webnovel

Dear, Mantan Musuh

Perhelatan perkawinan Sakha hanya tinggal menunggu hari, tapi mendadak pengantin sang lelaki hilang tanpa kabar. Sakha begitu terpukul, ia bahkan berencana menyewa seorang wanita bayaran untuk menggantikan mempelai wanitanya yang telah menghilang. Di sisi lain, kedua orang tua Sakha menolak. Dan malah meminta Ghina, adik angkat Sakha untuk menjadi pengantin pengganti. Ghina tak mampu menolak, hingga ia menerima dengan mencari cara agar mampu mengikhlaskan. Jika semasa kecil, Sakha teramat membenci Ghina. Maka setelah menikah, Ghina berjanji akan membuat Sakha mencintainya. Apapun akan ia lakukan termasuk menyingkirkan pengantin Sakha yang belakangan kembali hadir mengusik rumah tangga mereka. Mampukah Ghina maraih cinta Sakha, ataukah ia harus mengikhlaskan sang suami kembali ke hati mantannya. "Aku tak pernah menyangka, ternyata kita dipertemukan dalam satu rumah tangga. Apa yang akan kamu lakukan padaku setelah kita resmi menikah, bukankah kamu sangat membenciku. Kamu pernah bilang, kalau aku ini jelek, bukan tipemu. Dilihat dari sudut pandang manapun, aku tetap jelek. Kamu juga yang pernah menyumpahi, tak ada lelaki manapun yang akan menikahi pengkhianat sepertiku hanya karena aku memergokimu berduaan di ruang tamu dengan teman perempuan sekelasmu. Sekarang kau harus memakan sumpahmu, pasti pernikahan ini akan membuatmu atau aku berada pada penderitaan yang tak berkesudahan. Aku harus menyalahkan siapa?"

Wahyuni_3924 · Urban
Not enough ratings
18 Chs

Dia Yang Telah Menyatu Dengan Jiwa

Dengan tergopoh Sakha mengangkat tubuh Ryanti yang sudah berkumur darah. Ia ikat pergelangan itu dengan kain apa saja yang ia temukan di dekat meja dapur. Lalu secepat kilat membawa sang gadis menuju pelayanan kesehatan terdekat.

"Bertahanlah Ryanti, kita ke rumah sakit, ya," lirihnya dengan terengah-engah.

Tak ada yang bisa menggambarkan perasaannya kini, takut jika terjadi sesuatu pada Ryanti juga menyesal karena sudah berterus terang hingga membuat wanita itu cemburu, dan berniat mengakhiri hidup dengan cara bunuh diri.

"Arghhh!" batinnya menjerit kuat.

Entah mengapa, Sakha merasa yang paling bertanggung jawab jika terjadi sesuatu pada hidup Ryanti. Sebab karena ialah wanita itu sekarang berada di sini. Tak seharusnya ia ingin melupakan dan justru hendak berterus terang tentang keinginannya bertahan di sisi Ghina.

'Bukankah di awal pernikahannya, Ghina sendiri yang membuat kesepakatan bahwa pernikahan ini hanya akan bertahan satu bulan. Kenapa hanya karena gadis itu bersedia menyerahkan dirinya, lantas aku besar hati dan merasa dia akan selamanya bisa kumiliki. Sial! Otakku sudah tercemar!'

Ingin Sakha menghilangkan semua ingatan akan apa yang sudah terjadi bersama Ghina. Namun, bayang wajah gadis itu, desah suaranya, lembut perlakuannya, sungguh di hati Sakha ia bak senja hari yang candu untuk dinikmati kembali.

Jika di awal ia hanya menganggap Ghina pelarian, dan memang ia mendekati gadis itu tersebab terhasrat akan Ryanti. Tapi, persatuan itu telah mengunci hatinya.

Sakha telah jatuh cinta pada sentuhan pertamanya bersama Ghina. Lalu bagaimana dengan Ryanti?

Sakha kembali melirik gsdis yang sudah ia baringkan di kursi belakang.

"Maafkan Mas, Ryanti."

*

Perlahan, gadis itu mulai membukakan kedua matanya. Setelah mendapatkan penanganan cepat pada luka sayatan, Ryanti kembali berangsur membaik. Bersyukur tindakan bunuh diri yang dilakukan Ryanti tak sampai memotong seluruh urat nadinya. Sehingga ia bisa segera sadarkan diri, satu jam setelah proses operasi dilangsungkan.

Gadis itu melirik seluruh ruangan, mencari keberadaan lelaki yang menjadi sebab terputus pergelangan tangannya.

Dilihatnya Yudhi duduk sambil menelpon seseorang.

[Ghin, Mas minta maaf. Mas nggak bisa pulang cepat.]

[Kenapa Mas, ada masalah?]

Sakha terdiam, berat untuk jujur jika ia sedang menemani Ryanti di rumah sakit. Demi apapun, kini ia sangat ingin menjaga hati wanita yang sudah sah lahir bathin untuknya.

[Nanti Mas cerita jika kita sudah bertemu, ya.]

[Yasudah, Mas jaga diri ya. Jangan telat shalat dan makan siangnya.]

Sakha terdiam, rindu akan wanita itu perlahan mulai merajai hati. Sejenak matanya terpejam, tak percaya jika telah melepas perjaka untuk seorang adik angkat yang dulu amat ia benci.

[Ghin ....]

[Iya, Mas]

Sakha menghela napas. Ingin ia mengucapkan kata manis, layaknya pasangan lain yang baru selesai mereguk indahnya bulan madu. Tapi rasa khawatir akan keadaan Ryanti menuntun mulutnya untuk terdiam.

[Maaf, ya]

Sakha menghela napas, yang ingin diucapkan lain, yang keluar dari mulutnya lain. Sungguh, ternyata ini yang dinamakan cinta bisa membolak-balikkan hati.

[Iya, Masku, Sayang.]

Keduanya terdiam sejenak, detik berikut tertawa bersama.

[Kenapa ketawa?]

Sakha bertanya setelah keduanya kembali terdiam.

[Maaf Ghina kelepasan ngomong. Terdengar lucu, ya?]

[Nggak lucu.]

[Tapi dulu--]

[Dulu jangan diungkit lagi, sekarang kita suami istri.]

Ucapan Sakha membuat khayalan Ghina melambung tinggi.

[Iya]

[Yauda, Mas tutup ya telponnya.]

Ghina terdiam, masih ingin mendengar suara lelaki itu. Tapi ia sadar, tak sepantasnya terlalu melambungkan asa. Bukankah semua hanya akan bertahan sebulan?

[Ya, Mas. Assalamualaikum.]

[Waalaikum salam.]

Pandangan wanita itu nanar menatap ke luar jendela. Ia membuang bagian hatinya yang rapuh, lalu membiarkan bagian lainnya menyeruak hingga tak tersisa lagi kesempatan untuk bersedih.

Ghina mengulum senyum di ujung sana. Ingin ia meminta agar Sakha tak menutup telpon, tapi rasanya enggan. Ingin mengungkapkan rasa rindunya yang terdalam, tapi ia malu. Kembali membayangkan jika telah melepas keperawanan untuk seorang Sakha,

Abang angkatnya dulu yang teramat ia benci. Tapi kini menjadi yang teramat ia cintai. Benar adanya, seorang wanita akan sangat mencintai lelaki pertama yang menyentuhnya. Bersyukur Ghina tak pernah tersentuh oleh lelaki manapun selain Sakha. Dan kini gadis itu semakin yakin.

Deg!

'Aku tidak ingin melepaskanmu pada siapapun, Mas.'

Ghina memejamkan matanya, membekap erat bantal yang sudah ada dalam genggamannya

Seolah yang dirindui ada dalam dekapan.

"Eh, jelek, siapa sih kamu!"

Wanita itu berbicara sendiri dengan bantal, membayangkan yang di hadapan adalah Sakha.

"Awas kalau kamu berani pergi, setelah mendapatkan apa yang paling berharga dariku. Akan aku kutuk kau jadi kodok! Hihi ...."

Dia berguling-guling kegirangan.

"Mas ... kamu rindu nggak sih sama adik angkatmu ini?"

Ia kembali bertanya pada udara yang lewat. Menyesapi rindu yang menggebu hingga tak terasa matanya basah. Membuat gerakannya pun ikut terhenti.

"Jangan pernah memintaku untuk pergi, Mas. Aku ingin selamanya di sisimu."

Jika tadi ia tersenyum bahagia, kini ia menangis.

*

Setelah menutup telpon, Sakha berbalik dan hendak merebahkan diri di atas sofa, tapi semua urung ia lakukan, kesadaran Ryanti kini menjadi fokus utama.

Sedang dalam posisinya, kedua netra Rianty tampak berkaca-kaca. Melihat lelaki itu, rasa sakit karena merasa telah diduakan kembali muncul.

"Alhamdulillah, kamu sudah sadarkan diri."

Ryanti membuang wajah, membuat Sakha menghela napas beberapa kali.

"Kamu tahu bunuh diri adalah dosa besar?" cecar Sakha melihat keacuhan Ryanti.

"Saya lebih baik mati berdosa daripada hidup menanggung pengkhianatan seorang kekasih."

Sakha merasa tertampar dengan ucapan itu.

"Ceraikan dia, Mas. Lalu kembalilah padaku."

Sakha terdiam. Tubuhnya seolah ditimpa berton-ton batu besar, sulit sekali untuknya bernapas. Permintaan Ryanti, membuat jantung lelaki itu melemah.

"Jika Mas tidak mau menceraikannya, maka jangan pernah berharap lagi bisa melihatku. Aku akan lenyap dari bumi ini," ancam wanita itu, yang semakin membuat Sakha sulit untuk memilih.

"Pergi Mas, selesaikan urusanmu dengan perempuan itu. Lalu kembalilah padaku dalam keadaan sudah tak lagi berikatan apapun dengannya."

"Ryanti, apa kamu tidak bisa ber--"

"Jangan katakan apapun lagi, Mas. Keluar kamu!"

Sakha menghela napas. Dengan berat ia mengangkat langkahnya.

"Kamu ingin Mas pergi 'kan?"

Ryanti terdiam, sesengukan. Melihatnya begitu, Sakha urung melangkah pergi, dengan perasaan tak menentu ia kembali mendekati sang wanita.

"Aku bukan ingin Mas pergi selamanya. Tapi pergi mengakhiri urusan dengan wanita itu. Lalu Mas kembali padaku."

Ucapan wanita itu kini terdengar pilu.

Sakha tak tahu harus menjawab apa, ia hanya bisa membawa gadis itu dalam dekapannya. Bagaimanapun jua, Ryanti masih memegang sedikit bagian hatinya.

'Maafkan Mas Ghin.'

Kini ia justru teramat merasa bersalah pada Ghina.

Dalam hidup manusia memiliki dua kesempatan untuk memilih, melakukan atau tidak. Memiliki atau melepas. Mencintai atau membenci. Sederhana dan mudah. Yang sulit adalah menentukan pilihan. Dan saat ini, Sakha benar-benar diliputi kebimbangan, cinta dan ambisi menuntutnya untuk bersama Ryanti. Namun tanggung jawab membawa ia ingin kembali ke sisi wanita halalnya.

***

Ghina baru saja selesai memasak di dapur. Ayah dan ibu mertua baru saja sampai dari rumah sakit. Wanita itu ingin menyambut keduanya dengan berbagai masakan istimewa seperti yang dulu kerap ia sediakan saat masih tinggal di rumah itu.

Tanpa kehadiran Sakha, Ghina dan mertuanya menyantap makan siang yang begitu istimewa.

"Sebenarnya Sakha kemana, Ghin?"

Ibu mertua mengawali perbincangan sesaat setelah mengusap mulutnya dengan sehelai tissu.

"Katanya ada urusan kantor, Ma."

"Uh, selalu sibuk. Padahal baru nikah, harusnya cuti biar bisa liburan. Apalagi sekarang Mama dan Papa sudah pulang ke rumah," keluh wanita itu penuh iba. Seakan ia tahu apa yang terjadi dalam rumah tangga anak mantunya.

"Nggak papa, Ma. Kasihan jika Mas Sakha cuti, soalnya lagi ada proyek besar katanya."

"Emm ya deh. Kamu yang sabar ya, Ghin. Jika Sakha macam-macam, kamu tinggal lapor sama Mama, ya."

"Ya, Ma."

Makan siang hari itu ditutup dengan resah yang mendiami dada. Ia tak ingin berprasangka buruk, meski kadang bisikan itu terdengar jelas. Bisikan yang membuat dadanya naik turun menahan cemburu. Sesekali bahkan ia terlanjur membayangkan bagaimana jika Sakha sedang berdua dengan wanita itu. Apakah mereka melakukan hal-hal yang dilarang syariat? Terlebih setelah mereka melalui satu malam yang indah berdua, apakah Sakha pernah mencuranginya. melakukan selain dengannya.

"Ya Allah, jagalah hati dan pikiran ini. Buanglah prasangka buruk yang kerap melintas untuknya. Jagalah ia selalu ...."

Ghina menatap ponsel, harapannya, satu saja panggilan masuk dari Sakha. Tapi ...

"Pulanglah, Mas. Aku rindu ...."

***

Bersambung