webnovel

Cinta Yang Tersesat

Pernah merasa bagaimana sesaknya menyimpan rasa terpendam? Itulah yang dirasakan Erfian Satria atau biasa dipanggil Satria, anak kelas 2 SMA yang memiliki perasaan terpendam pada ketua OSIS, Arin Siskawati yang merupakan primadona di sekolahnya. Ingin mengungkapkan perasaan secara langsung tapi...tidak berani. Alhasil? Erfian memilih mengirim pesan lewat ponselnya. Sayangnya takdir memang nakal. Pesannya terkirim bukan ke pujaan hatinya! Melainkan ke Risa Ayu Widya, teman sekelasnya yang terkenal tomboi dan pemarah. Berawal dari salah kirim, berujung salah paham. Bagaimana bisa kau mengatakan kebenaran yang menyakitkan kepada orang yang menyukaimu? Apakah Erfian dapat jujur pada Risa dan mungkinkah benih" cinta muncul diantara keduanya?

NightDragonfly · History
Not enough ratings
30 Chs

Diberikan kepercayaan

Aku terdiam tanpa kata. Pertanyaan yang dilontarkan Om Tono telah berhasil membuatku bungkam. Aku benar-benar tidak tahu bagaimana harus menjawab.

Bagaimana tidak, aku langsung dilontarkan pertanyaan tentang lamaran pernikahan ketika bertemu ayah Risa. Memangnya orang sehat mana yang bisa tenang dalam situasi ini?! Sungguh, aku bingung dengan situasi ini.

Keringat dingin mengucur deras di wajahku, tanganku dingin, otakku berpikir keras untuk mencari jawaban.

Bagaimana caraku menjawab pertanyaan yang satu ini?!

Bisakah aku menggunakan rumus trigonometri? Atau kesetimbangan zat? Apakah jawabannya ada pada tabel periodik unsur?

Tidak! Ini bukanlah sesuatu yang bisa dijawab secara matematis atau kimiawi. Ini murni reaksi emosi dan akal sehat.

Jika kau berpikir bahwa reaksiku berlebihan, maka katakan saja ini seperti diberikan pertanyaan yang sederhana. Ya, sederhana, tapi yang membuatnya menjadi sulit adalah orang yang memberikan pertanyaan tersebut.

Bagaimana jika kau ditanya tentang keluargamu oleh seorang pembunuh? Tentunya kau akan berpikir keluargamu akan menjadi sasaran berikutnya pembunuh tersebut. Maka situasi ini hanya sedikit berbeda.

Masa depanku dipertaruhkan di sini, saat ini.

Di saat aku sedang kebingungan untuk menjawab, Ayu yang sudah berganti pakaian turun menghampiri kami.

Dia mengenakan kaos lengan panjang yang sangat tertutup dan jaket tipis di bagian luarnya. Dia juga mengenakan rok panjang yang sedikit berjumbai yang menonjolkan sisi feminim pada dirinya.

Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku bersyukur seseorang datang dalam momen yang sangat serius.

Ayu menghadap ayahnya dan berpamitan, "Ayah, aku pamit dulu ya"

"Iya, hati-hati. Jangan lupa bawa oleh-oleh buat mereka"

Mereka? Mereka siapa? Aku berpikir keras mencoba menerka orang-orang yang dimaksud oleh Om Tono.

Setelah mengatakan itu, Om Tono menghadap ke arahku, "Satria, tolong jaga putri saya baik-baik"

Aku mengangguk dengan hormat, "Baik Om, kalau begitu kami pamit dulu"

Aku berdiri dengan wajah yang masih dibasahi oleh keringat dingin dan bergegas berbalik pergi keluar.

Tiba-tiba aku merasakan sebuah tangan menepuk pundakku.

"Tunggu"

Oh, sekarang apa lagi?! Itu adalah suara Om Tono, dan aku yakin ini adalah tangannya yang sedang berada di pundakku.

Aku menghadap beliau sambil menampilkan senyum dengan ragu, "I-iya Om, ada apa ya?"

"Kamu bisa bawa motor kan?"

"Eeh, bisa sih Om. Tapi gak terlalu mahir sampai bisa freestyle"

Om Tono tertawa keras mendengar jawabanku, "Hahaha, kamu ini ada-ada saja. Tenang saja, saya gak minta kamu buat atraksi jungkir balik pakai motor"

Aku mengusap dada dan merasa lega.

Om Tono melanjutkan, "Palingan cuma harus lompat lewat rintangan berapi"

"Eh?" Aku menatap dengan tidak percaya. Apakah aku diharuskan mempertaruhkan nyawa demi melakukan pertunjukan seperti sirkus?

"Hahaha, saya bercanda. Lihat tuh, wajah kamu sampai keringatan gitu. Saya cuma minta kamu mengantar Ayu pakai motor kok. Nih kuncinya" Aku menerima kunci motor dari Om Tono. Beliau melanjutkan, "Motornya ada di garasi ya, sepeda kamu masukin aja sekalian"

"Makasih Om"

Setelah mengatakan itu, aku ditemani Ayu pergi ke garasi rumahnya. Di dalamnya ada sebuah mobil putih yang terparkir rapi dan dua buah motor.

Salah satunya adalah motor ninja dengan kapasitas mesin yang cukup besar dan dicat hitam pekat. Dari bentuknya yang memukau selera otomotif setiap laki-laki dan suara mesin yang mungkin sangat halus, aku bisa menyimpulkan bahwa motor ini sangat mahal.

Sedangkan yang lainnya adalah jenis motor bebek yang masih terlihat baru dengan body kendaraan yang dicat merah mengkilap. Aku bisa mengatakan bahwa kendaraan yang satu ini dirawat dengan cukup baik.

Hmm, aku hanya diberikan kunci motor, tapi aku tidak tahu untuk motor yang mana. Tapi jika menilai dari seberapa berharga kedua motor ini, tidak mungkin aku akan dibiarkan untuk menggunakan motor sport yang mahal itu.

Setelah mengambil kesimpulan sepihak itu, aku mendekati motor merah.

"Eh, motornya bukan yang itu, tapi yang hitam"

Ayu mengatakan itu.

Eh, kau serius?!

Ini di luar perkiraanku. Om Tono terlalu banyak menempatkan tanggung jawab padaku. Sekarang aku mulai khawatir jika sampai terjadi sesuatu pada motor ini, bahkan jika hanya sebuah goresan kecil. Lebih dari itu, aku masih harus menjaga Ayu.

Oh ayolah, tanganku terlalu kecil dan lemah untuk menanggung semua ini.

Aku mengeluarkan motor hitam dari garasi lalu menyalakan mesinnya. Seperti yang diduga, suara mesinnya terdengar seperti dengung lagu yang bersemangat di telingaku.

"Satria, kamu lupa pakai helm," kata Ayu sambil memberiku sebuah helm, sementara dia mengenakan helm yang lain.

"Eh, iya. Maaf, kebiasaan pakai sepeda sih"

"Dasar kamu ini. Mau dekat atau jauh, sepeda atau motor, ya harus mengutamakan keselamatan"

"Iya, nanti aku ingat-ingat. Ngomong-ngomong, kita mau ke mana sih?"

Ayu duduk di kursi belakang setelah mengenakan helm, "Ke panti asuhan, Tanteku jadi pengurus di sana. Biasanya aku suka ke sana kalau ada waktu luang sambil bantu-bantu"

Hmm, panti asuhan kah. Aku belum pernah pergi ke tempat semacam itu. Itu mengingatkanku untuk bersyukur, syukurlah aku masih memiliki orangtua yang lengkap.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan anak-anak yang ditinggalkan oleh orangtuanya sejak kecil. Bagaimana mereka tumbuh tanpa kasih sayang dari seorang ibu? Bagaimana mereka tumbuh menjadi anak yang tegar tanpa bimbingan ayah yang baik?

Aku tidak bisa membayangkan hal itu. Bagiku, memiliki orangtua adalah hal yang normal, tapi aku tidak tahu bahwa ada anak-anak yang tidak begitu beruntung sejak kecil.

Kudengar anak dari panti asuhan terkadang akan dibawa untuk menjadi anak angkat dari pasangan suami istri yang bersedia mengasuh mereka. Tapi itu tidak bisa setara dengan kasih sayang yang diberikan orangtua kandung.

Sebelum pergi ke panti asuhan, Ayu memintaku untuk menemaninya berbelanja berbagai camilan untuk diberikan pada mereka nanti di sebuah pasar tradisional. Dia membeli banyak camilan, mulai dari biskuit, permen, hingga coklat kecil.

Sebelum selesai membayar, Ayu bertanya padaku, "Satria, kamu mau apa? Biar aku belikan sekalian, mumpung masih ada di sini"

"Eh, enggak usah deh"

Ayu menyangga wajahnya dengan jari, seolah sedang memikirkan sesuatu, "Kamu tunggu di sini bentar ya, sambil jaga barang ini"

Aku hanya mengangguk setuju tanpa bertanya tujuannya.

Aku menunggu di tempat parkir sambil mengawasi motor dan barang belajaan Ayu.

Setelah beberapa saat, Ayu kembali dengan segenggam permen coklat di tangannya.

"Bilang 'Aa~'"

Aku membuka mulut sesuai permintaannya. Ayu menyuapi diriku dengan sebuah permen coklat secara langsung. Sensasi lembut dan manis menyebar dalam mulutku, coklat yang semula padat mulai meleleh. Rasa ini benar-benar menyenangkan untuk dinikmati.

"Gimana? Enak?" Ayu bertanya dengan penasaran.

"Iya"

Ayu tersenyum manis, "Syukurlah"

"… Manis"

Aku tidak yakin apakah kata yang baru saja keluar dari mulutku ini ditujukan untuk Ayu atau coklat yang berada dalam mulutku.