriya sendiri tidak sadar sudah tertidur berapa lama. Hanya pohon beringin tempatnya bernaung saja yang masih kokoh, hijau dan rimbun.

Satriya lalu memutuskan untuk memanjat pohon itu sampai di puncak rantingnya.

Dari kejauhan, Satriya bisa melihat asap yang membumbung tinggi dari Gunung Merapi, serta lelehan lahar berwarna merah pijar yang masih mengalir di ceruk lekukan gunung.

"Apa... yang sebenarnya terjadi?" Tanya anak berkulit kecoklatan itu bertanya pada dirinya sendiri. Rambut gondrongnya yang hitam legam ditiup oleh angin yang terasa panas.

Satriya berusaha mengumpulkan kepingan memori, juga alasan kenapa dia bisa terbangun di tempat ini.

Namun, tiba-tiba Dada Satriya mulai terasa sesak, abu yang berterbangan dari tanah masuk ke paru-parunya. Satriya menutup hidung dengan baju. Tanpa alas kaki, dia berniat menapak tumpukan abu yang masih panas mengepul.

Di pikirannya hanya ada satu yang terpikirkan: keluar dari sini untuk mencari pertolongan.

Akan tetapi, saat kakinya menapak, ternyata ada angin yang menahannya, dedaunan dari pohon beringin itu rontok dan berterbangan membentuk suatu wujud. Wanita dari dedaunan.

"Satriya, apa kamu baik baik saja?"

"Eh... siapa kamu? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Hah... Mau bagaimana lagi... " Sosok itu mengambil nafas dalam. Entah dia punya hidung atau tidak. "Aku Centini. Aku ini adalah orang tua spiritual yang sudah merawatmu dari bayi. Sayangnya aku tidak bisa menjelaskan semua yang terjadi, kamu sudah lihat sendiri bencana alam ini, ini semua memang proses untuk membersihkan apa yang jahat dan menggantikannya dengan hal baru."

"Orang tua spiritual?" Satriya termangut-mangut, "berarti kamu ini ibuku, dong?"

"Ya, aku memang ibumu." Satriya seakan bisa melihat senyuman yang terbentuk di wajah sosok itu.

"Tapi, dimana orang tuaku yang asli? Dan kenapa aku bisa disini? Dan... kepalaku terasa sakit banget."

"Kurang asem... " Bisik Centini yang terdengar agak jengkel. "Mantra itu benar-benar sirna di saat yang tidak tepat, dan malah membuat ingatanmu jadi berantakan."

"Mantra? apa maksud Ibu?" Tanya Satriya keheranan.

"Sudah terlambat untuk menjelaskan semuanya sekarang. Yang penting saat ini kamu harus pergi dari sini secepat mungkin."

"Hah? Tapi bagaimana caranya? Aku saja nggak tahu lagi berada di mana."

Centini bersiul dengan keras, memanggil seekor naga putih yang muncul dari entah mana. Naga itu melesat ke angkasa, membumbung di atas awan. Naga yang sisiknya terdapat bulu-bulu lembut itu lantas melingkari badan Satriya dan membuatnya merasa nyaman.

"Nagapathi, bisakah kamu membawa Satriya ke tempat yang aman?" pinta Centini.

Naga itu mematuhi perintah Centini, dan dibawanya Satriya langsung ke tengkuk lehernya dengan kibasan ekornya.

"Terima kasih, dan sampai jumpa lagi... ibu." Satriya melambaikan tangan.

"Ya, sampai jumpa... putraku."

Centini tersenyum, lalu dirinya berubah menjadi sekumpulan daun yang hangus terbakar. Pohon beringin yang tadi kokoh berubah menjadi abu.

Nagapathi membawa Satriya ke atas langit, menembus awan kelabu. Satriya bisa merasakan angin yang berhembus kencang. Dia berpegangan pada bulu di leher Nagapathi agar tidak tertiup. Awan di bawah mulai jarang terlihat, ada beberapa pemukiman warga yang hancur, ada juga yang terkubur abu.

"Merapi sepertinya murka pada manusia, ya. Sebenarnya apa salah mereka sampai hal ini terjadi?" Satriya bergumam.

Lalu setelah pemukiman warga, terlihat juga beberapa tenda yang jaraknya tidak terlalu jauh. Rupanya disana berkumpul orang-orang yang masih berusaha untuk mengambil harta benda yang tersisa. Entah bagaimana bisa, mata Satriya bisa melihat mereka semua dengan sangat jelas.

Satriya menarik bulu Nagapathi.

Ingin sekali Satriya membantu manusia-manusia itu, karena mungkin saja mereka bisa memberitahu Satriya tentang mencari jati dirinya. Namun Nagapathi nampaknya menolak, dia hanya terbang lurus entah kemana.

Lalu, cukup jauh di sana, ada juga pepohonan yang masih berdiri kokoh, meskipun daunnya kering. Lalu ada sekawanan orang yang mengendarai sepeda motor dan mobil. Mereka tampak terburu-buru, takut gunung itu akan meletus lagi. Satriya teringat kalau lahar masih saja meleleh dari kawahnya.

Nagapathi mulai terbang rendah, dia mencari sebuah tempat untuk mendarat. Dia memilih sebuah rumah kosong di pinggir hutan bambu. Dengan lihai dia mengalihkan perhatian menggunakan hembusan awan dari hidungnya, lalu menyelimuti seluruh badannya.

Satriya turun di rumah itu, lalu Nagapathi menghilang begitu saja tanpa jejak.

"Lho... aku, kan, belum mengucapkan terima kasih... " Kata Satriya kecewa sambil berusaha mencari keberadaan Nagapathi di sekitarnya. Tapi, anehnya naga itu sama sekali tidak terlihat dimanapun.

Satriya melangkah menuju ke rumah itu, lalu membuka pintunya yang sudah lapuk, atap rumah itu sudah ambles sebagian, bahkan ada yang jebol. Daun-daun berserakan dalam rumah. Ada dua ruang tidur serta satu tempat tidur bambu yang masih utuh, juga dapur yang dipenuhi kendhil berserakan, serta kamar mandi yang masih menggunakan air dari sumur.

Entah kenapa, kepingan memori Satriya terbuka disini. Satriya mengambil salah satu kendhil dan mengamati isinya yang ternyata adalah makanan.

Tiba-tiba, Satriya teringat dengan sosok seorang gadis kecil yang dulu pernah menjadi teman mainnya. Tapi dia tidak bisa mengingat namanya. Hanya wajahnya yang cantik serta rambutnya yang kuning panjang saja yang masih terbayang jelas dalam benaknya.

"Sebenarnya siapa aku ini sebelumnya?"

Satriya duduk di kasur bambu, berharap ada sekelebat memori yang terbuka lagi. Namun, setelah beberapa saat, tidak ada yang terjadi, hingga akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari rumah itu.

Melihat arah matahari yang agak condong ke barat, Satriya menyadari kalau dia harus mencari tempat perlindungan yang lebih layak. Dia berusaha mengingat-ingat ke arah mana kerumunan orang tadi.

Menyusuri hutan bambu, mencari jalan setapak, melewati sungai kecil, dan ia akhirnya berhasil keluar dari hutan dan tengah menuju ke suatu daerah pemukiman. Disana ada beberapa tenda yang berdiri di lapangan desa. Beberapa perawat memasang posko darurat, lantas dia mendatangi mereka.

Mereka tertegun melihat keadaan Satriya. Dia langsung dirawat oleh mereka, diberi obat-obatan, luka-lukanya juga dibersihkan dan dibalut dengan perban. Dia lalu digiring ke salah satu tenda yang penuh dengan orang-orang yang tengah tertidur dan beristirahat.

Akan tetapi, orang-orang di sana menatap Satriya dengan tatapan aneh. Mereka melihat Satriya seolah-olah dia itu bukan manusia. Namun, Satriya menghiraukan mereka dan memilih untuk tidur di tempat yang tidak terlalu sesak, yang hanya beralaskan tikar.

Satriya bertanya-tanya dalam hati, apakah dia bisa bertemu lagi dengan Centini dan Nagapathi suatu saat nanti? Rasanya terlalu menyakitkan jika Satriya harus berpisah dengan orang yang merawatnya selama ini tanpa membawa kenangan apa-apa. Rasanya sangat hambar dan kosong.

Sekitar pukul sembilan malam, Satriya dibangunkan oleh seorang anak kecil yang terus menusuk-nusuk pipi Satriya dengan jemarinya.

"Hey, dia sudah bangun!" Anak lelaki itu memberitahu seseorang begitu Satriya membuka matanya lebar-lebar. Satriya memandang berkeliling kala itu, dan mendapati tenda yang sudah hampir kosong melompong dan hanya diterangi oleh lampu yang juga tidak terlalu terang.

Setelah teman perempuannya datang, anak yang membangunkan Satriya langsung melontarkan pertanyaan yang terdengar sedikit menyebalkan, sampai membuat wajah Satriya berubah masam.

"Nama Kakak siapa? Dan kenapa mata Kakak berwarna kuning? Kakak dari mana? Kayaknya Kakak nggak berasal dari sini, deh."

"Eh... Aku Satriya... " Satriya menjawab, tapi entah kenapa rasanya hanya itu saja yang mampu dia katakan.

"Oh, Kak Satriya, ya." Tanggap anak lelaki itu seraya menarik tangan Satriya dan mengajaknya keluar dari tenda. "Ayo, Kak, mereka sedang membagikan makanan sekarang. Kalau nggak cepat-cepat, nanti makanannya bisa habis!"

Anak itu berjalan dengan cepat di atas kaki mungilnya, sementara si anak perempuan itu mengikuti mereka berdua dari belakang. Jika dilihat dari tinggi badan mereka, kedua anak ini mungkin masih berusia enam atau tujuh tahun.

Kegelapan malam, juga suara teriakkan yang lantang dan gagah, serta suara-suara dari mesin yang entah apa langsung menyambut mereka saat tiba di luar, dan tampak pula orang-orang yang sedang mengantri di depan sebuah mobil truk yang membagikan bungkusan berisi makanan.

Jujur, Satriyas sebenarnya sangat senang karena bisa berada ditengah-tengah keramaian seperti ini. Meski ingatannya tentang hari-hari sebelumnya masih buram, Satriya yakin kalau hanya Centini dan Nagapathi saja yang menemaninya sejak dia lahir. Hanya mereka berdua yang tahu tentang keberadaan Satriya.

Akan tetapi, Satriya merasa seakan tidak mampu memasang senyuman di bibirnya setelah dia melihat wajah orang-orang yang ada di sana. Nestapa, rasa takut, kekecewaan, dan keputusasaan menghiasi wajah seluruh warga pengungsi.

Malam sudah semakin larut ketika Satriya dan kedua anak itu berhasil mendapatkan makanan. Satriya membuka bungkusan itu dan memandang nasi dan juga sayur tumis serta tempe tahu goreng yang ada di dalamnya.

"Ngomong-ngomong siapa nama kalian?" Tanya Satriya yang masih menatap makanannya dengan tatapan kosong.

"Ah, aku Jaka, Kak, dan ini Kiki." Jawab anak lelaki yang bernama Jaka itu. "Kami kembar lho."

"Yah, terlihat jelas, kok." Jawab Satriya sambil tersenyum masam, sementara matanya tengah mengamati luka-luka yang ada di sekujur tubuh kedua anak itu.

Kedua anak itu makan dengan lahap. Dan yang paling mengejutkan lagi, mereka berdua tetap tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Setelah mengantri cukup lama, Satriya memang menyadari bahwa hampir semua anak-anak yang ada di sini masih tidak kehilangan senyum mereka.

Saat Satriya mengarahkan pandangannya ke arah Kiki, mata Satriya tanpa sengaja menangkap pemandangan lain yang berada tak jauh di belakang gadis kecil itu; yaitu setangkai bunga dengan kelopak berwarna putih yang tumbuh subur sendirian di antara rerumputan, di tengah-tengah lautan manusia.

"Oh iya, kalau dipikir-pikir, kok, kalian nggak makan bersama dengan ayah dan ibu kalian?" Tanya Satriya yang juga mulai melahap makanannya.

Setelah mendengar pertanyaan itu, senyum Jaka dan Kiki seketika raib begitu saja dan mereka lalu diam bagaikan patung. Namun, tak sampai hitungan detik, tiba-tiba senyum mereka kembali terbentuk di bibir, dan malahan sekarang senyum mereka lebih lebar dibanding sebelumnya.

"Ibu kami meninggal waktu kami masih kecil, Kak. Dan ayah jatuh ke dalam tanah saat Merapi meletus tadi pagi." Jelas Jaka.

"Jatuh ke dalam tanah?"

"Iya, Kak! Waktu itu, tanah di bawah kami tiba-tiba terbelah dan terbuka seperti mulut yang mau makan, Kak!" Ujar Kiki heboh.

"Dan kami bertiga hampir jatuh tadi, tapi untungnya ayah mendorong kami dan dia juga sempat berteriak menyuruh kami pergi jauh-jauh dari sana." Jaka mengakhiri ceritanya dan kembali makan.

"Saat kami sampai di sini dan menceritakannya pada polisi-polisi itu, mereka malahan menyuruh kami masuk ke tenda dan beristirahat." Tambah Kiki. "Oh! Tadi Kakak ingat, kan? Dengan polisi perempuan yang memeluk kita waktu kita mau masuk ke tenda?"

"Ah, aku ingat, kok." Kata Jaka. "Mbak polisi itu tadi menangis, nggak tau kenapa."

Polwan yang mereka bahas pasti menangis karena mendengar cerita Jaka dan Kiki, pikir Satriya. Sungguh kenyataan yang mengenaskan. Mata Satriya sampai terbelalak lebar karena saking terkejutnya. Tapi, fakta bahwa kedua anak ini masih bisa tertawa riang seakan tidak terjadi apa-apa, malah membuat Satriya jadi tambah bingung.

"Tolong... "

Suatu suara tiba-tiba terdengar dalam benak Satriya. Gambaran anak gadis berambut pirang yang ada dalam ingatannya pun ikut muncul bersamaan dengan datangnya bisikan yang lembut itu. Suara lemah seorang gadis kecil yang menggema dalam diri Satriya.

"BERHENTI!" Teriak Satriya membahana hingga membuat dunia di sekitarnya menjadi hening seketika. Semua mata yang kebingungan kini tertuju padanya.

Satriya bangkit berdiri dengan perlahan, lalu dia mulai melangkah melewati Kiki dan Jaka. Dia terus melangkah, di tengah-tengah kesunyian itu, sampai akhirnya dia berhenti di hadapan seorang tentara, yang sebelah kakinya masih dalam posisi terangkat.

"Kenapa Paman ingin menginjak bunga ini?" Tanya Satriya dengan nada mengancam.

Pria berseragam loreng dan berwajah garang itu tentu saja terkejut dengan tindakkan Satriya. "Apa katamu—"

"Kutanya sekali lagi." Suara Satriya terdengar semakin tajam. "Kenapa Paman ingin menginjak bunga ini? Kupikir suaraku sangat jelas."

Satriya terbangun saat mencium bau hangus tajam yang menusuk hidungnya. Seluruh hutan terbakar habis, dan entah kenapa Satriya sendiri tidak sadar sudah tertidur berapa lama. Hanya pohon beringin tempatnya bernaung saja yang masih kokoh, hijau dan rimbun. 

Satriya lalu memutuskan untuk memanjat pohon itu sampai di puncak rantingnya.

Dari kejauhan, Satriya bisa melihat asap yang membumbung tinggi dari Gunung Merapi, serta lelehan lahar berwarna merah pijar yang masih mengalir di ceruk lekukan gunung.

"Apa... yang sebenarnya terjadi?" Tanya anak berkulit kecoklatan itu bertanya pada dirinya sendiri. Rambut gondrongnya yang hitam legam ditiup oleh angin yang terasa panas.

Satriya berusaha mengumpulkan kepingan memori, juga alasan kenapa dia bisa terbangun di tempat ini.

Namun, tiba-tiba Dada Satriya mulai terasa sesak, abu yang berterbangan dari tanah masuk ke paru-parunya. Satriya menutup hidung dengan baju. Tanpa alas kaki, dia berniat menapak tumpukan abu yang masih panas mengepul.

Di pikirannya hanya ada satu yang terpikirkan: keluar dari sini untuk mencari pertolongan.

Akan tetapi, saat kakinya menapak, ternyata ada angin yang menahannya, dedaunan dari pohon beringin itu rontok dan berterbangan membentuk suatu wujud. Wanita dari dedaunan.

"Satriya, apa kamu baik baik saja?"

"Eh... siapa kamu? Apa yang sebenarnya terjadi?"

"Hah... Mau bagaimana lagi... " Sosok itu mengambil nafas dalam. Entah dia punya hidung atau tidak. "Aku Centini. Aku ini adalah orang tua spiritual yang sudah merawatmu dari bayi. Sayangnya aku tidak bisa menjelaskan semua yang terjadi, kamu sudah lihat sendiri bencana alam ini, ini semua memang proses untuk membersihkan apa yang jahat dan menggantikannya dengan hal baru."

"Orang tua spiritual?" Satriya termangut-mangut, "berarti kamu ini ibuku, dong?"

"Ya, aku memang ibumu." Satriya seakan bisa melihat senyuman yang terbentuk di wajah sosok itu. 

"Tapi, dimana orang tuaku yang asli? Dan kenapa aku bisa disini? Dan... kepalaku terasa sakit banget."

"Kurang asem... " Bisik Centini yang terdengar agak jengkel. "Mantra itu benar-benar sirna di saat yang tidak tepat, dan malah membuat ingatanmu jadi berantakan."

"Mantra? apa maksud Ibu?" Tanya Satriya keheranan.

"Sudah terlambat untuk menjelaskan semuanya sekarang. Yang penting saat ini kamu harus pergi dari sini secepat mungkin."

"Hah? Tapi bagaimana caranya? Aku saja nggak tahu lagi berada di mana."

Centini bersiul dengan keras, memanggil seekor naga putih yang muncul dari entah mana. Naga itu melesat ke angkasa, membumbung di atas awan. Naga yang sisiknya terdapat bulu-bulu lembut itu lantas melingkari badan Satriya dan membuatnya merasa nyaman.

"Nagapathi, bisakah kamu membawa Satriya ke tempat yang aman?" pinta Centini.

Naga itu mematuhi perintah Centini, dan dibawanya Satriya langsung ke tengkuk lehernya dengan kibasan ekornya.

"Terima kasih, dan sampai jumpa lagi... ibu." Satriya melambaikan tangan.

"Ya, sampai jumpa... putraku."

Centini tersenyum, lalu dirinya berubah menjadi sekumpulan daun yang hangus terbakar. Pohon beringin yang tadi kokoh berubah menjadi abu.

Nagapathi membawa Satriya ke atas langit, menembus awan kelabu. Satriya bisa merasakan angin yang berhembus kencang. Dia berpegangan pada bulu di leher Nagapathi agar tidak tertiup. Awan di bawah mulai jarang terlihat, ada beberapa pemukiman warga yang hancur, ada juga yang terkubur abu.

"Merapi sepertinya murka pada manusia, ya. Sebenarnya apa salah mereka sampai hal ini terjadi?" Satriya bergumam.

Lalu setelah pemukiman warga, terlihat juga beberapa tenda yang jaraknya tidak terlalu jauh. Rupanya disana berkumpul orang-orang yang masih berusaha untuk mengambil harta benda yang tersisa. Entah bagaimana bisa, mata Satriya bisa melihat mereka semua dengan sangat jelas.

Satriya menarik bulu Nagapathi. 

Ingin sekali Satriya membantu manusia-manusia itu, karena mungkin saja mereka bisa memberitahu Satriya tentang mencari jati dirinya. Namun Nagapathi nampaknya menolak, dia hanya terbang lurus entah kemana.

Lalu, cukup jauh di sana, ada juga pepohonan yang masih berdiri kokoh, meskipun daunnya kering. Lalu ada sekawanan orang yang mengendarai sepeda motor dan mobil. Mereka tampak terburu-buru, takut gunung itu akan meletus lagi. Satriya teringat kalau lahar masih saja meleleh dari kawahnya.

Nagapathi mulai terbang rendah, dia mencari sebuah tempat untuk mendarat. Dia memilih sebuah rumah kosong di pinggir hutan bambu. Dengan lihai dia mengalihkan perhatian menggunakan hembusan awan dari hidungnya, lalu menyelimuti seluruh badannya. 

Satriya turun di rumah itu, lalu Nagapathi menghilang begitu saja tanpa jejak.

"Lho... aku, kan, belum mengucapkan terima kasih... " Kata Satriya kecewa sambil berusaha mencari keberadaan Nagapathi di sekitarnya. Tapi, anehnya naga itu sama sekali tidak terlihat dimanapun. 

Satriya melangkah menuju ke rumah itu, lalu membuka pintunya yang sudah lapuk, atap rumah itu sudah ambles sebagian, bahkan ada yang jebol. Daun-daun berserakan dalam rumah. Ada dua ruang tidur serta satu tempat tidur bambu yang masih utuh, juga dapur yang dipenuhi kendhil berserakan, serta kamar mandi yang masih menggunakan air dari sumur.

Entah kenapa, kepingan memori Satriya terbuka disini. Satriya mengambil salah satu kendhil dan mengamati isinya yang ternyata adalah makanan. 

Tiba-tiba, Satriya teringat dengan sosok seorang gadis kecil yang dulu pernah menjadi teman mainnya. Tapi dia tidak bisa mengingat namanya. Hanya wajahnya yang cantik serta rambutnya yang kuning panjang saja yang masih terbayang jelas dalam benaknya.

"Sebenarnya siapa aku ini sebelumnya?" 

Satriya duduk di kasur bambu, berharap ada sekelebat memori yang terbuka lagi. Namun, setelah beberapa saat, tidak ada yang terjadi, hingga akhirnya dia memutuskan untuk keluar dari rumah itu.

Melihat arah matahari yang agak condong ke barat, Satriya menyadari kalau dia harus mencari tempat perlindungan yang lebih layak. Dia berusaha mengingat-ingat ke arah mana kerumunan orang tadi. 

Menyusuri hutan bambu, mencari jalan setapak, melewati sungai kecil, dan ia akhirnya berhasil keluar dari hutan dan tengah menuju ke suatu daerah pemukiman. Disana ada beberapa tenda yang berdiri di lapangan desa. Beberapa perawat memasang posko darurat, lantas dia mendatangi mereka.

Mereka tertegun melihat keadaan Satriya. Dia langsung dirawat oleh mereka, diberi obat-obatan, luka-lukanya juga dibersihkan dan dibalut dengan perban. Dia lalu digiring ke salah satu tenda yang penuh dengan orang-orang yang tengah tertidur dan beristirahat.

Akan tetapi, orang-orang di sana menatap Satriya dengan tatapan aneh. Mereka melihat Satriya seolah-olah dia itu bukan manusia. Namun, Satriya menghiraukan mereka dan memilih untuk tidur di tempat yang tidak terlalu sesak, yang hanya beralaskan tikar. 

Satriya bertanya-tanya dalam hati, apakah dia bisa bertemu lagi dengan Centini dan Nagapathi suatu saat nanti? Rasanya terlalu menyakitkan jika Satriya harus berpisah dengan orang yang merawatnya selama ini tanpa membawa kenangan apa-apa. Rasanya sangat hambar dan kosong.

Sekitar pukul sembilan malam, Satriya dibangunkan oleh seorang anak kecil yang terus menusuk-nusuk pipi Satriya dengan jemarinya. 

"Hey, dia sudah bangun!" Anak lelaki itu memberitahu seseorang begitu Satriya membuka matanya lebar-lebar. Satriya memandang berkeliling kala itu, dan mendapati tenda yang sudah hampir kosong melompong dan hanya diterangi oleh lampu yang juga tidak terlalu terang. 

Setelah teman perempuannya datang, anak yang membangunkan Satriya langsung melontarkan pertanyaan yang terdengar sedikit menyebalkan, sampai membuat wajah Satriya berubah masam. 

"Nama Kakak siapa? Dan kenapa mata Kakak berwarna kuning? Kakak dari mana? Kayaknya Kakak nggak berasal dari sini, deh." 

"Eh... Aku Satriya... " Satriya menjawab, tapi entah kenapa rasanya hanya itu saja yang mampu dia katakan. 

"Oh, Kak Satriya, ya." Tanggap anak lelaki itu seraya menarik tangan Satriya dan mengajaknya keluar dari tenda. "Ayo, Kak, mereka sedang membagikan makanan sekarang. Kalau nggak cepat-cepat, nanti makanannya bisa habis!" 

Anak itu berjalan dengan cepat di atas kaki mungilnya, sementara si anak perempuan itu mengikuti mereka berdua dari belakang. Jika dilihat dari tinggi badan mereka, kedua anak ini mungkin masih berusia enam atau tujuh tahun. 

Kegelapan malam, juga suara teriakkan yang lantang dan gagah, serta suara-suara dari mesin yang entah apa langsung menyambut mereka saat tiba di luar, dan tampak pula orang-orang yang sedang mengantri di depan sebuah mobil truk yang membagikan bungkusan berisi makanan. 

Jujur, Satriyas sebenarnya sangat senang karena bisa berada ditengah-tengah keramaian seperti ini. Meski ingatannya tentang hari-hari sebelumnya masih buram, Satriya yakin kalau hanya Centini dan Nagapathi saja yang menemaninya sejak dia lahir. Hanya mereka berdua yang tahu tentang keberadaan Satriya. 

Akan tetapi, Satriya merasa seakan tidak mampu memasang senyuman di bibirnya setelah dia melihat wajah orang-orang yang ada di sana. Nestapa, rasa takut, kekecewaan, dan keputusasaan menghiasi wajah seluruh warga pengungsi. 

Malam sudah semakin larut ketika Satriya dan kedua anak itu berhasil mendapatkan makanan. Satriya membuka bungkusan itu dan memandang nasi dan juga sayur tumis serta tempe tahu goreng yang ada di dalamnya. 

"Ngomong-ngomong siapa nama kalian?" Tanya Satriya yang masih menatap makanannya dengan tatapan kosong. 

"Ah, aku Jaka, Kak, dan ini Kiki." Jawab anak lelaki yang bernama Jaka itu. "Kami kembar lho." 

"Yah, terlihat jelas, kok." Jawab Satriya sambil tersenyum masam, sementara matanya tengah mengamati luka-luka yang ada di sekujur tubuh kedua anak itu. 

Kedua anak itu makan dengan lahap. Dan yang paling mengejutkan lagi, mereka berdua tetap tidak berhenti tersenyum sejak tadi. Setelah mengantri cukup lama, Satriya memang menyadari bahwa hampir semua anak-anak yang ada di sini masih tidak kehilangan senyum mereka. 

Saat Satriya mengarahkan pandangannya ke arah Kiki, mata Satriya tanpa sengaja menangkap pemandangan lain yang berada tak jauh di belakang gadis kecil itu; yaitu setangkai bunga dengan kelopak berwarna putih yang tumbuh subur sendirian di antara rerumputan, di tengah-tengah lautan manusia. 

"Oh iya, kalau dipikir-pikir, kok, kalian nggak makan bersama dengan ayah dan ibu kalian?" Tanya Satriya yang juga mulai melahap makanannya. 

Setelah mendengar pertanyaan itu, senyum Jaka dan Kiki seketika raib begitu saja dan mereka lalu diam bagaikan patung. Namun, tak sampai hitungan detik, tiba-tiba senyum mereka kembali terbentuk di bibir, dan malahan sekarang senyum mereka lebih lebar dibanding sebelumnya. 

"Ibu kami meninggal waktu kami masih kecil, Kak. Dan ayah jatuh ke dalam tanah saat Merapi meletus tadi pagi." Jelas Jaka.

"Jatuh ke dalam tanah?"

"Iya, Kak! Waktu itu, tanah di bawah kami tiba-tiba terbelah dan terbuka seperti mulut yang mau makan, Kak!" Ujar Kiki heboh.  

"Dan kami bertiga hampir jatuh tadi, tapi untungnya ayah mendorong kami dan dia juga sempat berteriak menyuruh kami pergi jauh-jauh dari sana." Jaka mengakhiri ceritanya dan kembali makan. 

"Saat kami sampai di sini dan menceritakannya pada polisi-polisi itu, mereka malahan menyuruh kami masuk ke tenda dan beristirahat." Tambah Kiki. "Oh! Tadi Kakak ingat, kan? Dengan polisi perempuan yang memeluk kita waktu kita mau masuk ke tenda?" 

"Ah, aku ingat, kok." Kata Jaka. "Mbak polisi itu tadi menangis, nggak tau kenapa." 

Polwan yang mereka bahas pasti menangis karena mendengar cerita Jaka dan Kiki, pikir Satriya. Sungguh kenyataan yang mengenaskan. Mata Satriya sampai terbelalak lebar karena saking terkejutnya. Tapi, fakta bahwa kedua anak ini masih bisa tertawa riang seakan tidak terjadi apa-apa, malah membuat Satriya jadi tambah bingung. 

"Tolong... " 

Suatu suara tiba-tiba terdengar dalam benak Satriya. Gambaran anak gadis berambut pirang yang ada dalam ingatannya pun ikut muncul bersamaan dengan datangnya bisikan yang lembut itu. Suara lemah seorang gadis kecil yang menggema dalam diri Satriya. 

"BERHENTI!" Teriak Satriya membahana hingga membuat dunia di sekitarnya menjadi hening seketika. Semua mata yang kebingungan kini tertuju padanya.

Satriya bangkit berdiri dengan perlahan, lalu dia mulai melangkah melewati Kiki dan Jaka. Dia terus melangkah, di tengah-tengah kesunyian itu, sampai akhirnya dia berhenti di hadapan seorang tentara, yang sebelah kakinya masih dalam posisi terangkat.

"Kenapa Paman ingin menginjak bunga ini?" Tanya Satriya dengan nada mengancam. 

Pria berseragam loreng dan berwajah garang itu tentu saja terkejut dengan tindakkan Satriya. "Apa katamu—"

"Kutanya sekali lagi." Suara Satriya terdengar semakin tajam. "Kenapa Paman ingin menginjak bunga ini? Kupikir suaraku sangat jelas."