webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

11. Tak Cintakah Kau Padaku?

Azan baru saja berakhir, Ghina berniat hendak ke kamar mandi. Namun, deru mobil di luar rumah membuat langkahnya terhenti. Wanita itu segera berlari menuju pintu depan untuk menyambut kedatangan suami tercinta.

Dengan senyuman yang merekah, make up tipis yang dipoles di wajah, Ghina tampak sempurna dalam balutan gamis berwarna cream.

Segera ia membuka pintu, dan mendapati Sakha berjalan menuju ke dalam rumah.

Tepat di pintu masuk, mereka saling melempar pandang. Setelah menyunggingkan senyuman seindah pelangi, Ghina menunduk dalam.

Rasa malu kembali menghampiri, mengingat kejadian semalam yang begitu mengesankan.

"Assalamualaikum, Sayang."

Salam Sakha mengangkat kembali wajah yang tertunduk itu.

"Waalaikum salam, Mas," jawab sang istri seraya meraih tas di tangan Sakha dan menciumi punggung tangan suaminya itu.

Dengan manja ia menjatuhkan kepalanya ke dalam dada sang suami, lalu mengaitkan kedua tangan melingkari pinggang lelaki itu. Sakha tersenyum sambil mengelus pelan punggung sang istri.

"Kenapa?" tanyanya seperti membaca sesuatu yang berbeda dari wanitanya.

Ghina hanya menggeleng, ingin jujur tentang rasa rindunya yang tak lagi tertakar. Namun, selalu diliputi rasa malu.

Harusnya rasa yang sama pun tengah meliputi diri Sakha, akan tetapi masalah yang menimpa membuat lelaki itu kehilangan kepekaan bahkan pada dirinya sendiri.

"Mama sama Papa udah pulang?"

Ghina menghela napas, sedikit kecewa karena Sakha terlihat cuek dan tak menanyakan kabarnya, justru menanyakan hal lain.

"Iya Mas, tadi sebelum dhuhur mereka sampai rumah," ucapnya merengut sambil melepas pelukan.

"Kamu kenapa, kok tiba-tiba jutek?"

Ghina tak menjawab hanya meneruskan langkah dengan cepat.

"Ghin ... kenapa sih?"

Di depan tangga Sakha berhasil meraih tangan Ghina.

"Ada apa sih, tadi sambutannya luar biasa, tapi mendadak kok berubah gini?"

Tubuh Ghina dibalikkan oleh Sakha hingga berhadapan dengannya. Namun, wanita itu masih menunduk dengan tetap mengunci mulut.

Sejenak hening, Ghina yang merasa Sakha tak peka pada perasaannya semakin merajuk. Dibalikkan tubuhnya hendak mengangkat kaki menaiki gundakan tangga pertama, tapi Sakha kembali berhasil mencegahnya.

Dengan segenap kekuatan, lelaki itu mengangkat tubuh semampai sang istri dengan kedua tangan. Ghina terlonjak kaget.

"Eh, Mas mau ngapain."

"Mau ke atas."

"Tapi Ghina dilepas dulu, Mas. Ada Mama sama Papa di kamar."

"Ah, biarin. Mereka juga pernah begini."

"Ya tapi Ghina malu Mas.

"Udah diem. Atau mau, mas bekap mulut kamu pakai ini?"

Sakha memajukan bibirnya, memberi isyarat. Sedang Ghina tersenyum, detik berikutnya kedua tangan wanita itu melingkari pundak sang suami.

"Kangen, ya?" lirih Sakha membuat gelanyar aneh kembali merajai hati Ghina.

Ia tak menjawab, hanya kedua tangan yang semakin erat menggenggam menjadi bukti untuk menjawab pertanyaan tersebut.

Mereka tersenyum sambil sesekali saling memandang. Sekian anak tangga terlewati, ketika menaiki gundakan terakhir, lelaki itu menghela napas berat.

"Ah ... nggak kuat lagi."

"Dikit lagi, Mas. Tanggung."

Ghina menyemangati. Sakha kembali mengumpulkan kekuatan, ia berjalan hingga sampai di dalam kamar. Tepat di depan ranjang ia menjatuhkan tubuh sang istri dengan perlahan.

"Akhirnya sukses!" ucapnya sambil ikut berbaring di sisi Ghina.

Menyadari lelaki itu ikut berbaring, Ghina berusaha bangkit ke posisi duduk tapi usahanya lagi-lagi dicegah oleh Sakha.

"Bayar dulu, Ghin?"

Belum selesai Ghina menjawab, lelaki itu terlebih dahulu membawa kembali sang istri bersatu di dadanya. Lalu dengan cepat ia menyatukan bibirnya pada bibir sang istri.

.

.

.

"Ini bayarannya," ucap lelaki itu setelah mengurai kecupan.

Ghina menatap sekilas bola mata kecoklatan itu untuk kemudian menundukkan pandangan tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Lebur sudah rindu yang sedari tadi membekap jiwanya.

'Sungguh kaulah purnama yang selalu kurindui, Mas.'

Iqamah yang berkumandang, membuat dekapan keduanya saling terlepas.

"Mandi dan shalat dulu, Mas."

Sakha menyugar rambut, membiarkan wanita itu bangkit dan bergerak ke depan meja rias. Ia menggeliat seraya membangkitkan tubuhnya yang terasa lelah.

"Ini diminum dulu. Biar lelahnya berkurang."

Sakha tersenyum sambil meneguk habis air dalam gelas. Ia pandangi sang istri yang berlalu terlebih dahulu ke kamar mandi.

'Bersamamu hanya ada bahagia. Andai kamulah wanita yang Mas cintai pertama kali, pasti kita akan menjadi pasangan yang berbahagia saat ini.' lirih batinnya sendu.

***

Usai makan malam, panjang lebar nasehat mengalir buat Sakha. Dari siapa lagi, jika bukan dari mamanya sendiri. Ghina hanya menunduk, ikut mendengar dan mengingat. Karena tiap kesalahan yang Sakha perbuat, akan diberi sangsi oleh sang ibu dikemudian hari.

Selesai mendapat siraman rohani, mama dan papa Sakha pamit ke kamar, tinggallah di ruangan itu mereka berdua.

Sakha menarik tangan Ghina agar mereka juga meluncur ke kamar. Sesuatu seperti menyentak dada wanita itu. Sekilas terbayang bagaimana mereka menghabiskan malam kemarin dengan begitu syahdu. Apakah genggaman ini, juga berarti sama. Malam inipun akan terlalui dengan keindahan serupa?

Ghina tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Sampai di kamar, Sakha mendudukkan Ghina di atas ranjang. Lalu lelaki itupun ikut duduk di hadapan sang istri.

"Ghina ...."

"Iya, Mas."

"Mas mau bertanya sesuatu?"

"Silahkan, Mas."

Sakha terlihat menarik napas.

"Apa kamu-apa kamu, mencintai Mas, Ghin?"

Ghina terhenyak, merasa aneh tiba-tiba ditanyai tentang cinta. Ia harus jawab apa? Bohong jika ia bilang tidak, tapi terlalu polos jika ia jawab iya. Bukankah pernikahan ini terjadi bukan atas dasar cinta?

Ia harus tahu bagaimana perasaan Sakha padanya, baru setelah itu kejujuran akan keluar dari mulutnya.

"Kalau Mas sendiri?"

Sakha bergeming sejenak.

"Mas bingung sama perasaan Mas sendiri? Mas nyaman sama kamu, Ghin. Tapi Mas punya tanggung jawab sama wanita lain."

Ghina merasa darahnya mendidih, sesak dadanya mendengar jawaban itu. Jelas sudah, dirinya tetap hanya akan menjadi pelarian.

'Ternyata keindahan semalam tak cukup menjadi alasan merubah perasaanmu padanaku. Ah, rupanya aku terlalu besar hati, hingga menyangka telah mendapatkan hatimu seutuhnya.'

Ghina tertunduk tak berdaya, rasa cemburu dan kecewa memenuhi seluruh dada. Anggapannya kini berubah, tentu takkan pernah ada cinta, bukankah Sakha mendekatinya sebab terhasrat pada wanita lain?

'Dasar bodoh! Begitu cepatnya aku tertipu!'

Ghina berusaha bangkit. Tapi Sakha kembali menahan.

"Apa yang kita lakukan semalam--"

"Lupakan aja Mas apa yang sudah kita lakukan semalam. Bukankah kamu melakukannya sebab terhasrat pada Mbak Ryanti?"

"Bukan begitu Ghin."

"Sudah Mas, Ghina capek. Ghina mau shalat terus tidur."

Sakha hanya menghela napas, lalu dengan berat melepas genggaman tangannya. Membiarkan wanita yang sejujurnya sudah mulai menghiasi hatinya itu untuk pergi menjauh.

Sesal memenuhi dada, tak tahu vmbagaimana cara mengambil sikap. Jika ia memilih tetap bersama Ghina, maka Ryanti akan menjadi taruhannya.

Jiwa lelaki itu bergejolak hebat. Tapi ia juga tak ingin kehilangan Ghina. Sakha terlanjur jatuh cinta padanya.

'Ya Tuhan ...!"

Sakha merahup wajah kasar, lalu bangkit menuju kamar mandi. Sudah lima belas menit Ghina di ruangan itu dan tak jua keluar.

"Ghin ...."

Sakha mengetuk pintu kamar mandi, perasaannya kacau.

Ghina tak bergeming, panggilannya pun tak dijawab. Hanya kran air terdengar dibiarkan terus mengalir.

"Mas mencintaimu, Ghin," lirihnya sangat pelan.

Tak ada sahutan. Sudah barang tentu ucapan Sakha terkalahkan oleh derasnya kucuran air yang sengaja dibiarkan terus mengalir oleh Ghina.

*

Sedang di dalam kamar mandi.

"Harusnya aku tak perlu menangis, bukankah ini sudah ada dalam prediksiku Allah? Sampai kapanpun, dia takkan pernah kumiliki. Aku hanya pengantin penggantinya, yang harus siap mundur jika suatu ketika penganti sesungguhnya kembali. Tapi mengapa rasa ini amat menyesakkan?'

***