webnovel

Bab 2

Senang rasanya hari ini Nyonya Coen tak mengajar dan digantikan oleh Pak Van Mook, dia masih muda usianya belum genap tiga puluh tahun, dulunya dia seorang tentara Belanda tapi karena kepandaiannya dia mendapat beasiswa untuk mengambil pendidikan guru di Belanda untuk kemudian ditugaskan mengajar di HBS, tempatku bersekolah sekarang. Aku menyukainya , sangat menyukainya. Selain memiliki pengetahuan luas, beliau juga pandai mendongeng , bukan mendongeng seperti Nyonya Coen dan ibuku yang membuatku mengantuk tapi justru dongeng yang membuat aku dan teman-temanku tak mengedipkan mata sama sekali. Beliau suka menceritakan tentang Charles Chaplin, Marconi, Thomas Alfa Edison dan tokoh-tokoh menarik lainnya. Cerita yang menjurus ke materi pelajaran, mampu membuatku larut dalam cerita dan hafal benar setiap detailnya. Saat bercerita. Ehm, cukuplah menyebut ini cerita dan dongeng, sebenarnya ini adalah cara Pak Van Mook menyalurkan ilmunya kepada kami, tangannya ikut bergerak-gerak menggambarkan setiap detail kata-katanya, sinar matanya begitu meyakinkan.

"Dia tampan sekali"

Apa? Aku kaget mendengar kalimat itu, suara Ratri yang lembut mengusik konsentrasiku. Tampan? Apa temanku ini sudah terserang wabah katarak? Satu-satunya kekurangan pak Van Mook adalah wajahnya, menurutku beliau sama sekali tidak tampan dan mungkin karena itu juga, di usianya yang menginjak 28 tahun ini , dia belum menikah.

"Maudy, dia tampan sekali," lagi-lagi Ratri mengusikku, dia menarik-narik lengan bajuku. Ish! Aku mendesah kesal dan melihatnya. Gadis ini rupanya tak memperhatikan Pak Van Mook. Kuikuti arah matanya yang menjurus keluar ruangan.

Tampan. Aku berjalan melewati bebatuan di tepian jernihnya aliran sungai, gemericik suaranya menyatu dengan kicau burung serta desir angin pencipta harmonisasi indah, mengiringi langkahku. Gaun putih panjang, indah dan terlihat manis dengan hiasan renda-renda merah muda, cantik. Kuangkat sedikit bagian bawah gaunku agar tak basah menyerap air, rangkaian bunga krisan melingkar di atas kepalaku, menghiasi rambut kecoklatanku yang tak kalah cantik. Aku terus melangkah. Menghampiri pangeranku yang berdiri menungguku di dekat air terjun, tiap air jatuh terlihat bak mutiara berkilauan memantulkan sinar mentari.

"Nona Maudy"

"Ik hou van je" balasku, seolah tak peduli siapa yang berkata. Tapi segera lamunanku terbuyarkan setelah gelak tawa memenuhi telingaku. Aku hanya bisa menelan ludah ketika mendapati Pak Van Mook yang melotot di hadapanku dan teman-teman di kelas tertawa puas seperti orang tak waras. Oh! Ini benar-benar memalukan. Aku tertunduk menyembunyikan rasa maluku, mataku sedikit mencuri pandang lagi keluar. Josh, laki-laki tampan itu masih disana, dia duduk di atas kereta kudanya yang parkir di jalan depan sekolah, terlihat sangat tampan dengan garbadin merahnya yang mencolok, tapi wajahnya yang kulihat dari samping dan membuatku hanyut dalam negeri dongeng buatanku sendiri tadi jauh lebih menarik daripada garbadin mewahnya yang nampak sangat tebal.

Tak tahu arah tujuan, aku malas untuk langsung pulang. Ini gila! Memang, dan aku sering melakukan ini, jalan-jalan sendiri tanpa arah dan teman. Sesekali Ibu menyuruhku untuk menghentikan kebiasan burukku, Ibu bilang "Tak baik anak gadis wara-wiri dijalan. Apa kata orang nanti?" aku tahu arti kalimat itu. Tapi apa peduliku? Aku berbuat baik pun tak ada yang peduli padaku, mereka tetap mencibirku, jadi daripada mereka membuat dosa dengan memfitnahku lebih baik aku melakukan hal salah ini saja, dengan begini mereka tidak memfitnahku bukan? Mereka tidak berdosa bukan? Heh! Seharusnya mereka berterimakasih padaku.

"Ah! waar ben ik??" (Ah! Dimana aku?) suara itu mengusikku, suara yang tiba-tiba menggetarkan hatiku, aku hafal benar dengan suara itu. Kuputar pandanganku ke setiap sudut jalan yang sepi dan tepinya dipenuhi pohon jati.

Benar! Aku benar! Aku berseru dalam hati, ada seseorang yang kukenal dan selalu menghantui hatiku beberapa hari ini, membuatku seperti orang gila. Josh, putra tuan Schoonhoven yang tadi kulihat dari kelas sekarang berada di hadapanku, dia terlihat sangat kacau, rambutnya acak-acakan, tapi masih terlihat tampan. Dia sedikit menundukkan pandangan dan terlihat malu, entahlah kenapa tapi dia terkesan tak mau bertemu denganku.

"Kau kenapa?" tanyaku, memberanikan diri berbicara terlebih dulu.

"Ehm, aku." Kali ini dia membuang muka, melihat sana-sini tak mau memperhatikanku yang berada di hadapannya dan mengajaknya berbicara. Kurasa benar, dia tak mau menemuiku, tak menghendaki aku menghampirinya.

"Maaf kalau aku,"

"Aku tersesat"

Maaf kalau aku mengganggumu, aku mau mengatakan itu tadi tapi terpotong karena tiba-tiba dia menyahut dan mengatakan kalau dia tersesat. Aku tersenyum menahan tawa, ini sungguh lucu. Dia Tersesat! Hah! Kalau bisa kuculik juga dia! lalu kusimpan di kamarku. Ha ha ha aku mulai gila lagi.

Aku berjalan bersama Josh melewati jalan sepi di tepi kanan dan kiri dipenuhi jajaran pohon jati yang meneduhkan kami, semakin teduh karena langit diselimuti awan tebal. Sesekali kulihat Josh yang merapatkan garbadin merahnya. Dia memandang lurus sambil berjalan.

"Ini benar-benar memalukan, aku tersesat disini dan tak tahu jalan pulang."

"Lebih memalukan lagi karena aku menemukanmu. Aku pikir tadi kau marah padaku." Ah! Bodoh kenapa aku mengatakan kalimat itu ? kalimat itu membuatnya langsung berhenti melangkah dan menatapku penuh tanya dan kecemasan.

"Marah?" dia semakin dalam menatapku. Hah! Mati aku. "untuk apa aku marah padamu. Ehm.." dia kembali berjalan, aku mengikutinya lagi. "Apa tadi kau melihat kereta Kotapraja? Tadi aku naik itu sampai akhirnya aku memutuskan jalan-jalan sendiri dan tersesat."

Josh mengalihkan pembicaraan dengan cara yang sama sekali tidak menyenangkan. Tidak masalah karena aku terbebas dari prasangka buruknya tapi ini terasa terlalu aneh.

"Aku tidak tahu. Lagipula untuk apa kau mencarinya? Bukankah aku bisa mengantarkanmu pulang?"

"Aku pasti dicari oleh mereka, kalau aku tidak pulang bersama mereka, mereka akan dimarahi papa. Lagipula tadi aku pergi untuk menemani mama yang mengikuti acara di suatu tempat , mereka pasti khawatir."

Aku berpikir panjang sepanjang perjalanan. Baru kusadari ternyata Josh seorang anak yang penurut dan perhatian, dia bukan seorang pembangkang seperti aku yang suka seenaknya sendiri. Tidak! Tidak! Aku bukan pembangkang! Aku juga menuruti peraturan ayah dan ibu, tidak pernah membantah. Hanya saja, aku tidak pernah peduli pada orang sekitarku, aku tak peduli tapi josh, dia memikirkan orang-orang itu, pegawai ayahnya yang mungkin akan kena hukuman karena tak pulang bersamanya.

"Wah hujan!" seru Josh, dia menengadahkan telapak tangannya dan menatap ke langit, begitu juga denganku yang langsung meninggalkan segala pemikiran bodoh dalam otakku.

"Ayo berteduh!" tiba-tiba dia menarik tanganku, mengajakku berlari menuju ke sebuah gardu serdadu belanda. Kami berdiam disana. Diam dan diam, sambil menatap hujan yang semakin deras. Kutengok langit, awan kelabu, hujannya pasti awet. Sampai kapan aku disini?

Udara dingin mulai menusuk kulitku, ini sangat dingin,aku mulai bersin beberapa kali, payahnya aku sama sekali tak memakai jaket atau semacamnya dan aku memakai terusan putih lengan pendek dan panjangnya selutut yang berhias bunga-bunga tulip. Kulihat Josh yang menggosok-gosok lengannya yang sudah tertutupi garbadin tebal, dia terlihat kedinginan, hah? Padahal dia memakai garbadin setebal itu?apa dia tidak bisa sedikit saja memperhatikan seorang gadis cantik di sampingnya yang sedang kedinginan juga? Apa dia tidak bisa sedikit mengalah lalu memakaikan garbadinnya padaku, seperti di film-film yang pernah kutonton dengan kakakku ketika aku diajaknya ke kota dulu?

Sudah sekitar 30 menit kurasa, dan kami hanya terdiam. Aku tak berani memulai pembicaraan dan aku berpikir kenapa harus aku terus yang memulainya? Kenapa bukan dia? Dia , Si Josh yang ternyata tak punya kepekaan tentang wanita. Kulihat lagi dia, rambut pirangnya yang sedikit basah terkena air tadi membuatnya semakin terlihat tampan.

Tak tak tak tak! Terdengar suara sepatu kuda yang berpacu dari kejauhan, aku dan Josh menengok ke sisi arah suara itu. Kulihat Josh tersenyum, senyuman manis yang mengembang itu menghiasi wajahnya. Kulihat lagi ke jalan, itu kereta kuda kotapraja.

"Maaf Tuan, saya kesulitan mencari anda, saya lalai." Kata si kusir yang melompat turun dari keretanya, dia berbicara pada Josh dengan sedikit membungkuk, memberi hormat.

"Josh kau kemana saja?" seorang wanita paruh baya berbicara, wanita belanda yang belum pernah kulihat itu duduk di kursi kereta.

"Aku melakukan hal bodoh ma," kata Josh, suranya sedikit serak, sepertinya dia mulai sakit.

"Naiklah! Kita harus pulang sekarang." Perintah wanita berambut pirang mencolok dan bermata hijau itu. Kupikir dia adalah ibu Josh. Ibu? Tunggu! Wanita ini berbeda dengan yang dipeluk Josh di pesta dulu. Bukan wanita yang dipanggil Mom di pesta waktu itu.

Kereta kuda itu berlalu pergi, menembus derasnya hujan yang turun siang ini. Aku sendiri, menatap kereta kuda yang membawa pangeranku pergi itu hingga hilang di tikungan ujung jalan. Kuingat lagi bagaimana raut wajah Josh yang memurung dan penuh sesal karena tak bisa mengantarku pulang terlebih dulu. Aku sendiri lagi disini, di gardu reot serdadu Belanda, sendiri dan sendiri lagi.

***

Hangat. Malam dalam teduhnya cahaya temaram lentera yang menjuntai di sudut kamarku. Hari sudah larut karena itu kumatikan lampu listrik dan kugantikan setiap berkas-berkas cahaya dengan keteduhan lentera. Nyala apinya yang tenang berbentuk kerucut terlindungi oleh kaca di bagian luar, tapi ketika angin yang cukup kencang datang, dia bergoyang-goyang juga.

Aku masih terduduk di atas kasurku setelah semua tugas sekolah kuselesaikan, berharap besok tak mendapat masalah dengan Nyonya Coen. Kupandangi langit malam lewat dua buah genteng kaca yang terpasang tepat di atas kepalaku, aku suka melakukan ini sejak tiga tahun yang lalu, kutahu hal ini menyenangkan dan menenangkanku ketika ayah berniat mengganti langit-langit kamarku yang yang mulai usang tapi kutolak itu, setelah kuketahui betapa indahnya langit malam lewat dua benda itu. Terlihat seperti dua lukisan indah, seperti malam ini. Aku melihat bulan lewat genteng kaca di sebelah kanan dan aku mampu melihat dua titik cahaya bintang berwarna merah dan biru yang begitu kontras dari genteng di sebelahnya.

Sebelum aku memutuskan untuk merebahkan tubuhku yang dikuasai rasa lelah, kubuka laci dari meja kecil di samping ranjangku, tanganku meraba-raba dalam laci mencari-cari sesuatu, setelah kutemukan baru kubenamkan kepala dalam bantal empukku yang begitu nyaman.

Sebuah kalung berliontin koin kuno, bertahta batu safir ungu berbentuk bulat di tengah-tengah koin yang sengaja dilubangi untuk meletakkan batu safirnya. Terlihat sangat indah. Kalung ini satu-satunya benda peninggalan ibuku sebelum dia meninggal, dia bilang ini sangat berharga, "Kau akan menemukan banyak kebahagiaan, kalung ini sebuah tanda ketulusan" itulah yang ibu ucapkan sebulan sebelum maut memisahkan kami.

Ibu, aku tiba-tiba sangat merindukannya, berharap dia berada disini sekarang, di sisiku. Mendongengkan cerita-cerita putri cantik dan baik hati yang akhirnya menemukan kebahagiaan dan cinta, sebelum aku terlelap dalam mimpi. Putri yang menemukan cinta seorang pangeran.

Entah bagaimana caranya setelah berpikir tentang pangeran, aku jadi teringat Josh. Si pemilik mata indah itu, sejak aku bertemu dengannya di gardu serdadu Belanda, aku mulai sering memposisikan dirinya sebagai pangeran berkuda putih dalam setiap khayalanku tentang negeri di awan. Dimana aku, Maudy Mangunbrata adalah Putri cantik dari kerajaan hujan dan dia, Josh Drew Schoonhoven adalah pangeran dari kerajaan Matahari. Cinta sejati kami hingga akhir hidup, kami menghembuskan napas terakhir di waktu yang sama hingga akhirnya roh kami disatukan dalam bentuk indah layaknya pelangi.

Hari ini aku dan Josh kembali bertemu, lagi – lagi sebuah pertemuan yang tidak disengaja. Aku baru saja pulang dari salah satu pos serdadu Belanda, sekedar bermain-bermain dan bercakap-cakap dengan Piet dan kawan-kawannya. Mengurangi jatah makan siang mereka hari ini.

Apakah ini sebuah takdir atau apa, aku benar-benar tak mengerti. Rasanya hari ini mimpiku menjadi nyata, kalau semalam aku membayangkan Josh sebagai seorang pangeran maka hari ini dia datang dan menemuiku dengan menunggangi seekor kuda putih, dia hadir bersama seorang bujang ayahnya yang membawa kuda berwarna coklat. Josh memakai topi koboi hitam, mantel putih dan celana hitam. Dia memberhentikan kudanya tepat di depanku, layaknya dia tak ingin membiarkanku melanjutkan langkahku. Senyuman manis yang belum pernah kulihat, keteduhan sinar matanya membuatku semakin terpesona ,tapi kucoba untuk menutupi rasa kekagumanku, tak kubiarkan Josh terlalu membanggakan diri. Aku ingat pesan ibuku "seorang gadis harus jual mahal, disanalah letak kehormatannya dan dari sana kita bisa tahu apakah laki-laki itu benar-benar menyayangi kita."

"Mau menjadi periku lagi?" tawarnya, dia mengulurkan tangan padaku dan tersenyum. Sebuah pemikiran mengalir dalam benakku. Apa aku harus menerimanya? Ini sudah cukup sore, aku berjanji kepada ibu untuk sampai di rumah sebelum pukul empat. "kumohon," dia turun dari kudanya, memohon.

Derap-derap suara kaki kuda yang berpacu di jalan tanah berbatu terdengar semakin meramaikan detak jantungku yang tak normal, aku berharap Josh tak mendengarnya. Semilir angin mengibaskan-ngibaskan rambut coklatku. Kulihat dan kuperhatikan punggung Josh, entah kenapa aku suka sekali melihat punggungnya, sesuatu yang menarik untukku tapi tak kuketahui dimana letak yang menarik itu. Aku ingin memeluk punggungnya, bersandar disana.

Perlahan-lahan kami memasuki daerah kebun tebu, tempat kami bertemu kemarin. Beberapa orang yang bekerja di perkebunan memperhatikan kehadiranku bersama Josh dan juga pria berkuda yang sejak tadi berada di belakang kami. Tatapan itu lagi, rasanya mereka semakin tak menyukaiku. Mereka melihatku seolah melihat dua orang muda-mudi pendosa yang kabur dari penjara, tatapan orang suci untuk para kaum terkutuk. Aku alihkan perhatianku ke tempat lain, aku tak mau mempedulikan hal itu. Masa bodoh dengan pemikiran mereka. Ini hidupku dan aku tak melakukan kesalahan apapun yang mengusik mereka.

"Turunlah," Kata Josh, ketika kami sampai di sebuah pondok tempat para pekerja biasa melepas lelah. Josh turun terlebih dulu dan mengulurkan tangan, hendak membantuku. Aku merasa seperti putri dan Josh adalah pangeran yang akan selalu melindungiku. Ah! Seperti inikah rasanya berada di negeri dongeng?

"Kenapa kita kesini?" tanyaku, seraya melihat sekeliling, sedikit bertemu pandang dengan bujang Josh dan tersenyum kepada pria berkulit coklat mengkilap karena diterpa sinar matahari bertahun-tahun, mungkin seumur hidupnya. Dia menunduk, seolah memberi hormat dan ucapan terimakasih atas senyum yang kutujukan kepadanya.

"Aku ingin saja." Jawab Josh, dia melangkah menghampiri pondok dari bambu yang bentuknya nyaris sama dengan pos serdadu Belanda. Dia duduk , menimbulkan suara dari bambu yang dia duduki, aku berdiri di depannya. "Tempat ini nyaman, menurutku. Aku suka sejak pertama kali papa mengajakku kesini,"

"Lalu kenapa kau mengajakku?"

"Kau tidak suka?" sejurus Josh menatapku, dia mengalihkan perhatiannya dari rerimbunan pohon tebu ke wajahku. Sial! Rasanya aku mengucapkan kata-kata yang salah.

"Eh, tidak." Aku masih bingung untuk memilih kata yang mampu menghapus kalimat tadi. "Aku, aku hanya bingung saja kenapa kau mengajakku." Aku berharap kata itu tepat.

Josh tak langsung menjawab, dia melihat lagi ke rumpunan tebu yang bergoyang-goyang tertiup angin. Aku menunduk, kulihat kaki Josh yang panjang, berayun-ayun dan menggesek-gesek tanah lembab di bawahnya. Lalu, aku melihat ke belakang, terlihat pria tadi sedang bercakap-cakap dengan seorang pekerja kebun kopi. Apa maunya Josh? Lama-lama semakin sulit untuk memahaminya, dia terlalu misrerius. Dia baik tapi selalu membuatku kesal karena selalu menjebakku dalam keheningan tak beralasan seperti saat ini.

"Aku hanya ingin," Akhirnya dia membuka mulut juga, aku kembali memperhatikannya yang masih tak melihat ke arahku. "berbagi hal yang menurutku indah dengan orang-orang yang menurutku juga indah."

Demi apa aku harus bersumpah bahwa kalimat yang baru saja diucapkan josh itu lebih indah daripada lantunan piano-piano yang membawakan lagu-lagu Mozart dan Bethoven, lebih merdu daripada suara penyanyi-penyanyi yang sering kudengar dari radio, dan lebih menyejukkan hatiku daripada sepoi angin sore yang menerpa rambutku sekarang, pembawa aroma khas batang tebu dari perkebunan. Josh mengarahkan mata indahnya kepadaku dan ini lagi-lagi membuatku seperti disodori ribuan kuntum bunga tulip, senyumnya merekah dan ini lebih menghangatkanku daripada sinar matahari di musim hujan.

Matarahari telah tenggelam saat Josh telah sampai mengantarkanku hingga depan rumah. Hangatnya sinar matahari digantikan lembutnya cahaya sang rembulan, lentera-lentera di depan rumah warga bergoyang-goyang tertiup angin dan membentuk bayangan besar memanjang dari pepohonan yang tumbuh rimbun di tepi jalan.

"Aku tahu tempat yang lebih indah dari kebun tebu" kataku, ketika aku turun dari kuda josh,. Dia melihatku, pancaran matanya seolah bertanya "dimana itu?"

"Akan kutunjukkan kalau kita bertemu lagi. Terimakasih karena kau sudah mengajakku jalan-jalan hari ini. Oh iya siapa nama si gagah ini?" aku menepuk punggung kuda putih yang sedang ditunggangi Josh.

"Snowfire dan dia betina" jawabnya "akan kutunggu pertemuan kita berikutnya. Tot Ziens!" (Sampai jumpa!) Kemudian Josh sambil menjejakkan tumit ke pijakannya, menarik tali kekang snowfire dan berlalu berlalu meninggalkanku yang masuk ke dalam rumah. Aku tidak terlambat dan aku senang karena aku bisa bertemu Josh, serta tak melanggar janjiku kepada ibu untuk tidak pulang lebih dari pukul empat.

***

Hari berlalu begitu cepat dan aku tak tahu kenapa. Ehm, mungkin karena aku akan bertemu Josh lagi hari ini. Dia menagih janjiku untuk menunjukkan tempat yang kubilang lebih indah daripada kebun tebu yang kami datangi tiga hari yang lalu. Sekarang aku menuggunya di jalan depan sekolahku. Sudah cukup lama aku menunggunya tapi dia lama sekali dan sayangnya aku tak suka menuggu. Untuk mengusir kejenuhan, aku memperhatikan rok warna putih kemerah-merahan yang kupakai. Aku sengaja memakainya agar aku terlihat manis. Kuharap Josh menyukainya.

"Het spijt me," (maaf) sebuah suara mengejutkanku dan membuat jantungku memainkan drumnya lagi. Perlahan aku mengangkat kepala, melihat seseorang yang baru saja menyapaku dari sudut mata. Seperti biasanya, dugaanku benar! Aku memang selalu benar.

Kami, aku dan Josh berjalan beriringan, melewati jalanan setapak dan berbatu. Sebuah jalan sepi yang mendaki. Di kanan dan kiri jalan pohon-pohon cemara berjajar rapi pucuk-pucuknya menjulang tinggi seolah hendak mencakar langit, menggapai awan dan menggeser setiap awan agar sedikit menghalangi sinar matahari yang cukup menyengat siang ini. Aku tidak mau Josh terlihat hitam, aku tidak suka itu! Ha ha ha ! aku tergelak dalam hati.

"Apa tempatnya masih jauh?" Josh mulai bertanya, aku menatapnya sambil terus berjalan. Dia terlihat lelah.

"Mungkin lima menit lagi, kenapa?" aku menelengkan kepala dan dia hanya tersenyum. Tidak menjawab pertanyaan, tapi aku menyukainya, menyukai caranya tersenyum.

Tangga dari batu yang sudah berlumut dan tertutup ilalang serta ranting-ranting pohon yang menjalar, tangga tua menuju ke puncak bukit yang tepat berada di depan mata kami. Aku dan Josh menatap bukit yang menyembunyikan sinar matahari di balik kekokohannya, meneduhkan kami hingga kami tak perlu menyipitkan mata untuk menghindari teriknya mentari sore dari langit sisi barat.

"Ayo!" kuraih tangan Josh yang masih terpaku, kini dia sedikit berada di belakangku. Kusingkirkan ranting-ranting pohon dan ilalang yang menghalangi langkah kami untuk mulai menapakki tangga menuju ke puncak bukit. Setapak demi setapak kami melangkah, penuh kehati-hatian supaya kami tak salah langkah dan jatuh karenanya. Jalan setapak yang tertutup daun-daun serta ranting kering menghalangi kami untuk mengetahui langkah mana yang benar.

Sesekali kuperhatikan Josh yang berjalan begitu rapat di sampingku. Aku suka melihatnya yang terlihat sangat antusias memperhatikan keadaan sekitar kami. Sisi kanan dan kiri jalan yang dipenuhi pepohonan rimbun mulai dari johar, jati sampai pohon minyak kayu putih yang beraroma khas. Seekor kupu-kupu yang hinggap di bunga mawar liar beberapa meter di atas kami mencuri perhatianku. Iseng, akhirnya kuputuskan untuk melangkah lebih cepat daripada Josh yang berjalan dengan begitu perlahan.

Pelan-pelan kudekati kupu-kupu bersayap kuning kemerah-merahan itu, serangga yang satu ini nampak begitu menikmati tempat dia hinggap sekarang.

"Maudy, kau mau apa?" Tanya Josh yang memperhatikanku dari bawah sana, dia berhenti melangkah dan berhenti di pijakkannya sembari memperhatikanku. Sejenak kualihkan pandanganku padanya dan kuberikan isyarat supaya dia tidak berisik dengan meletakkan jari telunjukku di depan bibir. Hati-hati, bahkan napasku kutahan untuk beberapa saat supaya tak terlalu mengusik si kupu-kupu, kujulurkan jari telunjuk dan ibu jariku untuk meraih sayap kupu-kupu itu. Dapat!

"Josh lihat ini!" seruku penuh keceriaan dan rasa puas serta bangga seolah aku baru saja memenangkan sebuah perlombaan. Kutunjukkan kupu-kupu itu kepadah Josh yang justru mengerutkan keningnya.

"Lihat ini cantik sekali," lanjutku seraya berlari-lari kecil menuruni tangga-tangga batu menuju tempat Josh berdiri sekarang.

"Jangan mendekat!" serunya sembari mundur satu langkah. Terkejut melihat reaksinya, aku pu refleks berhenti. Ada apa dengannya?

"Ini kupu-kupu," kataku lagi sambil kembali melangkah dan Josh kini bergeser ke sisi kanan, menjaga jarak dariku yang telah berdiri di sampingnya. Kulihat matanya yang begitu waspada mengamati kupu-kupu yang bergerak-gerak meminta untuk dilepaskan dari tanganku.

"Aku tahu itu, jadi jauhkan dariku, "

"Apa?" kunaikkan sebelah alisku dan membuat kerutan di keningku sendiri.

"Jauhkan," kini dia melangkah ke atas, wajahnya yang berkulit putih itu menunjukkan raut ketakutan. Dia takut kupu-kupu? Apa dunia sudah gila sekarang? Aku tergelak dalam hati setelah menyadari fakta ini.

"Ayo peganglah, dia lucu," aku mulai tertarik untuk menggodanya, kapan lagi aku bisa melakukan hal seperti ini?

"Tidak! Dia akan menggigitmu!" Josh melangkah mundur, naik ke atas dengan posisi badan yang terbalik.

"Dia tidak punya gigi Josh, ayolah!" Kusodorkan kupu-kupu itu padanya dan dia langsung berlari tunggang langgang, kukejar dia yang terus berteriak memintaku untuk berhenti. Entah kekuatan macam apa yang ada di tubuh Josh sampai dia yang sudah kelelahan itu bisa tahan berlari hingga ke puncak bukit, menembus rerimbunan ilalang yang menghalangi langkah kami. Kupu-kupu di tanganku terbang begitu saja di tengah perjalanan.

"Menjauh dariku!" akhirnya dia menggertak, terantuk batu dan jatuh tepat ketika dia sudah sampai di puncak bukit yang berhiaskan rumput-rumput hijau layaknya karpet permadani yang terbentang luas sejauh mataku memandang.

Kudekati Josh yang wajahnya memucat, dia menundukkan kepala, tak mau melihatku. Ketika kulangkahkan kakiku supaya semakin dekat dengannya, dia menyeret tubuhnya ke belakang. Dia benar-benar ketakutan rupanya.

"Josh,"

"Aku bilang menjauh!" Bentaknya lagi, dia mengangkat kepalanya, kulihat wajah kuyunya yang pucat pasi, keringat mengalir dari kening dan membuat kulit putihnya mengkilat membiaskan sinar mentari.

"Kupu-kupunya sudah kubuang," kuangkat kedua tanganku sebagai bukti penegas dari kata-kataku. Dia mulai terlihat tenang, kudekati dia dan jongkok di sampingnya.

"Josh, maafkan aku." Hanya itu yang mampu kuucapkan untuk tindakanku tadi.

"Jangan lakukan ini lagi padaku." Sejurus Josh mengangkat kepalanya dan menatapku. Ketakutan terpancar jelas dari sinar matanya yang redup.

Sinar kemerahan menimpa wajahku dan Josh. Aku dan Josh berdiri menghadap matahari tenggelam. Tangan kami, kami rentangkan, seraya menutup mata aku merasakan hangatnya sinar matahari dan sejuknya angin sore. Aroma cemara dari bawah bukit terbang terbawa angin.

Ini tempat yang sangat nyaman, dan aku bahagia Josh juga menyukai tempat favoritku ini. Bukit di pinggir tempat tinggalku, tempat tinggal kami. Dari tempat ini aku mampu memandang lepas seluruh daerah tempat tinggalku . mulai dari kemegahan gedung kotapraja , rimbunnya hutan jati,hijaunya persawahan, lapangnya kebun tebu serta bangunan rumah penduduk yang terlihat seperti kayu-kayu kotak yang dihamburkan sesuka hati.

"Aku suka disini," kata Josh, kali ini kami duduk di atas hamparan rumput sambil memandang langit sore.

"Aku tahu kau akan suka, karena itu aku mengajakmu kesini."

"Kenapa kau menyukai tempat ini?"

"Karena tempat ini nyaman dan tenang. Kau tahu? Tak ada orang lain selain aku yang berani menginjakkan kaki disini." Josh beralih melihatku dan aku langsung menyambut pandangannya yang seolah berbicara "kenapa"

"Karena mitos hantu."

"Hantu?" Josh seolah tak percaya mendengar jawabanku.apa dia juga takut cerita hantu, hey! Tempat ini tak berhantu.

" Kau takut?"

"Tidak, hanya ada dua hal yang kutakuti, dan itu bukan hantu. " dia kembali menghadap langit, lengannya memeluk lututnya yang dia tekuk, tubuhnya bergoyang-goyang maju-mundur, seolah kami berada di perahu. Aku diam karena tahu dia akan melanjutkan kata-katanya.

"Dua hal yang kutakuti," tebakanku benar bukan, dia kembali berbicara. "Aku takut kehilangan orang-orang yang kusayang dan aku takut pada kematian." Suaranya datar seperti mengomentari kemalangan orang lain yang tak dia kenal, datar sedatar tatapannya yang terarah lurus.

"Aku paling takut pada kematian karena tidak ada seorang pun yang bisa menolong kita meskipun kita memiliki kekuasaan tertinggi di dunia ini. Kita bisa berjaga-jaga dan menyembuhkan penyakit tapi siapa yang bisa menebak kapan kita meninggal dan mampu menghidupkan seseorang yang sudah mati ?"

"Kau benar Josh." Kataku menyetujui setiap alasan yang dikemukakan Josh tentang ketakutannya pada kematian walau aku tak tahu kenapa.

Burung-burung camar terbang rendah di atas danau, menghiasi semburat-semburat kemerahan yang menghiasi cakrawala. Kepakkan sayapnya seolah menyambut petang, membayang bersama angin yang semakin dingin menusuk kulit. Bulan yang pucat keperakan mulai nampak, menunjukkan keanggunannya kepada bumi.

Aku dan Josh perlahan turun, pergi meninggalkan bukit. Hari mulai gelap ketika kami telah melewati jajaran pohon-pohon cemara. Langkah kami tak secepat tadi, entah kenapa Josh menjadi lambat, wajahnya kuyu, dia seperti kelelahan. Sebuah pemikiran terbesit di benakku. Mungkin dia belum pernah berjalan sejauh ini. Sesekali aku bertanya apa dia sakit? Dan mengajaknya untuk beristirahat , tapi dia menolak. Aku tak berani untuk bertanya lagi, kuharap dia baik-baik saja.

"Lain kali kuajak kau ke rumahku. Papa bilang dia rindu kamu. Terimakasih untuk hari ini, Maudy." Ungkap Josh ramah, dia tersenyum padaku ketika kami sudah sampai di depan rumahku, di saat sudah tak ada lagi cahaya matahari di bumi, dan pelita-pelita di depan rumah penduduk menyala menggantikan posisinya sebagai penerang bumi. Aku membalas senyumannya kemudian dia berlalu dengan langkah berat, menyeret kaki , membiarkan sepatunya bergesekkan dengan tanah, membuat suara yang tak nyaman didengar. Terus kutatap dia hingga lenyap dalam gelap malam, kemudian aku masuk ke dalam rumah.

#Aku bakal update cerita ini 2 hari sekali ya. Terimakasih yang sudah membaca :-)

NarnieJanuarycreators' thoughts