webnovel

DIARIES OF HOROR

Kita sebagai makhluk hidup adalah makhluk sosial. Saling membutuhkan dan saling melengkapi. Akan tetapi kita tidak hidup sendirian. Bukan berarti hewan dan tumbuhan bukan termasuk makhluk hidup. Ya, mereka tergolong makhluk hidup juga yang hidup di Bumi. Tetapi, di sini yang di maksudkan bukanlah mereka. Kita hidup berdampingan juga dengan yang tidak kasat mata. Ya, kita mengenalnya dengan bermacam nama. Hantu, Setan, Jin dan lainnya. Setiap wilayah memiliki nama yang berbeda untuk mereka yang tidak kasat mata. Misalnya saja Kuyang. Kuyang adalah hantu kepala yang terbang dengan organ dalam tubuhnya. Sebutan Kuyang ini berasal dari Kalimantan. Berbeda dengan di Bali, di Bali Kuyang disebut dengan nama Leak. Buku ini berisikan cerita-cerita horor yang akan menemani hari-hari kalian menjadi lebih... berwarna.

TRIS_WISNOF · Fantasy
Not enough ratings
296 Chs

Chapter 25# Tangisan Wanita

sebuah mobil sedan jaman dahulu pickup modifikasi tahun 90'an baru saja melintas sepanjang jalan, sopir tak henti-hentinya memandang jalanan berkelok, kiri kanan hanya terlihat pohon tinggi besar dengan kegelapan yg menyelimutinya, semua berjalan lancar sampai terdengar suara gadis menangis

si sopir menghentikan mobil. memandang kernet yg tengah asyik tidur di sampingnya, "Jo, koen iku ojok turu ae, rungokno" (Jo, kamu itu jangan tidur aja, dengerin tuh) "apa toh cak, ra seneng ndelok aku turu tah" (ada apa sih mas, gak suka lihat saya tidur tah)

sopir dan kernet saling memandang sengit, sebelum, rintik suara hujan yg turun tak mengurangi suara syahdu yg membuat dua lelaki itu saling memandang "onok sing nangis cak?" (ada yg nangis mas?) "lha tadi aku wes ngomong, perikso" (kan aku udah bilang, cepat periksa)

Kernet melangkah turun, berbekal senter besar di tangan, ia menuju bak tertutup di belakang pickup, hujan masih turun deras sementara di samping kiri kanan tak di temui seorang manusia satu pun, kendaraan pun tampak sepi, meski di selimuti ngeri namun kernet tetap harus memeriksa

dengan cekatan ia membuka gembok, namun sekejap ia merasakan perasaan merinding berdiri di tempat ini, "asu!! mene nek aku dadi sopir, kernetku bakal tak sikso koyok ngene" (Anj*ng!! besok kalau aku udah jadi sopir, kernetku juga akan aku siksa kaya gini) gerutunya,

suara tangisan itu memang berasal dari bak belakang pickup, tempat si kernet sedang membukanya, tiba-tiba "Piye, sopo sing nangis?" (gimana, siapa yg nangis?) "Jancok! sek ta lah, iki tak perikso" (jancuk, bentar, ini lagi ku periksa) teriaknya melihat si sopir tiba-tiba muncul,

pintu bak terbuka, si kernet mengarahkan senter ke dalam, di lihatnya pemandangan itu, mencari-cari sampai berhenti di satu titik, si sopir dan si kernet saling memandang, melihat seorang gadis kecil menangis di antara gadis-gadis kecil lain yg tengah terlelap dalam obat tidurnya

"halo" kata si kernet, "sini.. kenapa nangis, takut ya, sama om aja ya" si gadis menatap dua lelaki di luar mobil bak, ia masih diam memandang bingung, "namanya siapa, nanti om kasih permen" "Maria" ucapnya polos, si kernet tak menyerah, "Maria kalau takut sini.." bujuknya,

"kesuwen jo" (kelamaan jo) kata si sopir tak sabar, ia melangkah masuk sebelum mengambil sapu tangan di saku, menekan hidung si gadis, tangannya mengelepar berusaha melawan namun perbedaan kekuatan membuat si gadis tak berdaya, ia akhirnya terjatuh, terlelap dalam mimpi buruknya

si sopir melangkah keluar sembari menatap tajam rekannya, "Goblok, mene nek kerjo sing bener!!"(bodoh!! besok kalau kerja yg bener!!) "Lah bos, aku wes nuruti lambemu, wes tak" (Lah bos, saya sudah nuruti mulutmu sudah tak) belum selesai bicara, si sopir berteriak "taek!! masuk"

si sopir dan kernet masuk kembali ke dalam mobil setelah menutup bak belakang, mobil kembali melaju tenang, tanpa mereka sadari, di antara anak-anak itu ada satu yg masih terjaga, ia tahu apa yg terjadi bila ia menunjukkan dirinya dalam kondisi terjaga kemana mereka di bawa

mobil berhenti di sebuah jalan setapak, sudah berkali-kali mereka bertemu dengannya namun tempat pertemuan selalu berubah-ubah, si kernet menatap si sopir, "cak, wes iki terakhir ae, ojok urusan ambek menungso model ngunu, sampeyan gak eroh arek iki bakal di apakno kan"

(mas, sudahi saja, jangan berurusan sama manusia kaya gini, kamu gak tau kan mau di apakan anak-anak ini) "menengo, aku gak ngurus soal iku, sing penting duwike akeh" (diam saja, aku gak peduli soal itu, yg penting duitnya banyak) tak beberapa lama, terlihat seseorang muncul

ia mendekati mereka dengan kereta kuda, di atasnya ada seorang lelaki tua yg mengenakan penutup kepala, dia yg sudah di tunggu oleh mereka, "wes, siapno arek-arek iku, tangane juragan wes teko" (sudah siapkan anak-anak, tangan kanannya sudah datang)

lelaki tua itu turun, memandang si sopir tajam sebelum pandangannya beralih pada mobil tua itu, "rongsokan ngene buaken ae" (benda rongsokan gini, buang saja!!) katanya, si sopir hanya mengangguk, sembari menyesap rokok, "Aman kirimane" (kirimannya aman) si sopir mengangguk lagi,

tiba-tiba entah ada apa, di tengah hujan turun, si lelaki tua itu seperti mencium sesuatu sebelum memandang tajam si sopir, "aku gak butuh cah lanang goblok!!" (aku tidak butuh anak lelaki bodoh!!) si sopir tampak bingung, "maksude piye to mbah?" (maksudnya bagaimana mbah)

saat itulah mereka menuju tempat si kernet berada, di sana, lelaki tua itu masuk sebelum menarik rambut panjang salah satu anak yg tengah pura-pura tidur, anak lelaki itu merintih kesakitan, "iki opo gak arek lanang?" (apa ini bukan anak lelaki?) kedua orang itu bingung,

"sak iki berarti sing mok gowo mek enem" (ini berarti yg kalian bawa cuma enam) dua orang itu saling berbisik, "iku yo opo ceritane arek lanang kok isok mok gowo" (itu gimana ceritanya kok bisa bisanya anak lelaki yg kau bawa) "rambute dowo e bos, tak pikir yo wedok"

(rambutnya panjang bos, ya aku kira perempuan) si sopir tampak geram sembari memasang wajah sengit, "teros gak mok perikso nduwe perkutut ta gak?" (terus gak kamu periksa lebih dulu, dia punya perkutut atau tidak?) si kernet tampak bingung, "ora bos, waktune mepet soale"

"ngeten mawon mbah" ucap si sopir, "peyan bayar piro ae, kulo purun" (anda bayar berapa saja, saya terima) si mbah menatap tajam sebelum tersenyum licik, "teros, cah lanang iki gawe opo?" (lalu, si anak lelaki ini buat apa?) si sopir terdiam sebelum mengambil parang di mobil

si sopir mendekati anak lelaki itu, menjambak rambutnya sebelum menghunus parang tepat di tenggorokan, si kernet membuang muka, ia tak tega melihat pemandangan itu sementara si lelaki tua mengamatinya tampak seperti menikmatinya hujan turun semakin deras,

"hop" (berhenti) kata si lelaki tua, "wes tak ramute cah iki, mene bakal dadi ajengku" (sudah biar aku rawat anak ini biar jadi penerusku) si sopir mengurungkan niatnya menatap si lelaki tua, "gowoen kabeh cah iku nang keretoku, wulan ngarep kudu jangkep, aku moh koyok ngene"

(bawa semua anak itu ke keretaku, bulan depan harus lengkap tujuh, aku tidak mau seperti ini lagi) si sopir mengangguk takut, mereka segera mengangkat satu persatu anak perempuan, sementara anak lelaki itu tertunduk lemas, gemetar, si lelaki mendekati, "siapa namamu?" "Agus"

kereta kuda mulai berjalan di atas tanah berlumpur meningalkan dua lelaki yg hanya diam tak berkomentar, mereka menatap anak lelaki yg kini bersanding di samping lelaki tua itu, "sak iki, tak kenalno kowe ambek tuan Codro" (sekarang akan ku kenalkan kamu dengan tuan Codro)

kereta kuda berhenti, si lelaki tua turun sebelum menggandeng Agus kecil tak beberapa lama, orang-orang lain yg mengenakan pakaian putih mendekat mengangkat satu per satu gadis kecil dari kereta kuda, agus kecil hanya bisa mengamatinya tanpa tahu kemana anak-anak itu akan di bawa

"wes bengi, turu yo le, mene baru tak duduhi cara urip nang omah iki" (sudah malam nak, tidur ya, besok saya ajarin cara hidup di rumah ini) pintu tertutup, si lelaki tua itu pergi, sementara Agus menatap seorang wanita berambut panjang tengah mengamatinya dari langit- rumah

pagi sudah datang, si lelaki tua mendatanginya kembali, Agus menceritakan semuanya, namun si lelaki tua itu tertawa, "iku jenenge jagrang, gak popo, mek ngetok tok ora bakal mangan awakmu" (itu namanya jagrang, gak papa, hanya menampakkan diri, gak akan memakanmu)

lelaki tua itu memperkenalkan dirinya, "jenengku mbah Ratno, celuk ae mbah kakung, aku iki mek abdi daleme tuan Codro, kerjoku mek ngurus jaran" (namaku mbah Ratno, panggil aja mbah kakung, aku hanya abdi dalam tuan Codro, kerjaku cuma ngurus kuda)

mbah Ratno tertawa, bercerita banyak hal kepada Agus kecil, tentang rumah ini, tentang siapa saja abdi dalam lain, hingga sampai ke titik terakhir yg membuat Agus kecil penasaran, "nek bengi, ojok metu teko kamar yo le, soale.. onok Rinjani"

(kalau malam, jangan keluar kamar ya nak, karena ada Rinjani) Agus kecil yg masih sulit untuk bicara tak berani bertanya, wajah mbah Ratno tampak ngeri saat mengatakannya, tiba-tiba terdengar suara tawa anak perempuan, Agus keluar dari kamar, di lihatnya anak-anak itu bermain

Agus ikut berbaur, berlarian kecil bersama anak-anak perempuan lain, namun Agus kecil merasa janggal pasalnya ketika ia dan anak lain bermain semua lelaki dewasa yg mengenakan pakaian putih dengan penutup kepala, mengawasi mereka meskipun tersenyum namun Agus tetap merasa aneh,

suara itu parau, nyaris seperti suara yg tengah sekarat, bila di dengarkan dengan telinga, membuat Agus begidik ngeri namun tak hanya dirinya, semua jagrang lenyap, pergi, sejujurnya Agus pernah hampir keluar dari kamar, sebelum ia merasa suara itu begitu dekat, mendekatinya

namun Agus perlahan melupakan perasaannya yg janggal ketika melihat seorang perempuan yg ia kenal, Agus mendekatinya, "la wes tak omongi ojok nangis" (kan sudah ku bilang, jangan nangis) kata Agus, perempuan itu menoleh ia berdiri menatap Agus, "Agus" katanya lirih,

Maria dan Agus bermain hampir seharian, semua berakhir ketika lelaki-lelaki yg menjaga mereka mengatakan hari hampir gelap, Agus di jemput oleh mbah Ratno, tak ada yg aneh di rumah ini sampai-sampai Agus sendiri lupa bila dia punya rumah sendiri, tapi, ketika malam, rumah ini..

seperti menyimpan kengeriannya sendiri, seperti ada sesuatu yg hidup di kegelapan dan baru keluar ketika malam datang, Agus meringkuk di dalam selimut, ia mendengar suara wanita tertawa cekikikan dari luar ruangan, terkadang mereka ikut masuk, melotot menatap Agus sendirian

tak hanya satu, namun banyak sekali makhluk seperti itu di sini, mereka melayang, kadang hanya mengintip dari celah almari, dari langit-langit, dan semakin Agus takut, mereka semakin senang, namun, suatu ketika, Agus pernah melihat mereka ketakutan saat suara itu datang,