webnovel

EDEN - Kisah Dunia Fana (Original)

EDEN — DEUS EX MACHINA Rama hanyalah seorang anak sekolah dasar biasa yang kini telah mengetahui rahasia-rahasia dunia, dan semua itu terjadi berkat sahabatnya, Liel, seorang anak yang mampu membuat keajaiban. Berkat itu, Rama juga mengenal banyak orang aneh. Ada anak yang mampu terbang tinggi di angkasa, juga seorang yang bersaudara dengan seekor naga, dan bahkan gadis kecil yang berkeliaran membawa pedang. Namun, setelah dua tahun menjalani kehidupan damai yang penuh dengan keajaiban, sesuatu yang tak terduga akhirnya terjadi, dan karenanya Rama berkali-kali hampir kehilangan nyawanya. Menara itu muncul di tengah dunia manusia. Lalu, bocah yang amat biasa itu pun akhirnya jatuh ke dalam medan perang... "Keajaiban itu sama seperti sebuah belati cantik yang terbuat dari permata murni. Tapi, kan, pada akhirnya itu tetaplah sebuah belati, bukan? Itu tajam... Dan mampu mengiris nadimu." —Liel ________________________________ BOOK 2: KISAH-KISAH MEREKA Ini adalah kumpulan kisah dari mereka yang pernah melalui suatu perjalanan yang penuh akan sihir dan keajaiban. Ada yang berakhir bahagia dan penuh tawa, dan ada pula cerita yang harus berakhir menyedihkan dan penuh akan tragedi. Semuanya itu tertuang di dalam tulisan ini. Mungkin ini adalah kisah tentang seorang anak yang bisa terbang di langit. Atau tentang dirinya yang hidup bersama dengan para monster. Atau kisah tentang seorang anak titisan para Dewa. Dan mungkin juga kisah seorang yang mampu menciptakan kehidupan dan kematian. Atau mungkin juga kisah tentang seorang anak yang tak akan mati oleh waktu. Inilah kisah dari mereka yang terpilih, juga mereka yang tak terlihat. “Entah orang itu jahat atau baik, setidaknya ada satu titik dalam hidupnya, di mana orang itu memiliki pengalaman hebat dan paling ajaib yang pernah terjadi padanya. Sebuah kisah magis yang menakjubkan.” —Anima Allefren, seorang yang hidup dari “EDEN : Tangisan, Impian & Hiduplah” #FANTASEAS_UNIVERSE #EDEN_SIDE_STORY

KEVIN_ESP · Fantasy
Not enough ratings
63 Chs

(Book I) 22: Paus Yang Berenang Di Angkasa

"Tahu nggak apa perbedaan antara keajaiban dan Tuhan?" Tanya Tante Merax yang sedang memasak sarapan pagi di dapur.

"Pertanyaan Tante itu aneh banget." Gota berkotek dengan wajah tanpa ekspresi dari depan pintu kamar mandi yang terletak persis di samping dapur. Anak itu seakan berusaha untuk memahami maksud dari kata-kata itu, tapi tampaknya otaknya pun kesulitan.

"Emangnya apa Tante?" Cika yang juga agak terkejut dengan pertanyaan itu cuma bisa menyipitkan mata sambil mengerucutkan bibir. Lagi pula, pertanyaan itu memang terlalu absurd.

"Keajaiban memiliki kesempatan, sedangkan Tuhan tidak." Jawab wanita itu sembari membalik telur di wajan.

"Dan jawabannya lebih aneh lagi." Gota sekali lagi mengomentari perkataan Tante Merax sambil menggelengkan kepala dengan wajah kosong.

"Yah, aku sama sekali nggak ngerti dengan maksud perkataan itu Tante." Cika mengangkat bahu.

"Ah! Kok lama banget sih!" Gota tiba-tiba menghardik jengkel pada pintu kamar mandi.

Kala itu, waktu telah menunjukkan pukul tujuh pagi lewat enam menit, dan kini semua orang di rumah itu telah bangun dan siap untuk kembali beraktivitas.

Ada Tante Merax yang sibuk membuat sarapan, juga Cika yang sedang duduk termenung di meja makan, sementara itu Rama si tuan rumah tengah mandi, tak lupa juga dengan Gota yang berdiri di depan pintu kamar mandi dan terus menerus meraung kesal karena menunggu Rama.

"Buruan Rama! Aku udah kebelet banget nih!" Teriak Gota, anak itu menekan perutnya dengan kedua tangannya lalu mengambil posisi jongkok, akan tetapi masih tak ada jawaban dari dalam kamar mandi, hanya suara guyuran air saja yang terdengar.

Beberapa saat yang lalu Rama mengajak mereka untuk ikut pergi ke gereja dengannya, dan karena pagi ini semuanya tampak aman-aman saja, tak ada hal aneh lain yang mungkin akan terjadi, jadi Cika, Tante Merax, dan Gota pun akhirnya menerima ajakan anak itu dan memutuskan untuk pergi bersama ke gereja.

"Ini sudah jam tujuh loh Rama! Katamu gerejanya jam delapan! Cepetan dong—" Namun teriakkan Gota terputus oleh suara pintu kamar mandi yang mendadak terbuka.

"Iya, iya. Udah selesai kok." Jawab Rama sambil berjalan keluar dari kamar mandi, lalu Gota pun buru-buru masuk ke dalam dengan gerakan cepat seperti kilat. Anak itu langsung menutup pintunya keras-keras, menguncinya, dan kemudian, hening.

"Mungkin gara-gara gorengan yang kemarin sore." Cika memberitahu. "Soalnya dia yang paling banyak makan."

"Yah, masuk akal." Rama setuju. Anak yang sekarang sedang bertelanjang dada dan hanya mengenakan handuk untuk menutupi tubuh bagian bawahnya itu lalu melangkah menuju kamar untuk berpakaian.

"Emang kemarin sore kalian beli gorengan lagi?" Tanya Tante Merax.

"Iya Tante. Tapi, ya kemarin benar-benar gila... Dari pagi sampai malam, kerjaan kita memang cuma makan aja." Ungkap Cika. "Anak itu membeli semua makanan yang dia lihat."

"Hah? Siapa? Gota?" Setelah semua masakan itu selesai Tante Merax lalu memindahkan makanan-makanan itu ke atas meja makan.

"Iya..." Kata Cika singkat dan pasrah. "Terus pas gorengan di depan udah buka, Gota langsung membeli sekantung plastik besar penuh."

"Hah? Yang benar?" Tante Merax pun terkejut. Wanita itu lalu duduk di samping Cika sembari menjentikkan jarinya untuk membuat alat-alat makan berterbangan dan menata diri mereka sendiri di meja makan. "Tapi ngomong-ngomong Nak Cika, Tante dengar kamu sekarang sudah menetap di kota ini ya?"

"Ah, iya Tante." Dan itu juga mengejutkan, Tante Merax bahkan tahu tentang hal semacam itu, yang artinya posisinya di Dewan Dua Dunia itu bisa dibilang cukup tinggi seharusnya.

"Berarti mulai sekarang kamu bakalan menetap di rumah Rama?"

"Untuk saat ini rencananya begitu sih Tante. Lagi pula di kota ini prajuritnya juga tidak terlalu banyak." Jelas gadis itu.

"Hmm... Begitu ya?" Wajah Tante Merax sekilas tampak ganjil entah karena apa.

"Eh, Rama! Gota! Buruan! Makanannya udah siap nih!" Cika menyahut setelah semua persiapan untuk sarapan telah selesai.

"Iya bentar lagi!" Rama balas menyahut, sedangkan Gota masih berfokus dengan panggilannya sendiri di kamar mandi.

"Eh... Emangnya ada apa Tante?" Cika kembali bertanya pada Tante Merax.

"Karena kamu masih muda banget, berarti kamu memang belum tahu banyak soal kota ini bukan?" Ujar Tante Merax, kali ini dia tampak sungguh-sungguh ingin menyampaikan sesuatu. "Apa kau tahu, nama lain dari Kota Kendari ini?"

"Hah? Nama lain? Kota ini punya nama lain?" Jujur, Cika kaget mendengar soal ini, mengingat tidak sembarang tempat memiliki dua nama.

"Kota Kejadian." Ungkap Tante Merax. "Kota ini memang kecil, dan bahkan nggak banyak orang di Indonesia yang tahu soal kota ini, namun begitulah kenyataannya. Nama lain kota ini adalah, Kota Kejadian."

"Tapi, kenapa disebut begitu?"

"Kalau kamu tanya dimana tempat Keganjilan Duniawi sering terjadi, maka jawabannya sederhana, kamu sedang berdiri di atasnya." Wajah Tante Merax sedikit menegang. "Makanya tidak banyak Warga Dunia Lain yang tinggal di kota ini. Jadi, sekarang kamu tahu kan? Bagaimana situasinya yang sebenarnya."

Sungguh, apa yang dikatakan oleh Tante Merax itu hampir menjelaskan semuanya.

Namun, masih ada sesuatu yang mengganjal.

Siapapun yang mendengar kenyataan ini mungkin akan ketakutan dan segera lari sejauh mungkin dari kota ini, tapi meski begitu, Cika tidak merasa seperti itu.

Memang aneh, namun, ada sesuatu.

Sesuatu yang membuat Cika menjadi kokoh untuk tetap tinggal di situ.

Sesuatu yang bahkan ia tak bisa jelaskan dengan kata-kata.

"Kenapa hanya di kota ini?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulut Cika.

Tante Merax terdiam sejenak saat mendengar jawaban Cika. Mata ungu wanita itu sedikit berkilauan. Senyuman kecil terbentuk di bibirnya.

"Entahlah. Bahkan setelah berpuluh-puluh tahun, jawaban untuk pertanyaan yang itu masih belum ditemukan." Jelas Tante Merax.

Ya, kenapa kota ini?

Itulah pertanyaannya yang sebenarnya kali ini.

Cika tertunduk dan menatap kedua telapak tangannya dengan pandangan kosong.

Tak lama kemudian, Rama pun akhirnya selesai berpakaian, anak itu kini mengenakan baju kemeja abu-abu yang agak kusut, celana jins hitam panjang, serta sepatu putih yang agak kusam, sementara cincin emasnya masih melayang-layang mengikutinya.

Akan tetapi, untung saja Tante Merax membuat penampilan Rama menjadi terlihat lebih baik hanya dengan jentikkan jarinya.

Lalu, tak lama setelahnya, Gota pun telah selesai dengan urusannya di kamar mandi. Anak itu muncul dengan wajah yang tampak lega luar biasa. Ia kembali dipenuhi semangat kanak-kanak, atau sebut saja terlalu bersemangat. Bisa dibilang overdosis.

"Kok cuma ini doang makanannya?" Gota tiba-tiba angkat bicara sembari duduk di kursinya. "Masa cuma telur dadar, kecap, sama tempe tahu doang sih?"

Rama yang duduk bersampingan dengan Gota hanya tersenyum, sementara Cika seketika menjadi panas karena perkataan bocah kecil itu.

Cika mengangkat kepalanya, lalu memandangi Gota yang duduk berhadapan dengannya. "Nih anak... Kamu nggak bisa bersyukur ya?" Cika membalas dengan senyum mengancam. "Tante Merax udah capek-capek memasaknya loh."

"Tapi... Makanan-makanan ini sederhana sekali." Kata Gota sambil memandang menu di meja dengan kecewa. "Mending kita beli aja dari rumah makan yang kemarin. Aku bisa lari kesana sekarang kok, masa masih pagi kita cuma makan kayak ginian sih. Nggak asyik ah!"

"Oke, sudah cukup Gota." Rama tiba-tiba mencubit tangan Gota. Anak itu tahu kalau situasinya akan semakin memburuk jika Gota dibiarkan terus berkotek seenak jidatnya.

"Hey! Apa-apaan! Itu sakit tahu!" Gota memprotes pada Rama.

"Udah, mending kita makan aja, bisa-bisa aku malah telat nanti." Jelas Rama sembari mulai menyendok nasi dan lauk pauk ke piringnya.

"Kalau sarapan itu kita nggak bisa makan terlalu banyak. Makan aja secukupnya, soalnya jalau kebanyakan, nanti kamu malah mengantuk loh." Jelas Tante Merax sambil menyunggingkan senyumannya.

"Ah... Yaudah deh." Gota pun akhirnya hanya bisa berpasrah dan menerima nasibnya.

"Ayo makan, makan." Ajak Tante Merax, wajah wanita itu terlihat cerah sekarang.

Cika sempat termenung sejenak sambil menatap sekelilingnya. Ruang makan itu benar-benar terasa lebih hidup dibanding empat hari yang lalu–di hari pertamanya datang ke rumah Rama.

Walau agak samar-samar, tapi Cika sudah mulai merasa nyaman dengan keadaannya saat ini. Memang ada banyak kegaduhan yang datang layaknya ombak seiring bergantinya hari, namun toh, selagia ada yang bisa dinikmati ya lebih baik begitu, bukan?

Saat sarapan pagi telah usai, semuanya pun bersiap untuk pergi ke gereja.

Rama, Gota dan Cika memeriksa jendela-jendela dan pintu di rumah itu, memastikan agar semuanya terkunci, lalu saat semuanya aman, mereka pun berangkat dengan berjalan kaki.

Gereja Rama letaknya tidak terlalu jauh dari rumahnya, tempat itu berada di pojok sebelah kanan dalam lorong di samping lapangan tempat mereka biasa nongkrong. Bangunannya pun cukup besar, jadi mereka sudah dapat melihatnya dari kejauhan, bahkan dari lantai dua rumah Rama sekalipun.

"Hey Gota, apa kamu nggak ada niatan buat pakai baju atau celana?" Tanya Cika dalam perjalanan.

"Ah, nggak ah, aku udah nyaman dengan kain ini." Balas Gota yang berjalan dengan gerakan yang agak berlebihan di depan Cika.

"Tapi kamu sudah mengenakannya selama empat hari..." Rama yang berjalan paling depan mengingatkan sambil memasang senyuman kecut.

"Iya, pasti bau dan udah banyak dakinya tuh." Tambah Cika yang terkesan mengejek.

"Hah? Mana ada! Nih cium." Gota tiba-tiba menarik kain yang melilit sekitar lehernya dan langsung menempelkannya pada hidung Cika sebelum gadis itu sempat merespon.

"Kurang asem! Jorong banget sih!" Cika seketika naik pitam karena aksi tak terduga Gota, namun bocah itu sudah keburu melarikan diri sambil tertawa keras sebelum Cika sempat memberinya pelajaran berharga. "Kampret!"

Dalam perjalanan, sesekali ada beberapa pengendara yang sempat berhenti dan menawarkan tumpangan untuk Rama, mereka sepertinya jemaat juga gereja Rama. Namun, anak itu selalu menolak tawaran mereka dengan dalih kalau ia lebih senang jalan kaki.

"Gereja ya? Sudah lama sekali Tante nggak masuk ke tempat-tempat ibadah." Ungkap Tante Merax yang berada belakang Cika.

"Oh? Tante pernah masuk ke tempat ibadah?" Tanya Cika.

"Yap. Tante harusnya pernah memasuki semua tempat ibadah manusia." Tante Merax memberitahu sambil tersenyum lebar.

"Wah... Itu keren. Aku malah belum pernah sama sekali." Ujar Cika sambil memasang wajah masam.

"Loh? Tunggu sebentar, kok bisa gitu? Bukannya kamu agama Islam?" Rama yang heran bertanya pada Cika.

"Hah? Sejak kapan aku bilang begitu?" Protes gadis itu.

"Begini Nak Rama." Tante Merax mulai menjelaskan. "Kami itu sejak awal nggak punya hak atas agama, jadi nggak ada satupun Warga Dunia Lain yang benar-benar memiliki keyakinan seperti kalian. Keyakinan kami yang paling utama, adalah tanggung jawab kami dalam melindungi umat manusia, itu saja."

"Walah... Aku baru tahu." Kata Rama yang terlihat cukup terkejut. "Soalnya namamu itu Cika, jadi aku spontan mikirnya kalau kamu itu Islam."

"Heh Rama, Cika itu nama umum. Banyak kok manusia yang bernama Cika beragama Kristen." Gadis itu menekankan.

"Nah, Nak Cika benar tuh." Sambung Tante Merax. "Tapi, kamu tenang saja Nak Rama, kita nggak dilarang buat memeluk agama kok. Soalnya di dunia sana pun ada banyak orang yang memiliki keyakinan mereka masing-masing. Jadi nggak ada masalah sama sekali."

"Ah, baiklah."

Setelah lima belas menitan mereka pun akhirnya sampai di gereja Rama, dan untung saja ibadahnya masih belum dimulai.

Ada jejeran motor yang terparkir di tempat parkiran di bagian depan kanan gereja, dan ada beberapa mobil di bagian depan. Jemaatnya juga sepertinya sudah banyak yang datang, dan mereka semua ramah-ramah.

Satu per satu orang yang ditemui Rama selalu menyapanya, dan anak itu pun menyapa balik mereka, walau dia tampak sedikit malu-malu dan canggung.

Dari depan pintu masuk, mereka sudah bisa melihat keseluruhan isi gereja itu. Ada kursi-kursi merah yang sudah berjejer dan tertata rapi untuk para jemaat, dan di atas pangggung di depan sana ada sebuah mimbar dari kayu, serta beragam alat-alat musik dan para pemainnya yang sedang mempersiapkan diri sejenak sebelum memulai ibadah.

Setelah menaiki tangga-tangga kecil, tepat sebelum mereka melewati pintu utama gereja, ada seorang pria tua yang duduk di dekat pintu dan bertindak sebagai penerima tamu, dan pria yang sudah lanjut umurnya itu segera bangkit ketika melihat Rama berjalan mendekat.

"Pagi Pak." Sapa Rama kikuk sambil menjabat tangan lelaki baya itu.

"Ah, Nak Rama ya. Ayo masuk, ibadahnya udah mau mulai loh." Orang tua itu memberitahu.

"Oh, iya, iya Pak."

Sungguh percakapan yang singkat, pikir Cika yang mengikut tepat di belakang Rama, disusul dengan Gota dan Tante Merax.

Mereka bertiga saat ini sudah melapisi tubuh mereka dengan sedikit keajaiban, jadi seharusnya tak akan ada manusia biasa yang bisa melihat mereka.

Walau begitu, setelah diperhatikan baik-baik, jemaat-jemaat di gereja ini sepertinya sudah sangat mengenal Rama. Dari cara mereka menyapanya, dari kata-kata mereka yang lembut, rasanya seakan-akan mereka memang sudah mengenal Rama sejak dulu sekali.

Rama awalnya berniat duduk di bagian tengah, mengingat deretan itu seluruhnya masih kosong, namun sewaktu ia menoleh ke belakang, anak itu terkejut waktu mendapati Cika, Gota dan Tante Merax yang cuma berdiri di bagian pojok belakang dekat dinding di belakang si pria tua penerima tamu.

Alhasil, anak itu akhirnya pindah dan memutuskan untuk duduk di deretan bagian paling belakang, di kursi yang sebenarnya terpisah dari deretan kursi lainnya, sedangkan ketiga teman tak terlihatnya berdiri di sebelahnya.

Akan tetapi entah kenapa Cika sedikit kepikiran dengan pria tua yang duduk di depan pintu itu.

"Nak Rama, gereja ini itu yang ada musiknya ya?" Tante Merax bertanya.

"Ah, iya Tante, ini gereja Pantekosta." Rama memberitahu. "Ngomong-ngomong, kenapa kalian nggak ikut duduk aja?"

"Ah, nggak usah dipikirin Nak, kami nggak apa-apa kok." Kata Tante Merax, dan Cika mengangguk setuju.

"Hey, bisa nggak aku nyoba alat-alat itu, Rama?" Bisik Gota dengan mata yang berbinar-binar karena penasaran.

"Nggak usah aneh-aneh deh Gota." Cika memperingati.

"Apa sih? Aku kan cuma pengen nyoba doang." Gota memprotes pada komentar Cika.

"Nanti ya Nak, kalau udah selesai." Tante Merax angkat bicara sambil tersenyum manis.

"Ah, oke deh Tante." Gota langsung menuruti perkataan Tante Merax tanpa perlawanan sedikitpun, bocah itu cuma bisa menggembungkan pipi dan memasang wajah cemberut.

Lalu ibadah pun dimulai.

Nyanyi-nyanyian dilantunkan dan musik-musik dimainkan.

Rama juga mengikuti ibadahnya dengan serius, sementara Golgota malah keheranan dengan semua yang terjadi di dalam gereja. Bocah kecil itu cuma terdiam sambil mengamati bagaimana jalannya ibadah, toh ini adalah kali pertamanya berada di gereja.

"Ngomong-ngomong Cika, kamu mau tahu nggak apa maksud perkataan Tante yang tadi pagi itu?" Tante Merax tiba-tiba angkat bicara, tapi pandangannya masih terarah ke depan–ke arah panggung.

"Eh... Emangnya apa Tante?" Tanya Cika ragu-ragu.

"Keajaiban itu memiliki kesempatan, sedangkan Tuhan tidak." Tante Merax mengingatkan kembali. "Saat kita sedang dalam masalah, kadang-kadang kita pasti memiliki suatu solusi yang kesannya malah terasa seperti keajaiban, seolah-olah, itu adalah kesempatan kedua yang benar-benar ajaib, sampai-sampai kau berpikir kalau keajaiban itu ada untuk membantumu Namun, kenyataannya tidak begitu. Itu semua karena Tuhan sudah menulis semuanya. Tuhan sudah menulis segalanya, dari awal hingga akhir. Sesuatu yang kau anggap kesempatan itu sejak awal bukanlah hadiah dari keajaiban, karena memang seperti itulah yang seharusnya terjadi, jadi... gampangnya sih, kamu jangan sampai terkecoh Nak Cika."

Cika terdiam seribu bahasa, sementara benaknya berusaha untuk memahami makna sebenarnya dari perkataan itu.

"Kesempatan kedua itu cuma omong kosong, kalau kata Tante ya. Ini hanyalah soal bagaimana caramu menggunakan pandanganmu, Nak." Ujar Tante Merax. "Tante Tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu, tapi Tante juga nggak memaksa kok. Entah kau memberitahukannya padaku, atau memilih tetap untuk menyimpannya, yang manapun itu, pada akhirnya memang begitulah alur cerita kehidupanmu. Alur cerita kehidupan kita. Jadi, cobalah untuk memandang lebih baik lagi. Maksudku, sungguh, jangan sampai... Terkecoh."

Ya, Cika benar-benar dibuat bingung saat ini. Ditengah-tengah riuhnya suara nyanyian dan musik di gereja itu, Cika malah merasa kalau dunia jadi agak hening saat ini. Hanya perkataan Tante Merax saja yang memenuhi seluruh telinganya.

Cika jadi bertanya-tanya, apakah ia harus terus berpura-pura dan menjalani hidupnya seperti yang diinginkannya, ataukah ia harus berkata jujur dan menghadapi sesuatu yang masih belum diketahuinya?

Sesuatu yang mungkin bisa membahayakannya, dan membuat hari esoknya menjadi menyeramkan.

"Eh... Tante Merax?" Gota memanggil dari depan pintu. Cika agak terkejut saat melihat anak itu sudah ada disana, ia tidak menyadarinya karena terlalu tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Namun, bocah itu kini terdiam di ambang pintu dengan mata yang tertuju pada angkasa yang terbentang di atas sana.

"Kenapa Nak Gota?" Tante Merax berjalan menghampiri Gota, dan Cika pun mengikut, meninggalkan Rama yang masih berfokus pada ibadahnya.

"Apa yang ada di sana itu?" Gota menunjuk pada suatu penampakkan yang ada di langit.

Ada sesuatu yang terlihat jauh di atas sana, satu bayangan yang ukurannya teramat sangat besar, dan siluet itu bergerak layaknya sedang berenang di balik awan-awan.

"Apa itu... Paus?" Tanya Gota dengan wajah kosong, mungkin karena saking herannya.

"Ah, itu? Namanya adalah, Bismark, makhluk itu adalah Selestial. Dan ya, bentuknya memang mirip seperti paus." Jelas Tante Merax.

"Apa dia itu hebat?" Gota bertanya lagi.

"Banget." Kata Tante Merax meyakinkan.

"Wah... Bismark ya? Udah lama juga aku nggak melihatnya kalau dipikir-pikir." Kata Cika.

Memang sudah lama sekali sejak ia terakhir kali melihat Bismark, namun makhluk itu sekarang berada di langit di atas pulau ini, dan entah kenapa Cika malah merasa kalau segalanya menjadi semakin ganjil sekarang. Wajah gadis itu menjadi kosong, dan keningnya berkerut membuatnya terlihat kalau dia memang sedang kebingungan.

Gadis itu, sudah tidak yakin lagi.