webnovel

Keputusan Yang Disesali

"Pah. Untuk kesalahan Papa itu tidak ingin lagi aku permasalahkan. Tetapi kalau harus menerima buah dari kesalahan Papa ini sebagai adik ku, maaf aku gak bisa Pah," ujar Kak Daniel dingin dan ikut berlalu meninggalkan kami.

Mendengarnya, aku hanya terdiam menahan sesak. Ku pikir aku akan diterima saat tadi disambut dengan ramah. Namun ternyata dalam sekejap saja keadaan bisa berubah. Hati ku terasa sangat sakit sekarang, namun aku bisa apa selain menahan nya?

Papa tertunduk lesu. Aku melihat raut wajah Papa nampak bersedih.

"Tante Nida marah ya, Pah?" tanya ku.

Papa tersenyum miris dan mengangguk. Aku jadi merasa tidak enak. Karena kedatangan ku, hubungan Papa dan Tante Nida jadi runyam seperti ini.

"Maafin Risha, Pah," ucap ku lirih.

"Kamu gak salah, Sha. Dari awal memang Papa sudah tau resiko nya akan seperti ini. Kamu jangan merasa gak enak ya. Anggap aja ini seperti dirumah kamu sendiri ya, karena kamu juga berhak tinggal disini." Papa tetap dengan senyum menenangkan nya.

Aku pun hanya membalasnya dengan tersenyum kecil. Bagaimana bisa aku menganggap rumah ini seperti rumah sendiri sementara aku baru saja mendapat penolakan dari ketiga orang yang juga begitu berarti bagi Papa.

"Maafin mereka ya, Sha. Mungkin mereka masih kaget, asli nya mereka baik kok," jelas Papa menguatkan ku.

Aku mengangguk membalas senyum Papa kemudian memeluk pria itu erat dengan air mata yang kembali mengalir di pipi ku. Rasanya sangat sakit. Setelah tiba-tiba ku dapati Mama pergi meninggalkan ku untuk selama nya, kemudian Papa datang bagai titik terang bagiku. Namun sekarang, rasanya tembok kekuatan ku yang tadi nya mulai membaik, kini rapuh kembali.

Aku belum pernah merasakan hal yang se-menyakitkan ini. Hati ku hancur, perih, dan aku menjadi benar-benar rapuh. Luka yang satu masih belum sembuh dan sekarang luka itu malah ditambah. Seperti nya lebih baik dari awal aku tidak ikut Papa kesini. Aku menyesali keputusan ku.

***

"Sha. Ayo sarapan bareng," ajak Papa di meja makan.

Aku baru saja keluar kamar setelah bersiap ingin berangkat ke sekolah yang baru. Papa sudah mendaftarkan aku disana, dan hari ini adalah hari pertama ku kembali bersekolah.

Di depan meja makan sudah ada, Papa, Tante Nida, Kak Raya, dan juga Kak Daniel yang tengah sarapan dengan tenang. Pagi-pagi seperti ini saja aku sudah mendapatkan tatapan sinis dari ketiga orang itu. Jujur, baru memasuki hari kedua tinggal disini, aku sudah benar-benar merasa tidak betah. Jangan kan menyapa ku. Tante Nida, Kak Daniel ataupun Kak Raya, ketiga nya seolah enggan menatapku. Seolah aku ini hanyalah perusak pemandangan.

"Kenapa diam aja? Ayo Sha," ajak Papa lagi dengan lembut.

Aku mengangguk dan mendekat kesana kemudian menduduki salah satu kursi yang kosong di samping Kak Raya.

Tante Nida hanya diam seolah tak melihatku, sedangkan Kak Daniel dan Kak Raya sempat menengok meski hanya sekilas.

Papa mengambilkan dua potong roti untuk ku kemudian menyodorkan setoples selai kacang kearah ku. "Sarapan dulu ya sebelum berangkat.

"Iya Pah," jawab ku.

Saat aku tengah mengoleskan selai kacang itu pada potongan roti ku, tiba-tiba saja Tante Nida berdiri.

"Mama udah selesai, mau kedapur dulu," ujar Tante Nida dengan suara dingin nya.

Aku jadi merasa tidak enak. Selalu saja begini. Setiap berada di dekat ku, Tante Nida selalu ingin menjauh. Bagaimana bisa aku memanggil nya dengan sebutan Mama jika sikap nya saja seperti ini. Aku merasa seperti parasit diperlakukan seperti ini.

"Daniel, Raya, nanti Risha berangkat satu mobil bareng kalian ya. Sekalian kenalin dia sama sekolah nya yang baru. Kasian dia nanti kebingungan sendiri."

Kak Raya yang tengah minum mendadak tersedak. "Dia bareng kita Pah?" tanya nya seperti terkejut.

"Iya. Kalian kan tujuan nya sama."

Ku lihat Kak Raya dan Kak Daniel saling lirik sebelum kedua nya beranjak karena mengaku sudah kenyang dan ingin segera bersiap berangkat kesekolah. Mereka memang belum mengganti pakaian nya dengan seragam.

Papa masih setia menemaniku sarapan hingga selesai. Aku tidak merasa kesepian ketika bersama Papa karena Papa suka sekali mengajakku berbincang dan perbincangan kami selalu menyenangkan. Setidak nya ada satu orang yang sangat menyayangi ku dirumah ini.

"Yaudah Pah, aku mau pake hijab sama ngambil tas dulu ya, biar cepet berangkat," ujar ku sebelum beranjak.

Aku bersyukur karena Kak Daniel saudara se-ayah ku, hingga tak menjadi masalah ketika aku tidak memakai hijab saat di dalam rumah. Kami menjadi mahram berdasarkan nasab, yaitu dari hubungan darah atau keluarga. Sejauh yang aku tahu sepupu lelaki bukanlah mahram ku, karena seperti Firman Allah dalam surat An-Nur ayat 31 yang dijelaskan oleh ulama tafsir, yang merupakan mahram bagi wanita adalah, ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki baik kandung atau seayah atau seibu saja, keponakan, dan paman. Sepupu tidak termasuk.

Aku menuju kamar untuk mengenakan hijab segitiga putih ukuran standar ku serta tas gendong yang sudah ku siapkan. Kedua ujung hijab ku yang menjuntai itu ku naikkan ke bahu kiri dan kanan ku menyilang. Biasanya aku juga melipat bagian manset lengan baju ku satu atau dua kali lipatan agar nampak lebih keren dan gaul, namun untuk hari pertama sekolah, sebaik nya tidak dulu. Takut nya malah terkesan tidak rapi.

Aku keluar dari kamar untuk mencari keberadaan Kak Raya dan Kak Daniel. Aku menyusuri ruang tengah lalu kedepan menuju teras.

"Kak Tunggu!" teriak ku saat aku melihat Kak Daniel dan Kak Raya sudah berada di salam mobil. Aku berjalan setengah berlari kearah nya dengan sepatu yang masih ku pegangi di kedua tangan ku karena belum ku pasang.

Kak Raya tengah bersiap untuk menutup pintu mobil nya. Dia sempat tersentak oleh teriakan ku hingga dia bergegas menutup pintu mobil nya dan Kak Daniel pun langsung melajukan mobil itu meninggalkan diriku yang hanya bisa mematung di depan teras menatap kepergian mereka.

"Jahat banget sih! Kalo emang gak mau ngajak bareng tu bilang kek, ini malah ninggalin gitu aja. Aku jadi berasa kaya sampah tau gak!" gerutu ku membanting sepatu yang ada di kedua telapak tangan ku.

"Kenapa kamu?" tanya Tante Nida yang ada dibelakang ku dengan tangan kanan nya memegangi gembor penyiram tanaman.

"Aku ditinggalin Kak Daniel sama Kak Raya," jawab ku. Aku berdoa dalam hati semoga Tante Nida tidak mendengar dumelan ku.

Wajah Tante Nida datar saja. Dia menoleh kearah pintu menatap kedalam rumah. "Pah." dia memanggil Papah.

Seketika Papa pun keluar dari dalam sembari membenarkan letak jam tangan nya. "Apa Mah?"

"Ini anak Papa ketinggalan pas mau berangkat sekolah."

***

Bersambung.