webnovel

Cinta Yang Tersesat

Pernah merasa bagaimana sesaknya menyimpan rasa terpendam? Itulah yang dirasakan Erfian Satria atau biasa dipanggil Satria, anak kelas 2 SMA yang memiliki perasaan terpendam pada ketua OSIS, Arin Siskawati yang merupakan primadona di sekolahnya. Ingin mengungkapkan perasaan secara langsung tapi...tidak berani. Alhasil? Erfian memilih mengirim pesan lewat ponselnya. Sayangnya takdir memang nakal. Pesannya terkirim bukan ke pujaan hatinya! Melainkan ke Risa Ayu Widya, teman sekelasnya yang terkenal tomboi dan pemarah. Berawal dari salah kirim, berujung salah paham. Bagaimana bisa kau mengatakan kebenaran yang menyakitkan kepada orang yang menyukaimu? Apakah Erfian dapat jujur pada Risa dan mungkinkah benih" cinta muncul diantara keduanya?

NightDragonfly · History
Not enough ratings
30 Chs

Kebenaran dan tekad baru

Risa dan Ardi saling berhadapan satu sama lain. Ardi mulai merasa sedikit khawatir dengan apa yang akan terjadi padanya, di sisi lain, Risa tampak begitu tenang.

"Ardi"

"I-Iya?"

"Aku ingin bertanya padamu"

Ardi menelan ludah dengan gugup, jantungnya berdegup cepat seperti ingin meledak.

Risa melanjutkan, "Yang mengirimkan pesan cinta dari ponsel Satria itu… kamu, kan?"

Ardi terdiam sesat dan mulai membuat senyum menyegarkan. Seolah semua beban yang menimpa pikirannya hanyalah ilusi.

"Kamu ngomong apa sih? Pesan cinta? Mana mungkin aku yang melakukan itu"

Risa tetap terlihat tenang dengan penyangkalan Ardi, "Aku tau setelah membaca pesan yang kamu sembunyikan. Jauh di bawah pesan utama"

Risa mengeluarkan ponsel miliknya dan membuka pesan yang dimaksud.

[Halo, apa kabar? Aku sangat mencintaimu lebih dari apapun, maukah kamu menjadi pacarku?]

Tapi itu hanya permukaannya saja, jauh di bawah pesan itu, tersembunyi sebuah pesan lain.

[Pesan ini ditujukan untuk Arin Siskawati]

Begitulah pesan itu berakhir, sepintas memang tidak ada yang aneh dengan pesan itu. Tapi…

Ardi tetap diam dan mengamati tanpa memperlihatkan tanda hendak membalas pernyataan Risa.

Keheningan di antara mereka berlanjut selama beberapa saat.

Risa kembali memasukan ponsel ke dalam sakunya, "Gak masalah kalau kamu gak mau ngaku sekarang. Tapi suatu saat nanti aku pasti bakal bikin kamu ngaku sendiri"

Lalu dia pergi pulang.

Sementara itu, Ardi masih tinggal di tempat, menghela napas.

"Haah… bagaimana dia bisa membuat kesimpulan acak seperti itu? Cara yang sangat konyol untuk mencari kebenaran"

Ardi berbalik dan hendak pulang juga.

"Tidak masalah membuat kesimpulan acak jika itu adalah kebenaran"

Langkah Ardi terhenti, dia memperhatikan asal suara itu. Itu berasal dari balik tembok bangunan, orang itu berdiri di sana dan sepertinya telah mendengar percakapan Ardi dan Risa sebelumnya.

"Ethan, sejak kapan kamu di sana?"

Ethan keluar dari balik tembok dan berjalan melewati Ardi, tapi dia berhenti ketika punggung mereka saling membelakangi. Kemungkinan hal ini dilakukan agar orang lain tidak mencurigai mereka. Bahkan sangat mungkin Risa belum pergi jauh dari sini.

Ethan berbicara dengan suara pelan, "Katakan padaku, Ardi. Dari semua gadis, kenapa kamu memilih Risa sebagai penerima pesan itu?"

"Yah, aku pikir Risa lebih cocok bersama Satria dibandingkan dengan Arin. Tapi jangan salah paham, aku tidak berada di pihak Risa. Aku hanya berada di pihak Satria. Jika aku merasa dia kurang cocok, aku hanya perlu mencari kandidat lain"

Ethan menyeringai, "Kemampuanmu dalam membaca perasaan orang lain memang luar biasa. Kamu tahu bahwa Risa memiliki perasaan pada Satria. Tapi ada kalanya kamu harus berjalan mengikuti arus" dia mulai melangkah pergi sambil melambaikan tangan. "Ardi, sebaiknya kamu tidak perlu ikut mengurusi masalah itu, meskipun Satria terjebak dalam cinta segi tiga atau segi empat, itu adalah masalahnya sendiri. Sebaiknya kita fokus pada tujuan yang telah kita sepakati bersama"

Ardi pergi mengambil motor miliknya dan berhenti di sana, "Kamu tidak perlu memberitahuku tentang itu. Aku akan tetap menyelesaikan bagianku tanpa kamu beritahu sekalipun"

Satria telah pulang ke rumah. Orangtuanya terlihat sangat khawatir ketika melihat penampilan Satria yang babak-belur. Sangat jelas bahwa Satria tidak mampu melakukan perlawanan. Dilihat dari banyaknya luka lebam, itu benar-benar seperti pengeroyokan sepihak.

Ibu Satria sangat miris dengan kondisi putranya, tapi ayah Satria memilih untuk tidak mengatakan apapun.

Keesokan harinya, setelah pulang sekolah, ayah Satria mengajak Satria pergi menemui seseorang.

Mereka pergi ke padepokan di sebuah bukit yang tidak terlalu tinggi. Tapi karena ini adalah dataran tinggi, tentu saja udara di sini lebih tipis dibandingkan dataran rendah.

Ada sebuah rumah kayu dengan gaya rumah tradisional dari daerah Jambi, Kajang Leko, atau biasa kita kenal sebagai Rumah Panggung. Meskipun tidak benar-benar mirip secara keseluruhan, setidaknya arsitektur bangunan ini nampaknya mengambil referensi dari model rumah tradisional itu. Seperti namanya, rumah ini memiliki ruang kosong di bagian bawahannya, yang mana telah ditopang oleh beberapa pilar.

Bahkan ketika banjir, rumah ini tidak akan mengalami banyak masalah. Yah… itu jika tidak ada arus deras. Rumah ini bisa saja terseret arus deras jika banjir melanda. Tapi sesuatu yang aneh adalah… hampir tidak mungkin terjadi banjir di tempat ini.

Walaupun ada banjir, peristiwa yang dibutuhkan untuk itu setidaknya harus setingkat tsunami. Yah… meskipun begitu, membangun rumah di dataran tinggi memiliki resiko lain. Tanah longsor.

Tapi jika semua orang takut untuk membangun rumah karena potensi bencana seperti itu, tidak akan ada orang yang mau membuat rumah di pegunungan atau pesisir pantai.

Lupakan tentang membangun rumah di dua tempat itu. Bahkan membangun rumah di tepi sungai memiliki resiko yang sama besarnya.

Tidak peduli rumah macam apa atau di mana itu dibangun. Ketika alam telah berkehendak, tidak ada yang bisa menolaknya. Memangnya siapa yang bisa menjamin tidak akan ada sebuah meteor yang jatuh di sebuah kota?

Tidak ada!

Di hadapan alam yang kejam, manusia hanya bisa mencoba bertahan hidup sekuat tenaga.

Kembali ke topik utama. Rumah ini adalah tempat tinggal seorang kakek tua bersama keluarganya. Mereka mendirikan padepokan beladiri Pencak Silat. Itu terlihat jelas dengan beberapa pemuda yang sedang berlatih di halaman rumah yang luas.

Beberapa dari mereka sedang sparing bertarung satu sama lain, beberapa melatih kuda-kuda, dan yang lainnya belajar beberapa gerakan. Semua orang terlihat antusias dalam latihan mereka.

Satria bertanya dengan penasaran, "Pak, kenapa kita ke sini?"

Ayah Satria tersenyum, "Le, ini adalah padepokan tempat pamanmu belajar dulu"

Pada masa mudanya, paman Satria pernah memenangkan kejuaraan Pencak Silat tingkat kabupaten. Itu cukup mengagumkan meskipun belum mencapai tingkat nasional atau bahkan internasional.

Hanya mendengar tentang prestasi itu sudah cukup untuk membuat Satria menjadi antusias. Dia tidak memiliki pengalaman beladiri, tapi dengan belajar mulai sekarang, dia memiliki kesempatan lebih untuk melindungi dirinya sendiri.