webnovel

Jatuh Cinta

"Apa gadis itu sudah keluar dari apart?" tanya Haigar sendiri saat menuju kantornya.

Haigar membelokkan stirnya ke arah yang berlawanan. Perasaannya tidak enak setelah tahu bahwa gadis itu kehujanan semalam. Terlintas begitu saja dipikirannya, mungkin gadis itu mengalami masalah atau bisa saja sakit. Secara, Haigar tidak punya nomor teleponnya untuk memastikan kondisinya.

Dengan cepat Haigar menuju lift dan masuk ke dalam apartnya, tapi tidak ada siapapun di sana, ruangannya terlihat bersih bahkan terlihat tidak ada aktivitas apapun disana.

"Apa Syafa sudah membersihkan apart sebelum pergi?"

Merasa lega, Haigar akhirnya keluar dari apart, tapi beberapa langkah berjalan ia kembali berbalik. Ada sesuatu dikamarnya yang ingin ia ambil. Perlahan laki-laki itu membuka pintu kamar dan mendapati Syafa sudah tergeletak dilantai dengan wajah yang begitu pucat, Haigar juga mengecek jidatnya yang begitu panas, gadis itu benar-benar sakit.

"Syaf, Syafa, bangun." Beberapa kali Haigar menggoyangkan pelan tubuh Syafa, gadis itu tidak merespon apapun. Tiba-tiba saja pikiran Haigar kosong, ia bingung harus bagaimana sedangkan gadis itu tidak boleh ia sentuh, tapi mau bagaimana lagi, situasi sekarang berbeda. Syafa juga pasti mengerti.

Laki-laki itu menggendong tubuh Syafa keluar dari apartemen itu. Orang yang melihat mereka pun kebingungan sendiri, tapi hal itu tidak penting sekarang, yang terpenting mereka harus segera ke rumah sakit.

Sesekali Haigar melihat ke arah belakang, memastikan kalau Syafa mungkin saja bangun. Entah kenapa Haigar begitu panik, khawatir berlebihan saat melihat gadis itu sakit, padahal dirinya bukan siapa-siapa Syafa dan mereka juga baru dua kali ini bertemu.

"Apa aku jatuh cinta pada Syafa?" tanya Haigar sendiri. Ia menggeleng kepalanya pelan.

****

Di dalam ruangannya, Al terlihat berbeda pagi itu. Ia yang selalu bersemangat saat pergi ke kantor untuk bertemu dengan Mona, tapi kali itu ia benar-benar terlihat kacau. Sejak semalam, Al tak kunjung mendapat kabar dari Syafa, sampai pagi ini ponselnya masih tidak aktif. Sebenarnya Al mau menelpon bunda Syafa atau langsung ke rumah mertuanya itu untuk memastikan, tapi ia tidak punya nyali, takutnya hal itu akan membuat kedua orang tua Syafa khawatir.

Tok Tok Tok

"Masuk."

Mona berjalan pelan ke arah Al dengan wajah yang bahagia, melihat ekspresi itu tiba-tiba Al kembali bersemangat. Bukankah apa yang ia inginkan selama ini sebentar lagi akan terwujud. Ia akan segera menikahi wanita yang selama ini ia cintai. Al memasang wajah yang bahagia juga saat berhadapan dengan Mona.

"Apa ada masalah?" tanya Mona sembari menggenggam tangan Al.

Al menggelengkan kepalanya pelan. "Semua akan baik-baik saja. Kamu sudah siap untuk malam ini? Dandan yang cantik ya," ucap Al diselingi dengan senyuman.

Mona mengangguk. "Iya sayang. Makasih ya, udah kasih aku kepastian dan mau berkorban"

Saat berada didekat Mona, laki-laki itu merasa tidak berdaya. Rasa cintanya tidak bisa dijelaskan. Berkali-kali Mona mengancamnya akan meninggalkannya pun, hati Al rasanya hancur berkeping-keping. Ia bingung menafsirkan itu sebagai cinta atau apa? Namun, yang ia tahu selama ini, wanita itu sudah menemaninya dan memberinya kebahagiaan, bahkan sebelum ada Syafa.

"Kamu udah ngomong ke istri kamu belum?" tanya Mona.

Pertanyaan itu kembali mengingatkan Al akan kejadian semalam. Lagi-lagi kepalanya dipenuhi dengan pertanyaan tentang Syafa. Dimana gadis itu berada sekarang? Apa dia baik-baik saja setelah apa yang terjadi?

Mona menyadarkan lamunan Al. "Apa kamu menangis?" tanya Mona.

Seketika Al tertawa mendengar pertanyaan itu. Air matanya memang mengalir sedikit dari ujung matanya, tapi ia mengatakan kalau itu hanya karena ia kurang tidur semalam dan merasa ngantuk.

"Aku kira kamu sudah mencintai gadis itu."

Entahlah, perasaan aneh itu bisa diartikan sebagai apa, apa sebagai cinta atau sebuah belas kasihan? "Mana mungkin aku bisa mencintainya, jika wanita yang aku cintai selalu ada didekat aku."

****

Haigar duduk gelisah disamping hospital bed milik Syafa, tempat dimana ia terbaring lemah sekarang. Jelas sekali gadis itu sakit, wajahnya masih terlihat pucat.

"Aku tidak tahu apa yang kamu alami, tapi kamu terlihat menyedihkan, Syaf. Siapa yang tega menyakiti gadis secantik dan sebaik kamu?"

Tidak lama dari itu, tangan Syafa terlihat bergerak. Perlahan ia membuka matanya dan melihat sosok Haigar ada didekatnya. Syafa kira laki-laki itu adalah Aldebaran, tapi nyatanya bukan. Syafa menerbitkan senyum manis membayangkan harapan konyolnya itu. Ia bahkan sudah tahu pasti kalau Al tidak akan peduli kepadanya sampai kapanpun.

Syafa berniat bangun dari baringnya, tapi Haigar mencegahnya. Gadis itu masih cukup lemah untuk duduk. Ia harus memulihkan tenaganya dulu. Haigar mengambil bubur yang memang sudah disiapkan untuk pasien.

"Kenapa aku dan kamu di sini?" tanya Syafa.

"Kamu pingsan dikamar aku, Syaf. Maaf aku tidak sengaja menyentuh kamu. Aku tidak bermaksud. Kedatangan ku ke apartemen hanya ingin mengambil dokumen penting," ujar Haigar berbohong. Padahal, kedatangannya itu gara-gara kekhawatirannya.

"Makasih, sekali lagi makasih, Gar. Kamu selalu datang di waktu yang tepat. Kalau tidak ada kamu mungkin sekarang aku tidak ada dirumah sakit sekarang. Aku tidak tahu harus membalas kebaikan kamu bagaimana, tapi jika kamu membutuhkan bantuan dan apapun itu. Aku akan membantumu," ungkap Syafa panjang lebar.

Haigar tersenyum manis. Ucapan yang keluar dari mulut Syafa berhasil membuat jantungnya berdetak lebih cepat. Kali ini Haigar benar-benar yakin kalau dirinya memang jatuh cinta pada Syafa, bahkan sejak pertama kali mereka bertemu.

Syafa juga ikut tersenyum sendiri. Ia menerima suapan dari Haigar dengan sepenuh hati, mungkin sebagai tanda terima kasihnya kepada Haigar karena sudah membantunya. Pasalnya, Syafa juga merasa tidak enak jika menolaknya setelah kebaikan yang Haigar lakukan.

"Aku harus segera pulang, Gar. Mas Al pasti sudah menunggu aku dirumah. Sejak semalam aku tidak menghubunginya sama sekali" ujar Syafa yang membuat Haigar menaikkan alisnya sebelah karena kebingungan.

"Mas Al siapa? Kakak kamu?"

Syafa menggelengkan kepalanya. "Mas Al suami aku, Gar." Seketika sendok yang dipegang Al jatuh ke lantai. Laki-laki benar-benar terkejut dengan apa yang ia dengar barusan. Harapannya mendekati Syafa sudah pupus sudah. Hatinya seperti hancur berkeping-keping. Pasalnya, Haigar bukan tipikal orang yang mudah jatuh cinta kepada wanita, tapi sekalinya jatuh cinta, akan sangat sulit untuk menghilangkannya dari hati dan pikiran.

"Maaf aku membuat kamu kaget," ucap Syafa bernada bersalah.

Haigar menggelengkan kepalanya. "Enggak kok, tangan aku licin. Jadi sendoknya jatuh. Aku akan minta yang baru," balas Haigar.

"Aku udah kenyang kok. Aku boleh pinjem ponsel kamu sebentar nggak?" tanya Syafa.

Haigar langsung menyerahkan ponselnya kepada Syafa dan gadis itu segera mengetik sebuah nomor. Terdengar jelas panggilan itu berdering dan beberapa detik kemudian, laki-laki yang Syafa telepon berbicara kepada gadis itu.

"Ini siapa?" tanya Al.

"Ini Syafa, Mas. Mas Al sibuk nggak hari ini?"

"Ada pekerjaan yang harus aku selesaikan. Kamu kemana semalam?"

"Oh ya udah, semangat kerjanya ya, Mas. Assalamu'alikum."

Sebelum sambungan itu terputus, Al sempat mendengar seorang wanita bertanya kepada Syafa tentang obat-obatan. Laki-laki itu mulai berpikir kalau istrinya itu mungkin saja berada dirumah sakit sekarang. Dengan cepat Al kembali menghubungi nomor tak dikenal tadi, tapi tidak kunjung diangkat meski nomornya aktif.

"Aku keluar sebentar. Tolong jaga dia sebentar, Sus," pinta Haigar.

Di sepanjang jalan keluar dari rumah sakit, ponsel Haigar terus berbunyi. Laki-laki yang di telepon Syafa tadi terus menerus menelpon, tapi Haigar hanya menatap layar ponsel itu dan tidak berniat sama sekali menelponnya, sampai akhirnya Haigar memblokir nomor itu karena merasa kesal.

Sekarang Haigar tahu apa permasalahan yang sedang dialami oleh Syafa. Bahkan dari obrolan Syafa tadi, Haigar bisa menyimpulkan bahwa suami Syafa itu terlihat tidak terlalu memperdulikannya, bahkan sejak semalam sudah keluar dari rumah. Seharusnya, seorang suami akan sangat khawatir dengan keadaan istrinya.

"Bodoh laki-laki yang menyia-nyiakan gadis seperti Syafa. Andai tuhan menakdirkan kamu untuk aku, Fa. Aku akan membuatmu bahagia tanpa harus merasakan luka," ucap Haigar.