webnovel

Bab 1

Masa bodoh dengan Nyonya Coen yang sedang menerangkan teori heliosentris di depan sana, Bahasa Belandanya yang keriting itu sulit kumengerti , lagipula aku sudah hafal betul dengan kata-kata yang menyatakan bahwa matahari adalah pusat tata surya sedangkan bumi serta planet-planet lain mengelilinginya. Aku sungguh sudah muak mendengar caranya mengajar, dia seperti Ibuku, ya, ibuku dulu maksudnya sebelum dia meninggal karena tertembak mati oleh serdadu Belanda, setiap malam dia selalu mendongengkanku kisah gadis berkerudung merah dan gadis korek api sebelum aku tidur, dan seperti itulah cara Nyonya Coen mengajar, di mataku. Membuatku mengantuk.

"Hey Mom! Do you know? You're so boring!" ingin rasanya kuteriakkan kalimat berbahasa Inggris itu di depan muka wanita Belanda berambut pirang dan bermata hijau itu sebagai ungkapan kejenuhanku. Tapi tak kulakukan, aku masih waras dan ingin tetap hidup, belum mau menyusul Ibu kandungku ke surga karena aku tahu benar siapa kekasih dari wanita ini, pria tampan yang seminggu lalu datang adalah pimpinan pleton serdadu Belanda di tingkat pusat yang lansung ditangani oleh Gubernur Jendral.

Kualihkan pandanganku ke luar ruangan untuk sedikit mengurangi rasa kantuk yang menempel di mataku. Supaya aku tak tertidur di kelas dan dilempar kapur oleh nyonya Coen seperti kemarin, untung kemarin justru mengenai Daren, anak laki-laki yang duduk di belakangku, sialnya dia. Terlihat serdadu-serdadu Belanda berpakaian coklat tanah wara-wiri menimbulkan kesemrawutan di jalan depan sekolah. Mobil-mobil jeep membawa rangkaian-rangkaian bunga, beberapa sedan dan delman juga lewat ke arah yang sama. Sepertinya acara kali ini akan sangat meriah. Pesta pengangkatan wali kota baru. Aku belum tahu siapa nama pengganti si kumis pagar Wilhem Vanderbilt.

"Mau pulang denganku?" Tanya teman semejaku, Ratri, gadis bangsawan berparas ayu itu tersenyum ramah padaku sembari merapikan rambut panjangnya yang berombak. Kami berdua adalah dua siswa yang bukan berasal dari Belanda, hanya kami berdua.

"Kamu duluan saja, aku menunggu ayahku."

"Ayahmu ikut pestakah? Kenapa kamu tak ikut?"

"Ya! Beliau diundang, aku tidak ikut karena aku harus sekolah bukan?" jawabku, sebenarnya aku sedang malas bicara, karena itu nada bicaraku tak enak didengar tapi rasanya Ratri tak menyadari hal itu.

"Oh! Kalau begitu aku duluan ya," dia berpamitan, akhirnya. Aku menghela napas lalu membalas lambaian tangannya dengan cara yang sama. Kupandang gadis itu, gadis yang baik. Dia satu-satu orang di kelas yang tak menatap sinis diriku, cantik dan pintar pula, aku beruntung.

Dengan langkah riang dan bebas aku melenggang keluar kelas, senyum manis tersungging di wajahku, terdengar sendiri olehku rok selututku yang terkibas-kibas oleh langkahku. Melewati jalanan yang hari ini lumayan ramai, dan bertemu beberapa serdadu Belanda, mereka menyapa dan melambaikan tangan kepadaku dan aku membalasnya dengan cara yang sama. Mesin jeep berlalu-lalang di sampingku, lalu disusul klaksonnya yang tak enak didengar, serdadu Belanda tampan yang duduk di depan kemudi tersenyum padaku , tak pernah kulihat dia sebelumnya maka kuacuhkan.

Duduk sendiri di gardu pos serdadu Belanda, tak terlalu jauh dari gedung HBS, tempatku bersekolah. Menikmati angin yang memicu suara gemerosok daun-daun jati dari kebun yang tepat berada di seberang jalan. Kuayun-ayunkan kedua kakiku, sementara jemariku memainkan kuku-kukunya. Sejenak melayang ke jalan yang berubah sepi, tak ada lagi yang lalu lalang membawa berbagai maca perlengkapan, tak serdadu. Mungkin acara sudah dimulai. Sebenarnya ayah menyuruhku menyusul sepulang sekolah ini tapi aku malu jalan sendiri kesana, aneh saja kurasa.

"Kira-kira berapa lama ya?" tanyaku pada diriku sendiri sambil menunduk, memperhatikan barisan semut di tanah

"Neem me niet kwalijk" (permisi) terdengar suara seseorang berbahasa belanda, suara sopan yang terdengar lembut di telingaku. Kuangkat kepalaku yang tertunduk secara perlahan, sedikit demi sedikit mulai dari sepatu coklat berbahan kulit, celana panjang hitam dan mantel abu-abu panjang sampai atas lutut, kancingnya besar-besar, tebal dan mewah tentunya, mantel itu terhenti dengan kerah berbentuk V, dari celah itu kulihat kemeja putih bersih polos, dan yang terakhir adalah dua kata : tampan dan manis.

"Ik kon gaan zitten Nona?" (bolehkah aku duduk Nona?) tanya laki-laki yang sepertinya seumuran denganku itu, bibirnya merah merekah seperti lipstik ibu, hidungnya mancung dan yang terindah adalah mata coklatnya yang memancarkan sinar keteduhan, rambutnya pun tak mau kalah, pirang yang lembut dibuai oleh sepoi angin yang tiba-tiba datang. Semua yang aku lihat seolah berlomba-lomba untuk menyokong ketampanan laki-laki itu.

"Hi Nona, Waarom zou ik moeite doen?" (Hai Nona, apa aku mengganggumu?)

"Ah tidak!" terperanjat dan refleks berbicara dengan bahasa Indonesia ketika dia menggerak-gerakkan telapak tangan kanannya di depan wajahku.

"Jadi bolehkah aku duduk?" Tanyanya lagi, dia berbahasa Indonesia, baguslah! Berhentilah mempersulitku. Awalnya kukira dia orang Belanda yang tak bisa bahasa Indonesia, sekarang aku bisa menarik kesimpulan bahwa dialah yang mengira aku orang Belanda yang tak bisa Bahasa Indonesia.

"Silahkan" kataku, sedikit menggeser posisi dudukku, dia lantas tersenyum dan duduk di sampingku.

Kami terdiam untuk beberapa saat, hening , sekali lagi yang terdengar hanya gemerosok daun jati. Sesekali aku mencuri pandang untuk memperhatikan laki-laki muda itu, jantungku berdetak kencang, kutekan dadaku, takut kalau-kalau dia mendengar suara menggenderang ini. Dia menatap lurus jalanan di depan kami, terlihat nyaman.

"Aku Josh" tiba-tiba berbicara dan mengalihkan pandangan padaku dan tahukah? Ini sukses membuatku kaku diposisiku yang sedang memperhatikannya, mati aku.Perlahan kuturunkan arah mataku, terlihat tangan kanannya mnegapung di udara, menunggu untuk kujabat.

"Maudy" jawabku seraya tersenyum dan menyambut tangannya. Dia pun tersenyum, matanya menyipit membentuk bulan sabit. Ah! Sampai kapan aku bisa bertahan melihat pemandangan seperti ini? Jangan buat aku pingsan.

"Kamu baru disini?" aku mulai bertanya, membuka perbincangan baru, berharap ini mampu mengendalikan hingar-bingar dalam diriku.

"Ya, papaku dipindahkan Gubernur Jendral ke sini" jawabnya. Jawaban yang langsung dapat membuatku paham bahwa laki-laki ini adalah anak dari wali kota baru.

"Kamu tidak ikut pesta?"

"Papa memperbolehkanku berkeliling, dan aku suka ini"

"Ehm, tadi siapa namamu?" aku mengeluarkan pertanyaan menguntungkan itu. Menguntungkan? Ya! Aku masih ingat namanya Josh, lalu kenapa aku bertanya lagi? karena aku ingin dia menyebutkan nama lengkapnya, dengan begitu aku bisa tahu siapa pemimpin daerah kami yang baru. Cerdas bukan? Sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui.

"Josh Drew Schoonhoven" akhirnya dia menyebutkan nama lengkapnya. Jurusku sempurna. "Ehm apa kamu mau pergi ke pesta? Kmau bisa bertemu papaku nanti. Lagipula untuk apa yang kau lakukan disini? Bukankah semua berada disana?"

"Aku, bukan orang Belanda jadi tak wajib kesanakan? Tapi ayahku kesana, beliau diundang"

"Bukan Belanda?" dia tertegun, benar bukan dugaanku tadi? Dia mengira aku seorang Nona Belanda. Aku mengangguk tanpa memberikan penjelasan, biarlah! Akan panjang nanti kalau bercerita, toh aku tak mau cerita hal itu, tak penting, Josh juga baru kukenal. Lagipula aku juga berpikir tentang tawarannya tadi itu, pergi ke pesta dan dengan begitu aku bisa bertemu ayah. Kali ini tak terasa aneh karena aku datang bersama Josh.

Suara piano mengalun lembut dimainkan oleh seorang pria muda di atas panggung, dia memainkan Fur Elise, lagu yang indah dan seolah menyambutku yang melangkah beriringan bersama Josh, ini seperti cerita dalam dongeng. Seorang putri yang cantik jelita memasuki istana bersama pangerannya, semua mata tertuju padaku. Oh! Pikiranku mulai tak benar lagi.

Kualihkan pandanganku ke sekeliling, ini pesta yang meriah. Pesta ini menyulap halaman kota praja menjadi tempat yang sangat indah dan mewah. Hiasan bunga tulip terpasang di setiap sudut tempat, warna-warni yang memukau. Dua buah meja panjang disusun di tengah-tengah pesta, di atas meja bertaplak putih dengan taburan bunga aster di sela-sela wadah tempat hidangan untuk para tamu, piring-piring perak tersusun rapi bersama gelas-gelas kaca. Botol bir besar ada di tengah-tengah tatanan gelas itu.

Kulayangkan pandangan ke setiap tempat di pesta, mataku menyela kerumunan orang-orang yang sebagian besar adalah para pegawai pemerintah Hindia Belanda. Para pria memakai setelan jas mewah, begitu juga para wanita Belanda berambut pirang yang terlihat sangat anggun dengan gaun mereka. Kudapati juga beberapa warga bangsawan pribumi yang mengenakan baju batik dan blangkon di kepalanya berpasangan dengan istri mereka yang berkebaya cantik.

Kakiku tetap melangkah mengikuti Josh sementara mataku memperhatikan sekeliling. Aku mencari ayahku, dan itulah tujuanku. Percakapan berbahasa Belanda keluar masuk gendang telingaku, entahlah apa yang mereka bicarakan, aku malas mendengarkan dan menerjemahkannya.

"Itu papaku." Josh tiba-tiba berseru, dia menatapku lalu beralih melihat seorang pria Belanda berambut coklat terang, pria itu terlihat sangat gagah dengan garbadin putihnya dan juga topi vilt coklat tua yang menempel di atas kepalanya. Wajahnya tak terlalu jelas olehku karena masih cukup jauh, tapi dari jarak ini aku sudah bisa menilai bahwa pasti dia tampan.

Sejenak ada sesuatu yang mengganjal dalam hatiku. Aku merasa ini aneh. Aneh? Ya ! ini aneh karena aku tiba-tiba datang dan menemui orang itu nantinya, dikenalkan oleh anaknya? Sungguh sulit untuk kumengerti.

"Josh!" suara seseorang berseru, Josh sejurus menghentikan langkah, begitu pula denganku, Josh memandang ke arah pemilik suara tadi, tak terlalu jauh dari kami, ada seorang wanita asing yang melambaikan tangan dan tersenyum bahagia, kulihat mata Josh berbinar, indah sekali. Mataku beralih lagi ke wanita yang berdiri di dekat vas porselin besar dengan rangkaian bunga tulip ungu. Josh tiba-tiba berlari, dia menghampiri wanita tadi dan memeluknya erat sekali, seolah tak mau melepasnya. Tangan wanita bermata coklat itu membelai lembut rambut Josh yang larut dalam pelukannya.

"I really miss you Mom," suara Josh yang lirih dan terdengar berat itu mampir juga di telingaku.

"Mom?" aku mengulangi sebuah kata yang kudengar tadi. Cara yang cukup unik, dia memanggil ayahnya Papa dan memanggil ibunya Mom. Sejenak rasa jengkel menyelimutiku, sedikit menyebalkan karena dia meninggalkanku disini, dia melupakanku yang dia ajak.

"Maudy?" seseorang menepuk bahuku. Aku hafal betul suara siapa itu, sangat hafal. Kuputar tubuhku seratus delapan puluh derajad, aku benar! Dia ayahku. Ayahku yang baik hati.

"Ya Ayah," jawabku ramah diiringi senyuman, menyambut kehadiran ayahku yang tingginya tak terpaut terlalu jauh dariku, aku sampai di telinganya. Mungkin aku yang terlalu tinggi atau juga ayahku yang terlalu pendek. Ups!

"Kau bilang tak mau menyusul?" Ayah memberikan segelas air untukku.

"Seseorang mengajakku, jadi aku kesini" kataku lalu meneguk minumanku. "dia putra Tuan Schoonhoven." Aku tersenyum lagi, mengingat pertemuanku dengan Josh.

"Dimana dia?" Ayah melihat sekeliling, aku mengarahkan pandanganku ke tempat Josh berada tadi, tapi dimana dia sekarang? Tak ada disana lagi!

"Tidak tahu." Jawabku asal dicampur sedikit kesal.

"Itu Tuan Schoonhoven, mau bertemu dengannya?" Ayah menawarkan, "Ayah sempat bercerita tentangmu tadi"

"Boleh?" aku tak percaya dengan tawaran itu, senyum lebar kembali terkembang ketika ayah mengangguk.

Wajah Tuan Schoonhoven seperti sudah tak terlalu asing bagiku, apalagi tatapan mata biru safirnya yang begitu mirip dengan mataku. Tatapan mata yang membuatku tak nyaman meskipun dia memiliki senyuman yang sangat ramah. Tuan Belanda yang mungkin berusia 45 tahun ini, air muka dan sinar matanya yang memancarkan ketegasan yang begitu kuat, bisa kutebak bahwa dia sosok yang berkarakter keras.

"Wessel Adelbert Schoonhoven" dia menyebutkan nama lengkapnya ketika berjabat tangan denganku.

"Ik ben Maudy," (Namaku Maudy)

"Je bent mooi" (kau cantik) dia,Tuan Schoonhoven pun mengakui aku cantik ouh! Melayanglah aku ke langit.

"Dank U"(terima kasih) aku sedikit menunduk, menyembunyikan pipiku yang pasti memerah kali ini.

***

Hari minggu yang cerah, aku pergi berjalan-jalan sendiri di sore hari. Melewati jalanan setapak di sekitar tempat tinggalku. Terdengarkerining-kerining bunyi bel sepeda yang dikayuh beberapa orang yang lewat di jalan ini juga, sesekali truk-truk pengangkut tebu melewatiku.

"Hoi Maudy !."

"Hallo Piet" Aku membalas sapaan seorang serdadu Belanda yang sedang duduk di gardu sambil menghisap cerutu dan menikmati pisang goreng, cara makannya seperti orang kelaparan, kukira dia baru saja istirahat. Serdadu muda dan tampan menurutku, dia tiga tahun lebih tua dariku, usianya dua puluh tahun, mata hijaunya akan indah sekali kalau terkena sinar matahari. Dia baik padaku, sering dia membagi jatah makan siangnya denganku.

"Cicak di bahumu!!" seruku tiba-tiba, dia langsung melompat dari gardu yang dibangun dari bambu itu, lompatan seorang sedadu yang sangat cekatan. Aku tertawa lepas sementara Piet heboh sendiri dengan lelucon yang kubuat, aku tahu dia takut cicak.

"Kau Maudy!" dia menunjukku yang langsung berlari-lari kecil menjauh darinya, padahal dia tak mengejarku dan justru memilih kembali ke markasnya, tiduran di sana.

Aku masih berlari, sesekali aku iseng dan kurang kegiatan lalu berjalan mundur, nampak beberapa anak kecil bermain di halaman rumah mereka.

"Hey Maudy!" seruan seseorang menghentikan langkahku, kulihat ke samping, arah pukul tiga, ada seseorang yang tak asing bagiku. Dia menuntun sepeda humber-nya dan melambaikan tangan padaku, Josh, laki-laki bermata dan bersenyum indah itu kembali kutemui, sedang apa dia disini? Di tepi kebun tebu.

"Tak kusangka bertemu denganmu disini?" ungkapnya ramah ketika dia sampai di hadapanku, berdiri dengan mengenakan mantel tebal warna merah tua yang membalut tubuhnya, topi vilt borsalino di kepalanya. Aneh lagi, kurasa kehidupanku serba aneh kalau bertemu dengannya. Ini bukan musim hujan, tak dingin sama sekali, lantas untuk apa mantel setebal itu?

"Rumahmu dekat sini?"

"Ya! Di ujung jalan ini. Senang bisa bertemu denganmu disini."

"Apa kau mau menemaniku jalan-jalan dengan sepeda?" dia mengerlingkan matanya penuh harap, aku berpikir sejenak, akan jadi pembicaraan kalau aku berjalan dengan anak ini, tapi apa peduliku? Toh mereka juga tak peduli padaku.

"Baiklah, aku akan menjadi perimu hari ini?" kataku menggoda sembari melangkah.

"Baiklah peri cantik," Dia membalas candaku, kami berjalan berdua.

Ini sangat menyenangkan, berjalan-jalan santai di jalanan setapak , menikmati sore yang indah bersama Josh di tengah-tengah kebun tebu yang baru ranum daun-daun panjangnya. Mata kami bebas memandang luas. Sesekali dia bercerita padaku tentang ayahnya yang baik dan sedikit keras, aku pun menceritakan ayahku. Dia juga meminta maaf karena kemarin meninggalkanku begitu saja, dia lupa dan tak menyadariku lagi. Kuceritakan kehidupan dan suasana di tempat ini, kejahilan yang kulakukan pada Piet tadi yang memecahkan tawa di antara kami ,berdua. Beberapa orang di kebun memperhatikan kami tapi tak kupedulikan, kami terus melangkah sampai akhirnya berhenti di sebuah jembatan kecil. Aku berjalan di bebatuan pembatas jembatan yang sedikit lebih tinggi dari jalan, sementara Josh memperhatikanku seolah takut aku terjatuh dari pijakanku. Matahari di langit barat mulai tenggelam, jingga menerpa wajahku dan wajah Josh. Laki-laki ini memboncengkanku pulang, topi viltnya kini pindah di kepalaku, dia iseng memakaikannya untukku saat menawariku untuk duduk di sadel belakang.

Aku tiduran di kursi lebar dan panjang di ruang tengah , tersenyum-senyum sendiri sembari mendengarkan lagu dari radio di sudut ruangan. Menerawang ke langit-langit yang terbuat dari anyaman bambu, cicak-cicak yang berkejar-kejaran , terkadang mampir juga di telingaku suara ceracak-ceracaknya yang menembus gendang telingaku bersamaan dengan alunan lagu dari radio.

Kuingat-ingat lagi pertemuanku dengan Josh di jalan tepi kebun tebu dua hari yang lalu. Entah kenapa, sejak hari itu wajah si mata dan senyum indah itu selalu hadir di hadapanku. Aku ingat benar bagaimana cara dia memandangku, sinar mata, caranya tersenyum , suaranya bahkan bentuk punggungnya ketika aku diboncengkan olehnya, masih terekam jelas.

Selamanya tak kulupa, jumpa pertama kita di pesisir pantai parangtritis.

Kau layangkan pandangan lembutmu padaku.

Lirik lagu dari radio seolah menyindirku, suara sopran wanita itu seolah menggodaku, sukses membuatku tersipu-sipu dalam lamunan. Ingin kudatangi penyanyi itu lalu kutanyakan padanya "darimana kau tahu isi hatiku? Jangan menyindirku dengan mengubah sawah menjadi pantai" Aku pikir aku sudah gila, siapa yang mampu mengobatiku?

"Eh, tidak baik anak gadis melamun siang-siang." Ibu tiba-tiba datang dan duduk di sampingku, dia membawa sebuah tampah berisi kangkung dan bayam.

"Laki-laki mana yang beruntung merebut hati gendhuk ayu ibu ini?" ibuku menggoda sambil memetik sayur-sayurnya, memisahkan daun dari gagangnya.

"Ah Ibu," malu-malu aku mengelak seraya duduk dan mulai membantunya. Candaan ibuku yang bertutur halus layaknya putri kraton tetap saja mampu tepat mengenai hatiku. Ibu memang berbeda dengan ayah, dua sosok yang bertolak belakang walau sama-sama baik dan penyayang serta penuh perhatian. Ibu yang sangat lembut cara bicaranya dan tutur katanya ini sangat bertolak belakang dengan ayah yang keras kepala. Aku pikir, justru perbedaan inilah yang akan menjadikan kesempurnaan. Ibu yang lembut akan dikuatkan ayah, dan ayah yang keras akan dilunakkan ibu.

"Ibu kasih tahu kamu, ndhuk." Kali ini nada bicara ibu terdengar serius, aku langsung mendengarkan dengan penuh perhatian. "Hati-hati dengan hatimu sendiri. Ibu paham benar bagaimana rasanya menjadi remaja sepertimu. Anak seusiamu ini mudah terbawa pengaruh, sering dibuai perasaan tanpa menggunakan pemikiran logis," Aku tersenyum dan mengangguk, paham betul maksud kata-kata ibuku yang penuh kasih.

"Jadi, memang nak Josh orangnya? Putra tuan Schoonhoven ?" Lagi, ibu menggodaku dan payahnya aku tak pandai menyembunyikan perasaanku sendiri, apalagi darinya.

"Ah ibu!" lagi-lagi hanya itu yang mampu meluncur dari mulutku.

"Dia tampan dan terlihat baik, ayah juga tahu betul kalau Tuan Schoonhoven juga orang yang baik."

***