webnovel

Cinta Yang Tersesat

Pernah merasa bagaimana sesaknya menyimpan rasa terpendam? Itulah yang dirasakan Erfian Satria atau biasa dipanggil Satria, anak kelas 2 SMA yang memiliki perasaan terpendam pada ketua OSIS, Arin Siskawati yang merupakan primadona di sekolahnya. Ingin mengungkapkan perasaan secara langsung tapi...tidak berani. Alhasil? Erfian memilih mengirim pesan lewat ponselnya. Sayangnya takdir memang nakal. Pesannya terkirim bukan ke pujaan hatinya! Melainkan ke Risa Ayu Widya, teman sekelasnya yang terkenal tomboi dan pemarah. Berawal dari salah kirim, berujung salah paham. Bagaimana bisa kau mengatakan kebenaran yang menyakitkan kepada orang yang menyukaimu? Apakah Erfian dapat jujur pada Risa dan mungkinkah benih" cinta muncul diantara keduanya?

NightDragonfly · History
Not enough ratings
30 Chs

Masalah

Ivan berdiri tepat di hadapanku dan memandang rendah diriku.

Ya, aku tahu bahwa aku tidak terlalu tinggi, tapi perlukah untuk memandang seseorang dengan cara seperti itu?

"Sebaiknya kalian segera hentikan perbuatan kalian ini. Kalau enggak, akan aku laporkan pada Guru nanti!"

Aku berusaha mengancam seperti itu, dengan harapan Ivan dan kelompoknya berjalan sesuai dengan yang aku harapkan.

Tapi… Ivan justru tertawa keras, "Gahaha, Hei! Bocah miskin, silakan lakukan itu, tapi jangan harap kau bisa selamat setelah ini. Teman-teman, hajar dia"

Menuruti perintah Ivan, salah satu temannya menahan tubuhku agar tidak bisa melawan, lalu mereka mulai memberikan pukulan keras di wajah dan tubuhku. Pipiku sedikit sakit dan terasa nyeri, mungkin ini akan meninggalkan luka lebam.

Aku berusaha melepaskan diri, tapi aku tidak berhasil karena kalah dalam hal kekuatan. Rasa sakit menjalar dari otot, tulang, hingga sampai ke otakku. Ini benar-benar sakit.

Setelah aku cukup lemas, tubuhku dijatuhkan ke lantai dan mulai ditendang oleh mereka.

Aku tidak tahu berapa lama ini telah berlangsung, yang jelas mereka berhenti ketika bel masuk berbunyi. Sementara itu, aku mulai kehilangan kesadaran.

Ivan berjalan pergi bersama ketiga temannya ketika bel masuk berbunyi. Tapi mereka tidak berjalan menuju kelas, melainkan tembok pembatas sekolah yang memiliki tinggi dua setengah meter.

Ivan menendang tong sampah yang berada di dekat tembok dengan kesal, "Sialan! Gara-gara bocah miskin itu ikut campur, mangsa kita jadi kabur"

"Bos, gimana jika guru tau kalau kita yang memukuli Satria, kita bisa dihukum"

Ivan memandang temannya dengan marah. Lebih tepatnya, mereka seperti bos dan anak buah.

"Halah, pengecut lu. Gitu aja takut, palingan juga cuma disuruh hormat pada bendera. Kalau Bocah miskin itu sampai berani lapor, kita bisa berbuat lebih biar dia gak banyak tingkah"

Benar, Ivan adalah orang seperti itu. Dia tidak akan ragu untuk menyingkirkan orang yang menghalangi tujuannya. Meskipun dengan cara kekerasan sekalipun.

"Yang lebih penting, ke mana perginya Babi gendut itu? Dia masih belum memberi kita uangnya"

"Bos tenang saja, cewek itu gak akan berani lapor atau cari bantuan. Dia memang anak orang kaya, tapi dia gak punya keberanian untuk melawan. Hahaha, selama kita punya perlindungan dari Geng 'itu', gak akan ada yang berani dengan kita"

Ivan tersenyum lebar, senyuman itu dipenuhi dengan percaya diri dan niat buruk. "Ya, kalian benar. Kita pergi ke tempat yang biasanya, lagian udah mau pulang juga"

Setelah mengatakan itu, Ivan dan teman-temannya melompati tembok pembatas dengan bantuan sebuah kursi yang sengaja mereka letakkan di sana.

Aku membuka mataku dengan perlahan. Dinding putih dan serambi hijau yang menutupi ranjang tempatku berbaring terlihat cukup familiar.

Ah, sepertinya aku berada di ruang UKS. Aku berusaha bangun, tubuhku terasa nyeri di berbagai tempat. Dan wajahku terasa sedikit kurang nyaman.

Seorang guru wanita keluar dari balik serambi. Dia mengenakan seragam guru yang biasanya dan hijab yang menutupi kepalanya.

Beliau adalah Bu Miranti, ia memang bertugas sebagai guru yang mengawasi ruang UKS.

Sebagai guru yang masih terlihat muda, tentu saja banyak murid laki-laki yang menyukainya. Terkadang mereka akan mencari alasan untuk bisa pergi ke UKS.

Terkecuali diriku, ok?

Aku tidak terlalu suka membuang waktu di UKS. Jika aku tidak pingsan, aku tidak akan pernah pegi ke tempat ini dengan keinginanku sendiri.

"Kamu jangan bangun dulu, istirahat saja. Atau kamu mau pulang sekarang?"

Jika bisa, aku tidak ingin pulang dalam keadaan seperti ini. Apa yang akan dikatakan Bapak dan Ibuk kalau melihat kondisiku yang babak-belur seperti ini? Mereka pasti cemas, atau mungkin malah memarahiku.

Aku melihat jam dinding, dan aku terkejut. Tinggal tiga puluh menit lagi sebelum bel pulang berbunyi. Sebenarnya berapa lama aku pingsan?

Meskipun aku kembali sekarang, aku hanya seperti mengambil tas lalu pergi pulang tanpa bisa bergabung dengan pelajaran saat ini.

Tok tok tok

Tiba-tiba aku mendengar suara ketukan pintu.

Bu Miranti menjawab, "Ya, masuk"

Orang yang datang adalah salah satu temanku dari kelas lain. Namanya, Ethan. Orang-orang lebih sering memanggilnya Timur dengan alasan yang lucu.

Dalam bahasa Jawa, 'Etan' bisa diartikan sebagai Timur. Karena namanya yang sedikit mirip, mereka membuatnya mudah dan membuat julukan 'Timur' sebagai namanya.

Memang aneh pada awalnya, tapi semua orang segera terbiasa dengan itu.

Ethan bukan keturunan murni Indonesia, tapi dia juga keturunan Belanda. Karena itu tubuhnya terbilang cukup tinggi ditambah perawakan yang tampan dan putih.

Orang ini terlalu banyak diberkati dengan anugerah.

"Oi, Satria, nih tas milikmu"

Ethan melemparkan tas milikku dan aku berhasil menangkapnya meskipun kurang persiapan.

Aku bertanya dengan heran, "Loh, kok bisa ada padamu?"

"Tadi kelasmu pulang lebih awal karena guru yang bertugas sedang ada acara. Ardi yang kasih tadi, katanya dia ada urusan, makanya dia pulang duluan"

Ah, jadi seperti itu?

Tunggu, jika gurunya sedang tidak bisa hadir, pasti ada tugas yang diberikan. Ah, bagaimana ini, aku tidak bisa mengerjakannya di sekolah karena tidak tahu tugasnya. Dan semua teman sekelasku sudah pulang.

Sepertinya aku harus mengerjakan di rumah setelah bertanya pada Ardi nanti.

Meskipun bukan kebiasaanku mengerjakan tugas di rumah, aku harus melakukannya kali ini.

Belakang sekolah, tempat parkir.

Keadaan sudah cukup sepi. Ardi sedang menunggu seseorang dengan gugup, dia baru saja mendapatkan sebuah surat misterius ketika jam istirahat hari ini. Entah bagaimana, dia yakin bahwa pengirimannya adalah seorang gadis dari kelasnya.

Seperti halnya Satria, Ardi juga berharap banyak pada pengirim surat ini.

"Mungkinkah dia menyukaiku? Apakah aku akan mendapatkan pacar hari ini? Akhirnya aku bisa melepaskan kesendirian ini"

Secara alami Ardi terus membuat pemikiran seperti itu sambil menunggu orang yang akan dia temui.

Ardi sebelumnya telah mendengar bahwa Satria sedang pingsan di UKS karena terlibat sebuah perkelahian. Tapi dia tidak berani menemui Satria karena merasa bersalah, dia tidak bisa membantu sama sekali. Pada dasarnya Ardi juga sedikit takut dengan kelompok yang menghajar Satria hingga babak-belur.

Ardi merasa kesal, "Apanya yang teman baik?! Aku bahkan tidak bisa membantu dalam situasi ini! Sial, jika saja aku lebih berani dan kuat"

Sementara Ardi menyesali diri sendiri, seorang gadis cantik datang padanya.

Dengan suara lembut dan menyenangkan, dia berbicara, "Maaf membuatmu menunggu"

Ardi menoleh dan mendapati wajah gadis itu yang sedang tersenyum manis.

Dia terkejut, "Tidak mungkin… Risa?"

Risa hanya tersenyum.

Sementara itu Ardi mendapatkan pemahaman yang berlawanan dengan pemikirannya sebelumnya. Hampir tidak mungkin baginya untuk berpacaran dengan Risa, bahkan dia merasa takut memikirkan masa depan seperti itu.