webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

Bagaikan Angin yang Datang & Pergi

Nikmatilah hidup selagi bisa.

Ya, begitulah cara hidup Rakyat Dunia Lain yang menetap di dunia ini.

Saat kau sedang berteduh dari hujan atau panas terik matahari, nikmatilah. Saat kau sedang belajar di sekolah atau bekerja, nikmatilah. Saat kau sedang makan, mandi, duduk ataupun tidur, nikmatilah. Saat kau sedang berjalan-jalan, berlari, atau juga bersepeda, nikmatilah. Nikmatilah semua kegiatan itu, walaupun semuanya itu hanyalah sesuatu yang biasa-biasa saja. Nikmatilah.

Di bawah pohon besar tua dan berdaun lebar itu, Lei duduk sendiri menikmati tiupan angin lembut sambil mengamati pemandangan lapangan bola yang terbentang luas di depannya. Lapangan itu kosong, jelas, mengingat sekarang masih pukul dua siang.

Yah, pada dasarnya, memang tidak ada hal yang istimewa, tapi Lei sangat bersyukur karena bisa berada di sana sekarang.

Gadis elok berpakaian serba hitam, minim, ketat, dan memiliki sayap kelelawar di punggungnya itu benar-benar merasa sangat bersyukur.

Di saat ia menengadah menatap sinar mentari yang menerobos melalui celah dedaunan di atas, Lei teringat kembali dengan masa lalunya.

Padahal, dulu dia bahkan tidak pernah melihat warna dari cahaya matahari sama sekali, karena dia selalu terkurung dalam penjara dari pagi, dan hanya akan dikirim keluar untuk berperang pada waktu malam.

Entah itu bisa disebut hidup atau tidak, tapi begitulah kenyataannya.

Namun, kini semuanya sudah berubah. Setahun yang lalu, kerajaan Lei kalah melawan Kekaisaran Aura, kemudian entah bagaimana Lei terpilih oleh Dewan Dua Dunia, dan dikirim ke dunia manusia untuk bertugas sebagai Agen Arch, yaitu pelindung dunia manusia.

Waktu berjalan begitu saja, hingga disinilah dia sekarang, menjalani kehidupan yang sedikit normal dan lumayan damai. Tak ada pertarungan yang mengerikan, jeritan, tangisan, warna merah darah, dan tak ada peperangan. Hanya kenormalan.

"Ya... Terima kasih, Tuhan " Ia bergumam sambil memasang senyuman kecil di bibir. "Tapi... manusia itu sungguh aneh... " Lei lalu memutar kepala dan menoleh ke belakang. Jauh di sana, dia melihat ada seorang pemuda bertubuh agak gemuk, dan seorang anak yang masih berusia sepuluh tahunan, yang tengah duduk di teras sebuah gedung besar, dan tampak sedang seru bercerita.

Pemuda itu itu adalah alasan utama mengapa Lei berada di lapangan ini. Dia dikirim ke kota Kendari untuk menjadi penjaga, pengurus, dan pengawas pemuda itu.

Sedangkan anak itu, entahlah, Lei tidak terlalu menyukainya.

Alis Lei berkerut. Dia tampak kesal.

"Ya, manusia memang aneh." Ujar seorang pria besar yang tiba-tiba muncul di belakang Lei. Pria itu mengenakan jas serba hitam rapi, tinggi, agak buncit, dan berwajah tampan.

"Oh... Om Jon, ya. Kukira siapa." Ucap Lei sambil menyunggingkan senyum ramah. "Ngomong-ngomong, nggak biasanya Om nggak  bilang dulu kalau mau datang."

"Ah... kau tahu sendiri, kalau aku akan mengikuti apapun yang dikatakan instingku. Jadi, begitulah." Ujarnya sambil ikut memandang dua anak yang duduk di teras itu. "Tumben kau mengeluarkan isi pikiranmu, Lei. Ada angin apa sampai kau berkata seperti itu?"

"Yah... lihat anak itu... Padahal wajahnya lugu begitu, dan senyumnya juga manis, tapi aku nggak menyangka kalau dia benar-benar bisa memanfaatkan kebaikan Tuan tanpa pandang bulu." Jelas Lei. "Dan aku juga sama sekali nggak mengerti dengan pikiran Tuan. Padahal dia tahu kalau anak itu hanya memanfaatkannya, tapi kenapa dia malah tetap menganggap anak itu sebagai adiknya? Kan, kasihan Tuan. Masa hidupnya terbuang sia-sia karena memberikan kebaikan pada orang yang salah. Sedangkan anak-anak itu, mereka nggak bisa memberikan apa-apa pada Tuan."

Om Jon menghela nafas dalam setelah mendengar penjelasan Lei.

"Hmm... aku juga sebenarnya sudah bosan menasehatinya, tapi dia terus saja mengangkat anak-anak yang ditemuinya menjadi adiknya. Bahkan anak pertamaku juga." Om Jon tersenyum masam. "Dan yang paling buruk, dia juga selalu memberikan barang-barang yang diinginkan anak-anak itu."

"Kan, benar!" Pekik Lei. "Kalau begini sih lebih baik kita laporkan saja, Om."

"Hmm... Kau pasti belum membaca berkas-berkas itu kan, Lei?"

"Eh... ketahuan deh... Tapi, kan intinya aku dikirim ke sini untuk mengurus, mengawasi, dan melindungi Tuan. Nggak kurang, nggak lebih."

"Ya, kamu benar kok." Ujar Om Jon. Dia membusungkan dada dan tampak berwibawa sekarang. "Kita memang ditugaskan di sini untuk mengawasi, melindungi, dan mengurusnya. Tapi, sebenarnya, Dewan mengirim kita ke sini, karena mereka tahu kalau hanya kita saja yang bisa memahaminya."

Lei terkejut. Matanya yang terbuka lebar tertuju pada Om Jon.

"Memahami? Maksudnya?"

"Yah... Dia berbeda dengan kita, karena Tuhan masih memberikan pengampunan pada kita. Di masa lalu, masa kini, maupun di masa depan. Sementara dia... Dia sudah kehilangan terlalu banyak hal hingga tak ada satupun yang tersisa untuknya. Keluarganya, sahabat-sahabatnya, teman-temannya, jati dirinya, bahkan masa lalunya. Semua yang dia miliki selalu lenyap tepat di depan matanya."

Lei terdiam seribu bahasa. Dulu, dia memang sempat mendengar tentang itu entah di mana. Kenyataan bahwa Tuannya pernah mengalami penderitaan yang luar biasa mengerikan. Bahkan lebih mengerikan dibandingkan masa lalu Lei sendiri.

"Dan masalahnya, dia itu abadi, jadi... dia akan hidup dengan rasa sakit itu sampai selamanya." Om Jon menjelaskan. "Dan kini, yang bisa dilakukannya, hanyalah mencari alasan agar bisa terus hidup."

"Eh... Berarti... "

"Ya, anak-anak itu, adalah alasan kenapa dia bertahan sampai sekarang... "

Lei kembali mengarahkan pandangan ke arah teras itu.

Sekarang, kedua anak itu sudah bangkit berdiri, dan selang beberapa waktu, si bocah akhirnya mulai berjalan pergi sambil melambaikan tangan pada Tuan. Tapi, Tuan tidak balas melambai, dia hanya berdiri di sana sambil memasang senyuman yang penuh akan berbagai arti di bibirnya.

"Jadi... dia juga berusaha untuk menikmati ya?"

"Benar."

"Entah kenapa... ini terasa sedikit... menyakitkan. Bahkan bagi orang-orang yang tahu tentang kenyataan dunia seperti kita... ini tetap saja terasa menyakitkan."

Tiba-tiba saja, muncul cahaya keemasan di belakang Tuan. Cahaya itu perlahan-lahan mulai berkumpul dan membentuk bulu-bulu burung emas, lalu dengan cepat menyatu menjadi sepasang sayap di punggungnya.

Sebuah sayap yang indah, mengkilap, dan amat mengagumkan, yang kemudian digunakannya untuk terbang tinggi ke angkasa bagai kilat hingga tak terlihat oleh mata.

"Sudah berapa peperangan yang dia lalui... ?" Tanya Lei hampa.

"Empat belas. Dia telah menyelesaikan empat belas peperangan... "

"Sialan... "

Bulu-bulu emas dari sayap Tuan tiba-tiba berjatuhan dari angkasa, berhamburan di mana-mana, dan menghiasi dunia di sekitar Lei dengan kemegahan. Sungguh pemandangan yang sangat ajaib. Bulu-bulu itu jatuh ke tanah, lalu lenyap begitu saja tanpa sisa.

"Dia... mencurahkan berkatnya loh, Om." Lei bergumam tak percaya ketika ia menyadari bahwa Tuan sebenarnya baru saja melakukan sesuatu di balik awan-awan itu.

"Tak apa. Yang penting dia menikmatinya." Ungkap Om Jon.