webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

(Book I) 23: Indah Namun Mampu Mengiris

"Keajaiban itu sama seperti sebuah pisau yang terbuat dari permata yang cantik dan mengkilap. Namun toh, pada akhirnya itu tetaplah pisau, dan itu... Bisa membuatmu berdarah." Ujar Tante Merax sambil memandang kosong pada jalan raya di depan sana.

Kuping Juar terasa agak gatal saat mendengar perkataan Tante Merax barusan.

"Baiklah, kata-kata Tante barusan itu benar-benar menyakitkan untuk didengar." Ujar Juar yang sedang duduk di ambang pintu rumah Rama sambil ikut menatap kosong pada jalan raya.

"Bukannya aku bermaksud menyinggungmu Nak, tapi kenyataannya memang seperti itu." Tante Merax memberitahu. Wanita itu sedang duduk santai di kursi yang ada di sebelah Juar. "Ini lebih seperti nasehat kok."

Embusan angin tiba-tiba bertiup pelan, membuat suasananya jadi agak sedikit menyegarkan, walaupun hawa di siang itu terasa agak menyengat sebenarnya.

Mentari masih bersinar terang di atas sana, memancarkan warna kuning yang mungkin bisa dibilang terasa agak membakar.

Tak banyak orang yang terlihat beraktivitas di jam-jam ini, kebanyakan warga lebih memilih untuk berdiam di dalam rumah dan tidur siang, kecuali bagi mereka yang memang memiliki pekerjaan untuk dilakukan, maka menghadapi panas mentari adalah suatu keharusan.

Waktu telah menunjukkan pukul satu siang kala itu.

Tiga jam yang lalu setelah pulang dari pasar Juar tak sengaja bertemu dengan Rama, Cika, Tante Merax, dan Gota yang baru saja pulang dari gereja, dan Cika katanya ingin mentraktir semuanya untuk makan nasi kuning favoritnya di daerah sini, jadi karena itulah Juar pun berakhir di rumah Rama sekarang.

"Seorang manusia, yang berakhir memiliki kekuatan, itu bukanlah hal yang biasa bagi kami, orang-orang dari dunia lain, bahkan bagi kalian." Jelas Tante Merax. "Ada banyak sekali kisah tentang orang-orang seperti kamu dan Rama, dan jujur saja, tak ada satupun dari kisah itu yang bisa dibilang bagus."

"Yah, mau gimana lagi Tante, soalnya sudah kejadian kayak begini, aku bisa apa." Balas Juar. "Nggak ada gunanya aku berpura-pura kalau semua itu tidak ada. Apa yang ada dalam diriku itu nyata, dan berpikir kalau itu tidak ada, tidak akan membuatnya hilang. Keajaiban dalam diriku ada, karena aku ada."

Senyuman simpul terbentuk di bibir Tante Merax. Wanita itu terdiam selama beberapa saat sebelum kembali angkat bicara. "Hmm... Tante mengakuinya, itu jawaban yang bagus Nak."

Juar pun tersenyum mendengar itu. Entah kenapa rasanya menyenangkan ketika hal yang dipertahankannya selama ini ternyata hal yang benar. Jadi tindakannya tidak sia-sia, bukan?

"Tapi kenapa anak-anak itu lama sekali?" Wajah Juar berubah masam. "Padahal mereka katanya cuma ingin beli nasi kuning aja loh."

"Ah... Kamu jangan lupa kalau Gota juga ikut." Tante Merax mengingatkan.

"Ya... Masuk akal. Padahal kemarin-kemarin aku sempat curiga sama dia, karena dia terlalu misterius, tapi entahlah... Setelah melihat bagaimana rakusnya dia, kecurigaan itu malah jadi hilang." Juar tersenyum kecut. "Kerjanya makan, makan, makan, dan makan. Maksudku, kemana larinya semua makanan itu coba? Kok bisa sih perutnya muat?"

"Yah, namanya juga anak kecil, Nak." Senyuman Tante Merax jadi makin lebar, namun wanita itu berusaha untuk menyembunyikannya. "Hmm... Tapi, Tante masih penasaran sama sesuatu." Tante Merax melirik Juar.

"Eh? Apanya Tante?"

"Baik kamu maupun Rama, kalian berdua kelihatannya kayak nggak terlalu peduli ya dengan keadaan kalian saat ini? Kamu sendiri emangnya nggak ada pertanyaan apapun gitu? Soal kekuatanmu, soal orang-orang seperti Tante, atau... Soal dunia ini."

Juar menghela nafas dalam sejenak. "Ya bukannya aku nggak peduli sih Tante, cuma aku malas mikirin aja. Lagian, aku kan masih sekolah, aku juga butuh duit, makanya aku kerja serabutan di pasar."

"Serius cuma begitu aja?" Alis Tante Merax naik sebelah.

"Emangnya harus gimana lagi?" Juar mengacungkan tangannya ke depan, dan seketika itu pula, cahaya keemasan mulai berkumpul dalam genggaman tangannya lalu menyatu menjadi bentuk seperti sebuah pedang.

Akan tetapi, ada sesuatu yang berubah.

Beberapa hari kemarin, bentuk pedangnya bisa sebenarnya dibilang biasa-biasa saja, tapi sekarang, bentuknya malah menjadi lebih besar dua kali lipat dibanding sebelumnya. Kalau seandainya saja pedangnya terbuat dari baja, mungkin Juar perlu dua tangan untuk mengangkatnya.

Tapi toh, Juar pun tidak terlalu peduli dengan itu.

Selama ini Juar memiliki keegoisannya sendiri, dendam yang seharusnya masih membara dalam dirinya, suatu tujuan yang membuatnya bergantung pada pedangnya itu, namun, empat hari yang lalu, semua perasaan itu, tiba-tiba sirna begitu saja.

Benar-benar lenyap.

Apa yang tersisa dalam diri Juar saat ini, hanyalah keinginannya untuk bertahan hidup.

"Lalu, bagaimana rencanamu Nak?" Tante Merax kembali bertanya.

"Yah, aku cuma mau cepat-cepat lulus sekolah, dan cari kerja." Jawab Juar acuh tak acuh.

"Terus, orang tuamu?"

"Kebetulan mereka udah meninggal dua tahun lalu karena sakit, jadi seharusnya aku aman-aman aja." Balas Juar yang tengah memandangi pedang cahayanya itu. Kadang dia pun merasa aneh, entah bagaimana bisa ia mampu memegang cahaya di tangannya.

"Ah, Tante minta maaf." Kata wanita itu tulus. "Terus... Keluargamu?"

"Ibu dan ayahku nggak terlalu dekat dengan kerabat-kerabatnya, jadi aku nggak mengenal siapapun yang sedarah denganku selain mereka berdua. Jadi, gitulah." Demikian akhir dari penjelasan Juar. Anak itu melepas genggamannya, dan disaat itu pula, pedang cahayanya pun melebur menjadi debu-debu cahaya yang kemudian berhamburan ke udara, lalu lenyap tanpa bekas.

"Luar biasa sekali..." Tante Merax tiba-tiba bergumam pelan.

"Hah? Gimana, gimana?" Juar lumayan terkejut saat mendengar itu.

"Ah, gimana ya... Begini Nak, sebenarnya kami memiliki sebutan buat orang-orang kayak kamu." Tante Merax melanjutkan. "Bintang Jatuh; begitulah sebutan kami buat orang-orang seperti kalian, manusia yang berakhir dengan memiliki keajaiban."

"Bintang Jatuh? Kok begitu banget sebutannya?"

"Ya karena orang-orang seperti kalian itu membawa sesuatu yang besar dalam diri kalian, sesuatu yang besarnya kayak bintang-bintang. Namun, masalahnya, kita nggak tahu apakah hal yang besar itu akan membawa kebaikan, atau malah malapetaka." Jelas Tante Merax.

"Lah..." Juar kehabisan kata-kata. Ya, itu adalah hal yang baru untuknya.

"Tante tadi udah bilang kan, ada banyak kisah yang menulis tentang para Bintang Jatuh di masa lalu, dan masalahnya, hampir semua dari cerita-cerita itu benar-benar nggak bisa dibilang baik. Catatan sejarah soal Bintang Jatuh rata-rata berisikan tentang tragedi-tragedi besar loh." Tante Merax bangkit dari kursinya dan berjalan ke ujung teras, lalu wanita itu pun melihat-lihat sekeliling daerah sekitar rumah Rama.

"Baiklah... Itu menyeramkan Tante." Juar termenung sejenak sebelum melontarkan jawabannya. "Tapi kan, tadi aku juga sudah bilang kalau semuanya udah terjadi. Aku nggak punya pilihan lain lagi. Terus, kita juga belum tahu, apakah hal besar yang kubawa itu adalah sesuatu yang baik atau buruk."

"Yah, kau juga nggak salah kok Nak, cuma ada baiknya kalau kamu berjaga-jaga saja, oke?" Tante Merax tersenyum simpul.

"Ya, Tante nggak usah terlalu khawatir." Kata Juar dengan penuh keyakinan.

Bersamaan dengan berakhirnya perbincangan yang agak menegangkan barusan, Rama, Cika dan Gota pun akhirnya pulang sambil membawa kantung plastik besar berwarna hitam yang entah apa isinya, mungkin puluhan porsi nasi kuning dan makanan lainnya.

Kantong itu benar-benar besar, sampai-sampai Rama dan Gota pun harus menentengnya bersama-sama.

"Ayo cepetan! Aku mau makan!" Kata Gota pada Rama yang berjalan dengan santai, pasalnya bocah yang tubuhnya cuma berbalut kain putih itu tampak sudah gelisah untuk menikmati semua makanan itu.

"Nggak usah cepet-cepet gitu ah. Kamu ini kayak lagi cacingan aja, Gota." Rama membalas sambil memandang bocah itu dengan kesal.

Meskipun dia seperti sedang marah, tapi wajah Rama benar-benar kosong, seolah-olah perasaannya itu cuma sekedar lewat saja. Ini aneh, entah kenapa baru sekarang Juar menyadarinya. Anak itu, Rama, benar-benar terlihat seperti mayat berjalan kalau dilihat sekilas.

"Heh Gota, kamu nggak usah bikin gerakan tambahan dong, nanti plastiknya jatuh baru tahu rasa." Cika yang sama jengkelnya juga mengingatkan bocah bertampang aneh itu.

"Kamu berisik banget sih Cika! Mending kamu nggak usah makan deh!" Gota mengancam.

"Lah!? Apa-apaan! Yang beli kan aku! Pakai uangku!" Balas Cika makin naik pitam sampai urat yang timbul di pelipisnya.

Akan tetapi, ada satu hal lain lagi yang menarik perhatian Juar sekarang, yaitu keberadaan cincin emas yang melayang-layang mengikuti Rama.

"Eh? yang terbang di dekat Rama itu cincin kan?" Juar bertanya pada Tante Merax.

"Ah, entahlah, Tante juga udah nggak tahu lagi." Tante Merax menghela nafas dalam. "Tante pun baru melihatnya tadi pagi. Bentuknya emang kayak cincin, tapi pada dasarnya, benda itu adalah semacam tempat penyimpanan, dan Rama menyimpan semua kunci-kunci gilanya di dalam cincin itu."

"Oh, gitu ya." Juar tidak terlalu tahu soal kunci-kunci gila yang dimaksud oleh wanita itu, tapi ya, Juar pun bisa merasakan sesuatu yang luar biasa aneh saat melihat cincin terbang itu.

Tidak, bukan aneh, tapi tepatnya sesuatu yang besar.

Teramat sangat besar.

Sambil diiringi kericuhan yang disebabkan oleh tingkah konyol Gota, ketiga bocah itu pun akhirnya sampai di teras. Gota dengan cepat langsung berjalan masuk ke dalam rumah sambil menarik plastiknya serta Rama di sisi lainnya, sampai-sampai Rama bahkan hampir tidak diberi kesempatan untuk melepas sandalnya.

"Bocah itu... Seiring bergantinya hari dia beneran jadi makin gila, serius." Ungkap Cika sembari memungut sandal Rama dan menaruhnya di rak dekat pintu.

"Yah, biarin aja dia menikmatinya selagi bisa." Jelas Tante Merax. "Dan ngomong-ngomong, Tante juga sudah memberitahukan soal Gota pada Dewan Dua Dunia, dan untungnya, mereka mempercayakan dia pada Tante sampai kita mengetahui apa maksud dari kedatangan Gota ke sini."

"Terus, soal Om yang waktu itu?" Tanya Cika.

"Masih nggak ada petunjuk apapun soal orang itu dan kelompoknya, tapi kalau menurut Tante sih seharusnya mereka nggak akan macam-macam lagi, apalagi setelah mengetahui apa yang bisa dilakukan Nak Rama." Tante Merax memberitahukan dengan santai sambil mengangkat bahu.

"Ah! iya, emangnya apa sih yang udah dilakukan Rama waktu itu?" Juar pun memutuskan untuk bertanya. Cika memang sudah cerita tentang semuanya sampai sejauh ini, tapi dia tidak cerita soal bagaimana cara Rama mengusir pria mencurigakan itu.

"Eh... " Tante Merax dan Cika bertukar pandang, raut muka keduanya penuh keraguan, dan senyum masam terpasang di bibir mereka.

"Oh iya, makanannya, ayo masuk makan." Cika tiba-tiba berjalan masuk ke dalam rumah tanpa memberikan jawaban sama sekali, meninggalkan Juar dan Tante Merax berdua di teras.

"Ah... Begini Nak Juar, kalau soal yang itu sih mending nggak usah dibahas aja ya." Jelas Tante Merax ragu-ragu.

"Loh... Yaudah deh kalau begitu." Lalu begitulah, Juar tetap masih tidak tahu menahu soal detail kejadian malam itu, dan dia pun tidak bisa memaksa.

"Tante Merax! Juar! Ayo makan!" Seruan Gota terdengar dari dalam rumah.

Mereka berdua pun menyusul ke dalam dan kemudian menikmati makan siang bersama-sama.

Cika membeli banyak sekali makanan; di plastik yang tadi dibawa Rama dan Gota berisi enam bungkus nasi kuning dengan lauk lengkap, tujuh ayam geprek dengan sambel pedas plus nasi, serta beberapa bungkus pecel.

Tak lupa juga dengan makanan lain yang terpaksa disimpan Cika dalam tas sihirnya; satu gantung kerupuk kulit, es buah, jus jeruk dan jus kelapa, dan beberapa ekor ikan bakar.

Ruang makan Rama benar-benar dipenuhi oleh aroma harum dari menu di atas meja, dan mereka semua pun makan dengan lahap.

Juar pun awalnya merasa agak ganjil dengan suasananya kala itu, pasalnya dia bahkan belum lama mengenal Rama dan Cika, apalagi Tante Merax dan Gota, namun, saat ini, di momen ini juga, anehnya dia malah sedang berada di meja makan yang sama dengan orang-orang itu, yang notabenenya Juar masih bisa menyebut mereka sebagai orang asing.

Remaja itu benar-benar tidak pernah menyangka kalau dirinya bisa mengalami hal semacam ini, apalagi sejak kepergian kedua orang tuanya.

Juar memandang sekelilingnya, sungguh kalau dipikirkan terlalu lama memang rasanya malah jadi aneh bin ajaib.

Di depan Juar sudah tersedia beberapa piring dengan menu yang berbeda-beda. Bahkan, piring-piring dan makanan-makanan itu barusan melayang-layang sendiri untuk memposisikan diri mereka, seolah-olah semuanya itu hidup.

"Ah! Aku ambil mangkok besar dulu buat kerupuknya." Kata Rama sembari beranjak dari kursinya untuk mengambil sebuah mangkuk kaca besar dari dalam lemari, yang seharusnya digunakan untuk sup.

Rama mengangkatnya dengan sedikit usaha karena beratnya, tapi Tante Merax dengan tanggap buru-buru membantunya untuk menaruh mangkuk itu ke tengah-tengah meja makan, dan yang terakhir Gota dan Cika membuka bungkusan kerupuk-kerupuk itu satu per satu dengan gigitan baru kemudian menuangkan semuanya ke dalam mangkuk.

"Nah, ayo makan semuanya." Ajak Tante Merax.

"Makan!" Seruan Gota yang penuh semangat menjadi pembuka makan siang itu.

Semuanya mulai makan, dan ya, makanan-makanan itu benar-benar enak, sampai membuat Juar teringat entah kapan terakhir kali dia makan enak seperti ini.

Akan tetapi, di tengah-tengah makan suasana hebat sekaligus aneh itu, Juar tak sengaja melirik ke arah si tuan rumah yang duduk bersebelahan dengan Gota, dan mendapati anak itu tengah terdiam, melamun, sambil menatapi makanannya dengan tatapan kosong.

Melihat Rama membuat Juar sadar akan betapa seramnya masa lalunya.

Terlahir di keluarga miskin bukanlah kehidupan mudah, ditambah lagi dengan ayahnya yang sering mabuk dan memukul dia dan ibunya membuat segalanya jadi makin sukar. Gelap.

Ya, Juar kini tahu kalau tidak seharusnya ia berpikir yang aneh-aneh tentang situasi ini.

Walau memang terkadang ada banyak hal tak terduga yang mungkin terjadi besok-besok, apalagi setelah mendengar cerita Tante Merax, namun, tetap saja pada akhirnya Juar harus bersyukur.

Dia benar-benar harus bersyukur, karena dia bisa berada di sini saat ini, bersama-sama orang-orang baik, yang memperlakukan dirinya apa adanya.

"Heh, Rama, jangan bengong, itu dimakan." Juar berusaha menyadarkan Rama di tengah-tengah asyiknya percakapan antara Gota, Tante Merax, dan Cika yang membahas entah apa.

"Ah, iya, iya." Rama yang tersadar pun akhirnya mulai ikut makan.

Lalu, siang itupun berlangsung tenang tanpa ada satupun hal-hal mengerikan yang terjadi, dan Juar menghabiskan waktunya di rumah Rama hingga sore.

Rama, Juar, Cika dan Gita berkumpul di ruang tamu kala itu, duduk bersantai sambil menikmati ketenangan yang mumpung masih bisa dinikmati, sementara Tante Merax sudah pergi sendirian untuk membersihkan para Dosa.

Langit yang tadinya biru cerah lambat laun berganti menjadi kekuningan diiringi suara adzan maghrib yang berkumandang dari masjid-masjid yang berdiri di segala penjuru kota ini, namun, senja itu pun pada akhirnya sirna seiring berjalannya waktu, malam pun tiba, dan kegelapan menyelimuti angkasa.

Dunia ini benar-benar terus bergerak menuju hari esok dan tak ada satupun makhluk hidup yang mampu menghentikannya.

"Baiklah, aku mau pulang dulu kalau gitu." Kata Juar sembari bangkit dari sofa.

"Oh? Baiklah kalau gitu." Balas Rama yang duduk di sofa panjang bersama dengan Gota yang sedang asyik menggambar di buku milik Rama.

"Kok buru-buru banget?" Tanya Cika, gadis itu pun sedari tadi sibuk memeriksa isi tas sihirnya.

"Yah aku mau sholat lah." Ungkap Juar. "Padahal rumah ini bersebelahan sama masjid loh, emang kamu nggak dengar suara toa dari samping?"

"Ah... Maklum lah, aku udah sering dengar suara ledakan... Jadi suara bising kayak gini udah biasa buat aku."

"Oh..." Juar terdiam dengan wajah datar.

"Ngomong-ngomong, aku masih belum tahu kamu tinggalnya dimana." Tanya Rama.

"Aku tinggal di rumahnya Herman." Jelas Juar seraya berjalan menuju ke arah pintu keluar.

"Herman...? Herman yang di lorong belakang? Yang suka balapan di jalanan itu?" Ujar Rama yang berusaha mengingat-ingat wajah dari orang yang dimaksud Juar. Anak itu bangkit dari sofa lalu mengantar Juar keluar.

"Oh? Kamu kenal?" Tanya Cika yang juga mengikut ke pintu keluar.

"Yah, tentu saja, kasarnya kita ini masih tetanggaan. Dan lagian, dia itu dulu kakak kelasku." Jelas Rama ketika mereka sudah berada di teras. "Tapi, kalau kamu mau, kamu bisa kok tinggal di rumahku juga."

"Ah, nanti aku lihat, soalnya aku nggak enak dengan ibunya si Herman. Udah setahun aku numpang disitu soalnya." Ujar Juar yang sudah mengenakan sandal dan siap untuk pulang. "Walaupun nggak seberapa, tapi mereka itu orang-orang yang baik." Senyuman kecil terbentuk di bibirnya.

"Yaudah, kamu hati-hati kalau gitu, Juar." Kata Rama.

"Sampai ketemu besok, oke?" Tambah Cika.

"Ah! Dan kalau ketemu Dosa di jalan, jangan lupa di kalahin ya?" Gota berseru dengan kesan barbar dari sofa.

"Iya, iya. Kalau gitu, aku pulang. Sampai jumpa besok."

Sampai jumpa besok.

Kata itu benar-benar terdengar asing di telinga Juar.

Asing sekaligus ajaib malah.

Biasanya dia hanya menjalani kesehariannya tanpa peduli apapun, asalkan hal-hal yang menjadi miliknya terjauh dari masalah.

Namun, kata itu membuat Juar tersadar kalau ia harus berubah menjadi sedikit lebih baik lagi kedepannya.

Bukan karena dia sudah bukan manusia lagi, tapi karena ia hidup.

"Ya, sampai jumpa lagi." Juar bergumam sendiri sembari melangkah pulang. Ia tersenyum kecil, dan ya, senyuman itu pun rasanya agak asing.

Kedengaran bodoh sebenarnya, tapi setidaknya, itu adalah hal yang baik.