webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Malam Bersalju

Salju menjadi simbol malapetaka, sekaligus kebahagiaan dalam hidup Ansar. Kepingan-kepingan putih, lembut, dan dingin itu memang terkadang terlihat begitu menyeramkan saat Ansar memandangnya terlalu lama, dan membuatnya teringat akan kejadian yang tak menyenangkan, tapi, tak bisa dipungkiri, kalau salju sudah menjadi sesuatu yang paling berharga bagi anak itu.

Di malam natal, saat semua keluarganya berkumpul untuk makan bersama, Ansar pasti selalu menyendiri di luar rumah sambil mengamati salju yang berjatuhan dari angkasa. Kebiasaannya itu sudah ia lakukan sejak SD kelas empat, dan tak pernah terlewatkan setiap natal.

Alasan dia melakukan hal seperti itu sebenarnya cukup sederhana. Sejak awal, Ansar sedikit berbeda dari kebanyakan anak-anak, dan baginya, itu adalah perasaan yang aneh. Dan karena itulah, dia jadi merasa tak cocok dengan satupun anggota keluarganya. Cara pandangnya dan cara pandang mereka, benar-benar berbanding terbalik.

Akan tetapi, beberapa bulan yang lalu, akhirnya perasaan aneh itu telah berubah menjadi amarah yang membara, dan kebencian terhadap keluarganya.

"Hah... " Nafas Ansar mengepul di udara. Remaja itu duduk sendirian di pinggir dermaga dan masih menikmati pemandangan di kejauhan. Di depannya saat ini ada beberapa perahu dan kapal yang tertambat.

Atmosfernya sangat dingin kala itu, tapi untung saja cahaya keemasan dari tiang lampu yang berdiri di samping tempat duduknya, membuatnya merasa sedikit hangat di tengah cuaca yang ekstrem ini.

Meski begitu, lautnya benar-benar terlihat sangat tenang sampai-sampai permukaan airnya tampak seperti cermin, dan salju-salju terus berjatuhan dari angkasa dan seakan tak ada habisnya. Sungguh pemandangan yang damai, dan tak ada yang bisa menyangkalnya.

Ansar menoleh sedikit ke belakang, dan mendapati sebuah kastil besar bercat kecoklatan yang sudah terselimuti salju di beberapa bagian. Cahaya kuning keemasan terpancar dari jendela-jendelanya, dan dari jendela yang paling besar dan lebar di sebelah kiri, tepatnya di ruang makan, Ansar bisa melihat ada bayangan-bayangan dari keluarganya yang tampaknya sedang bersenang-senang di situ.

"Kamu ini kayaknya emang hobi banget sendirian seperti ini." Kata satu suara yang terdengar akrab di telinga Ansar. Suara itu datang dari sesosok peri kecil bercahaya hijau yang tubuhnya seukuran jari jempol, dan peri itu langsung terbang mengitari kepala Ansar bak orang gila.

"Lah, kamu sendiri, Levz, ngapain datang kesini sendirian?" Tanya Ansar, sedikit menggoda. "Udah mau jam satu loh." Katanya setelah melihat arlojinya.

"Yah aku datang buat temanin kamu lah!" Jawab peri mungil itu. Setelah ia lelah terbang mengelilingi Ansar, akhirnya Levz berhenti dan duduk di pundak kiri pemuda itu. "Hmm... Malam kali ini dingin banget ya? Sama kayak waktu itu..."

Ansar agak terkejut mendengar perkataan Levz. Nafasnya tertahan, dan matanya terbuka lebar. Tak perlu dipertanyakan lagi, sudah jelas kalau peri kecil itu memang menyinggung soal kecelakaan yang menimpa Aslan, teman baik Ansar, beberapa bulan lalu.

Aslan meninggal karena tertimpa longsor saat sedang berburu di bukit.

Ya, kejadian itu memang terjadi begitu saja, seperti takdir atau semacamnya. Toh, yang namanya musibah, tak ada yang bisa menebaknya, kecuali para Peramal. Namun tetap saja, kematian Aslan telah menjadi titik balik dalam kehidupan Ansar.

Waktu itu, Ansar merasa dunia ini seolah telah runtuh, dan sayangnya dia tak mampu berbuat apapun untuk mencegahnya.

Namun, kematian Aslan bukanlah penyebab kemarahan Ansar.

Saat warga desa berduka karena kepergian Aslan, keluarga Ansar malah melarang dia pergi ke rumah sahabatnya itu. Tak ada satupun anggota keluarga Ansar, yang pergi ke pemakaman Aslan.

"Padahal dia itu sahabatku... Sahabat terbaikku... Dan aku nggak datang ke pemakamannya." Ansar berbisik pelan dengan suara sedih. "Kenapa harus ada perbedaan di dunia ini, padahal kita sama-sama makhluk ciptaan Tuhan kan? Sialan... Bisa-bisanya keluargaku melarangku berduka untuknya? Hanya karena kami bangsawan, dan dia rakyat jelata. Sialan!" Ansar memekik dengan suara tertahan, karena dia tidak ingin ada orang lain yang mendengarnya.

Levz tampak tak bisa berkata apa-apa waktu itu, dia hanya diam saja di pundak Ansar.

"Manusia yang menciptakan perbedaan, dan manusia pula yang harus menderita karena itu. Sedih sekali ya?" Ujar Levz tiba-tiba. Peri kecil itu menangkap satu butir salju yang jatuh di depannya, lalu memakannya seperti es krim. Lalu, setelah ia menghabiskan saljunya, Levz kemudian melakukan sesuatu yang aneh.

Dia menggunakan sihirnya untuk menciptakan boneka salju yang menyerupai Aslan yang sedang memahat.

"Dulu waktu di hutan, aku sering melihatnya memahat kalau sedang istirahat." Ungkap Levz. "Katanya sih buat dijual untuk bantu biaya sekolahnya."

"Ya... dia memang senang banget memahat. Dia dulu bilang, kalau sedang memahat, rasanya itu dunia kayak jadi punyanya sendiri." Ansar tersenyum melihat boneka salju Aslan itu. Walau jelas saja, kalau senyumannya itu gemetar karena terlalu dipaksakan.

"Ngomong-ngomong, selamat natal ya, Ansar."

"Ya, selamat natal, Levz." Tanpa Ansar sadari, air matanya mengalir deras di pipi