webnovel

Makan malam

Al merasa gundah gulana sekarang, semua orang sudah menempati meja makan masing-masing. Hanya Syafa dan Mona yang belum datang. Mona masih dalam perjalanan menuju rumahnya, sedangkan Syafa sampai sekarang belum ada kabar dan bodohnya Al, ia seharusnya menjemput Syafa setelah mendapat telepon pagi tadi, tapi ia malah tidak memperdulikannya.

"Syafanya mana, Al?" tanya Erna. Semua orang juga bertanya-tanya.

"Kamu lagi enggak berantem kan sama Syafa?" tanya Rasyid melanjutkan.

Karina juga ikut curiga, pasalnya setelah berbicara terakhir kalinya dengan Syafa malam itu, Karina tidak mendapatkan kabar lagi tentang adik iparnya itu.

Selang beberapa menit, datang seorang wanita menggunakn dress panjang menuju ke arah meja makan. Semua orang serentak menoleh dan kebingungan siapa wanita itu. Mereka kira itu Syafa, tapi kenapa malah orang asing yang tidak dikenal oleh Karina dan yang lainnya.

"Selamat malam semuanya," sapa Mona saat itu.

Erna terpukau dengan penampilan wanita itu, pasalnya ia sangat cantik dan elegan, jauh seperti menantunya yang satunya. Dari ujung rambut sampai ujung kaki semuanya di tutup dengan pakaian, meski Erna mengakui kalau Syafa itu gadis yang sangat cantik. Hanya saja penampilannya tidak disukai oleh Erna.

"Malam, silahkan duduk Mona," ucap Erna lemah lembut.

Rasyid tiba-tiba bersuara, pasalnya kursi yang biasanya digunakan oleh Syafa langsung diambil oleh seseorang yang sama sekali tidak ia kenal. "Itu kursinya Syafa dan maaf kamu siapa ya?" tanya Rasyid penasaran.

Belum sempat Mona menjawab, Al langsung memotong. "Dia temen aku, Pa. Mama yang mengundang Mona datang malam ini," jelas Al.

Tidak lama dari itu juga, seorang gadis dengan penampilan yang tampak berbeda dari biasanya menuju ke arah meja makan. Meski penampilan Syafa tidak neko-neko, tapi ia sangat elegan dan cantik. Al saja sampai tidak mengedipkan matanya. Gadis itu juga menggunakan dress yang warnanya sama dengan yang dipakai Mona. Mungkin sebuah kebetulan saja, dress yang Al belikan untuk Mona sama dengan milik Syafa. Padahal, Syafa hanya menggunakan dress dengan warna kesukaan suaminya itu.

"Wah, menantu Papa cantik banget malam ini," puji Rasyid tiada habisnya.

"Istri kamu cantik sekali, Al. Baru kali ini loh aku lihat Syafa dandan," ungkap Hafis.

Syafa melirik ke arah Mona dan memberikan senyuman manis kearahnya. Mona saja sampai bingung dengan sikap gadis itu. Seharusnya, ia melempari Syafa dengan tatapan yang tajam karena berhasil mengambil suaminya.

"Al, istri kamu mau duduk ditempatnya loh," uajr Rasyid.

"Enggak usah, Pa. Biar Syafa ambil kursi yang lain."

Sebenarnya kursi meja makan itu berjumlah delapan, tapi duanya dipindahkan karena dirasa tidak ada yang menghuninya saat sarapan pagi karena jumlah anggota keluarga itu hanya enam orang, satunya lagi cucu Erna yang masih berusia tiga tahun.

Bukannya Al yang mengambil kursi untuk Syafa, melainkan Hafis. Kakaknya sendiri kesal dengan adiknya, kenapa tidak terlihat senang dengan kehadiran Syafa dan malah membiarkan wanita disampingnya itu mengambil tempat duduk Syafa. Bukannya seoarang istri lebih penting dari seorang teman.

"Syaf, kamu duduk disamping Kak Karin aja. Biar Kak Hafis yang duduk ditempat lain."

Syafa mengangguk. Akan lebih baik juga dirinya duduk disamping Karina. Biar ada teman ngobral juga. Sungguh dari lubuk hati Syafa yang paling dalam, ia berusaha kuat dan tabah melihat Al dan calon istrinya itu. "Kuat, Syaf, kamu kuat. Demi kebahagian Mas Al, selama ini kamu belum bisa memberikan kebahagiaan kan kepadanya? Jadi, kamu harus siap," batin Syafa.

Makan malam itu terasa begitu nikmat. Syafa bisa mencairkan suasana yang awalnya hening. Gadis itu tersenyum begitu lebar, bahkan tidak terlihat secuil kesedihan diwajahnya. Al saja sampai bingung dengan Syafa. Apakah dia pura-pura bahagia atau memang tidak peduli lagi dengan pernikahan Al nantinya.

Ada banyak teka-teki yang belum bisa Al ungkap. Ia masih harus banyak belajar menilai sikap istirnya itu. "Kamu begitu bahagia malam ini, Syaf?" tanya Al tiba-tiba.

Gadis itu diam sejenak sebelum menularkan senyum kembali. "Aku bahagia karena Allah memberikan aku orang-orang baik. Papa yang sangat sayang kepadaku, Mama yang baik, Kakak-kakak yang memperlakukan ku seperti adiknya sendiri, dan suami terbaik yang Allah kasih selama tahun ini," ujar Syafa membuat semua orang terharu. Erna saja terlihat menampakkan wajah kesedihan, tapi gara-gara gensinya tinggi, ia menutupinya.

Karina memeluk adik iparnya itu begitu erat. "Keluarga ini yang beruntung punya menantu yang hebat seperti kamu, Syaf. Suami kamu aja yang dingin."

"Tapi, Syafa suka kok, Kak."

Karina mengacak gemas rambut adiknya itu. "Iya, iya, kamu kan istrinya."

Ekspresi Mona tidak sebahagia sebelum kedatangan Syafa. Terlihat sekali wajahnya seperti cemburu terhadap Syafa, tapi apa boleh buat. Sekarang, kedudukannya masih orang asing dikeluarga itu.

Makan malam itu hampir selesai dan di saat itulah Erna membuka percakapan mengenai pembicaraan yang ia inginkan pagi tadi. Mereka yang tidak tahu apa-apa sangat penasaran dengan apa yang mau dikatakan Erna, tapi Syafa harus bersiap mendengarkan semuanya.

"Mama mau sesuatu yang penting. Jadi, dengar baikbaik. Mama dan Al sudah memutuskan kalau Mona yang ada di dekat kita sekarang ini akan menjadi bagian keluarga kita. Dia akan menjadi istri kedua dari Aldebaran. Keputusan ini sudah dipikirkan secara matang," ujar Erna dengan santainya.

Semua orang terdiam, tidak bisa berkata apa-apa. Mata mereka fokus ke arah Syafa yang terlihat biasa saja setelah mendengar kabar itu. Ia bahkan tidak terkejut dan masih sempatnya menerbitkan senyum manis. "Syafa baik-baik aja." Hanya kata itu yang sempat terucap dari mulut gadis itu.

Rasyid beranjak dari kursinya. "Menantu saya hanya Syafa Humaira Putri, tidak ada yang lain!" Rasyid meninggalkan meja makan, tapi ucapan Erna selanjutnya berhasil membuatnya benar-benar syok.

"Mona sedang hamil anak, Al. Jadi, tidak ada yang bisa menentang pernikahan mereka, sekalipun itu Syafa atau Papa. Anak itu juga butuh sosok Papanya dan Al harus bertanggung jawab dengan itu. Mereka akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini."

Rasyid tersungkur ke lantai sembari memegang dadanya. Melihat itu, semua orang menghampirinya, termasuk Syafa yang begitu khawatir dengan kondisi mertuanya. Hafis segera menggendong ayahnya menuju mobil dan membawanya ke rumah sakit. Hafis bahkan tidak membiarkan Al menyentuh Papanya sedikit pun.

Syafa dan Karina yang berada di mobil yang sama tidak berhenti menangis melihat kondisi Papa mereka mengkhawatirkan. "Sayang lebih cepat," pinta Karina buru-buru.

Air mata Syafa turut membasahi wajah Rasyid yang saat itu berada dipangkuannya. "Pa, bangun. Syafa mohon sama, Papa."

Di mobil berbeda, Al dan yang lainnya mengikuti mobil Hafis dari belakang. Al terlihat begitu panik, tapi Erna terlihat biasa saja. "Mama enggak khawatir sama, Papa?" tanya Al tidak mau percaya.

"Mama punya cara sendiri. Udah cepat jalan, jangan sampai kita ketinggalan."

Bukannya Syafa yang ditanyakan, Al malah memperdulikan Mona. "Kamu tenang aja, sayang. Semuanya akan baik-baik saja, keputusan aku untuk menikahimu akan tetap dilakukan, meski Papa tidak menyetujuinya."

Setelah rasyid dibawa masuk ke dalam UGD, Syafa dan Karina saling menyenderkan kepala mereka. Tangisan masih menyelimuti keluarga itu. Hafis menundukkan kepalanya dengan air mata yang menetes ke lantai. Laki-laki itu tidak pernah menangis, tapi kali ini ia benar-benar tidak bisa menahan tangisnya.

Kedatangan Al dan yang lainnya tidak digubris sama sekali. Mereka sibuk dengan diri masing-masing, bahkan Erna tidak ada sedikit pun menanyakan kondisi Rasyid setibanya dia disana. Al juga tidak menitikkan air mata sama sekali sebagai seorang anak yang Papanya sedang dalam kondisi kritis. Sedangkan Mona, hanya diam terpaku.

Erna mendekat ke arah putra sulungnya, tapi Hafis menghindar darinya. Mungkin masih kesal dengan apa yang Erna ucapkan.

"Fis, Mama mau dekat kamu, kenapa kamu malah menjauh?" tanya Al.

Hafis mengepal tanganya kuat, lalu melayangkan pukulan dipipi Aldebaran hingga adiknya itu tersungkur ke lantai. Al segera bangkit dan membalas Kakaknya dengan satu pukulan tepat di pipi kiri Hafis. Malam itu terjadi keributan diantara adik Kakak itu.

"Semua ini gara-gara kamu, Al. Papa enggak akan masuk ke rumah sakit kalau wanita itu tidak datang ke rumah," ujar Hafis dengan lantang sembari menunjuk ke arah Mona. Hal itu membuat Al emosi dan memberi pukulan lagi kepada Hafis, tapi kali ini kenanya bukan kepada Hafis, melainkan istrinya sendiri yang cepat melindungi kakaknya. Syafa berhasil jatuh ke lantai dan bibirnya mengeluarkan darah.

Bough!