webnovel

Khawatir dan Haru!

Tepat pukul 7 pagi Zaviyar menunggu Adiba, tetapi tidak kunjung datang. Sebenarnya ke mana Istrinya dan sedang apa? Dia memutuskan untuk pulang terlebih dahulu pasalnya jadwal mengajar tepat jam 8 nanti.

"Abah, Ummi ... saya pulang dulu. Jika nanti Dek Cyra datang beri tahu saja saya sudah pulang terlebih dahulu."

"Insya Allah, kami sampaikan. Apa Tole tidak mau menunggu beberapa saat lagi?" tanya Fatimah.

"Waktu tidak cukup, Ummi. Lagian nanti pasti bertemu di kampus. Afraz pamit dulu. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

"Baiklah, hati-hati di jalan, Le. Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."

Zaviyar menyalami ke dua orang tuanya. Dia kecup punggung tangan mereka kemudian mengucap salam dan berlalu begitu saja. Pikiran kalut membuat Zaviyar tidak konsentrasi. Pasalnya sampai rumah Istrinya juga tidak ada. Dia berpikir Adiba pulang terlebih dahulu. Namun, semua persepsi hilang begitu saja. Kemana Istrinya? Apa masih di asrama Putri?

"Mending aku mandi lalu beraip-siap mengajar."

Lain sisi teman-teman se asrama menatap sendu Adiba. Wanita malang ini belum juga terbangun dari tidur lelapnya. Teman se fakultas Adiba memutuskan untuk berangkat sekolah dan meninggalkan Adiba bersama dengan Mbak pengurus.

Fauziah, teman se fakultas Adiba memberikan surat izin pada Dosen perihal Adiba yang sakit. Usai Dosen keluar teman-temannya mengerubungi Fauziah dengan banyak pertanyaan.

Mereka sok mendengar fakta kalau Adiba terkurung dalam kamar mandi. Ya Allah, kenapa banyak sekali masalah yang di tanggung wanita rapuh itu. Mereka akhirnya memutuskan untuk belajar karena selanjutnya telah Dosen datang.

Buk Maisyaroh, Dosen yang mengajar tadi sudah kembali ke ruang para Dosen. Dia menatap Zaviyar sedang mengetik dengan sangat khusuk. Ia heran tanpang pria ini tidak mencerminkan kekhawatiran.

"Pak Afraz," panggil Maisyaroh.

Zaviyar menghentikan kegiatan sebentar untuk menatap Maisyaroh. Kenapa Dosen galak itu memanggil dia? Apa ada urusan lain sehingga wanita paruh baya memanggil?

"Tadi saya habis mengajar di kelas Dik Cyra. Namun, dia tidak masuk kelas dengan alasan sakit padahal saya mengadakan kuis. Sebenarnya sakit apa Istri, Anda?" tandas Maisyaroh sukses membuat Zaviyar membisu tanpa kata.

Zaviyar tidak tahu menahu soal sakit Istrinya. Memang Adiba sakit apa? Saat berangkat ke Pesantren Adiba sehat walafiat. Kenapa bisa ada yang bilang sakit?

Maisyaroh dan para Dosen lain menatap intimidasi Zaviyar. Mereka meminta jawaban yang akurat dari pria dingin itu.

"Saya ada urusan. Istri saya memang sedang sakit dan saya harus pulang untuk melihat kondisinya. Pak Dekan, saya izin hari ini. Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh."

Zaviyar mejawab perkataan Maisyaroh singkat. Dia melirik jam sudah menunjuk pukul 10'30 AM. Dia buru-buru membereskan laptop dan peralatan yang lain. Dengan cepat dia beranjak meninggalkan ruang para Dosen.

Para Dosen menatap Zaviyar aneh, kenapa tidak usah berangkat sekalian untuk menjaga Adiba. Mereka nengedihkah bahu lalu kembali sibuk dengan urusan masing-masing.

Adiba membuka mata tepat jam setengah sepuluh pagi. Dia mengerjap beberapa kali guna menetralkan pandangannya. Kepala dan perut masih terasa mengganggu. Adiba berniat untuk pulang, tetapi sebelum duduk tubuhnya terasa seperti jeli.

"Mbak, istirahat dulu jangan banyak bergerak. Tunggu sampai Mbak kuat duduk dan berjalan jangan paksakan diri," nasihat Mbak pengurus.

Adiba menuruti perkataan mereka. Dia cukup senang bisa duduk walau kepalanya terasa pusing.

Mbak pengurus memberikan makan dan minum, tetapi Adiba hanya menerima air. Trmannya tidak mau makan alhasil Mbak pengurus memberikan roti.

Adiba menerima roti seraya mengucap terima kasih. Sudah 3 roti tandas dalam perutnya dan kini ia punya tenaga untuk pulang ke rumah.

1 jam Adiba di asrama setelah bangun tidur. Dia memutuskan untuk pulang walau kondisinya masih sangat lemah. Adiba berusah berjalan normal, tetapi nyatanya tidak bisa. Dia berjalan sempoyongan akibat sakit pada tubuhnya.

"Ya Allah, aku harus kuat tidak boleh lemah," lirih Adiba.

Bersyukur dia bisa berjalan sampai gerbang jalan menuju pesantren. Adiba tersenyum tatkala ada becak mendekat ke arahnya. Dia meminta tukang becak mengantar ke apartemen milik Zaviyar.

***

Adiba membuka pintu rumah dengan susah payah. Dia merosot saat bersandar di pintu masuk. Napasnya terputus-putus karena sangat lelah dan merasa lemah. Adiba tersenyum cerah karrna bisa sampai rumah dengan selamat.

"Alhamdulillah, sampai juga," lirih Adiba. Dia masih betah duduk di depan pintu seraya menyandarkan tubuh. Perutnya semakin kram dengan kepala berdenyut nyeri.

Adiba menekuk kaki dan memeluk erat lututnya. Dia ingin menetralkan rasa sakit hingga suara berat mengalun dingin. Ia terperanjat melihat Zaviyar menatap begitu intim.

"Dari mana saja kamu, Dek? Apa yang kamu lakukan selama di asrama? Apa di sana lebih penting dari pada pulang ke rumah? Kenapa baru pulang sekarang? Lihat berapa lama kamu di asrama dan baru pulang ke rumah! Katakan pada Mas, kenapa kamu tidak ke kampus? Apa kamu memang lelah sampai alasan sakit!"

Zaviyar tidak ingin menghardik, tetapi itu bentuk rasa khawatir atas Adiba. Dia kaget saat pintu terbuka dan menatap Istrinya tiba-tiba merosot ke bawah. Ingin bertanya lembut dan berkata biasa saja, tetapi yang keluar nada sinis.

Adiba terhenyak mendengar hardikan Suaminya. Dengan susah payah ia berdiri senormal mungkin. Dia berjalan ke arah Zaviyar seraya tersenyum tipis. Tadi Adiba menabur bedak lumayan tebal, lalu memakai lipstik agar tidak kelihatan menyedihkan.

"Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, maaf Mas," cicit Adiba setelah sampai di depan Zaviyar. Kepalanya semakin sakit dan perut terasa kram. Tubuhnya begitu lemah sehingga mengharuskan berpegangan pada lengan kekar Zaviyar.

"Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh," jawab Zaviyar datar.

Zaviyar bisa melihat Istrinya sangat lemah. Dia ingin bertanya kembali namun tidak jadi ketika tubuh ringkih Adiba ambruk ke arahnya. Ia bawa Istrinya agar duduk duduk dalam pangkuannya. Zaviyar merasa khawatir melihat Adiba begitu dingin.

Adiba yang tidak sanggup menahan sakit akhirnya ambruk. Dia bersyukur Suaminya menahan tubuh dan menopang Kepalnya. Ia genggam erat tangan besar Suaminya untuk menghalau sakitnya. Adiba merasa begitu tersiksa akan sakit pada perutnya.

"M-Mas to--tollong i-ini sa-sakit sekali. Ma-maaf membuat Mas khawatir," lirih Adiba sebelum kehilangan kesadaran.

"Astaghfirullah, Dek ... ya Allah, kenapa aku begitu bodoh? Bertahan, Sayang kita akan ke rumah sakit segera. Maafkan Mas membentak, Adek."

Zaviyar mengangkat tubuh Istrinya hati-hati, dan merebahkan di sofa. Dia mengambil dompet serta kunci mobil. Kemudian, Zaviyar kembali menggendong Adiba menuju rumah sakit. Pikiran Zaviyar begitu kalut memikirkan Adiba begitu memprihatinkan.

***

Zaviyar senantiasa berdoa kepada Allah. Dia terus merapalkan do'a pada Allah agar Adiba baik-baik saja. Keringat dingin keluar karena rasa panik. Dia sangat berharap Allah memberikan kekuatan untuk Adiba.

Setelah sekian lama menunggu akhirnya pintu UGD terbuka. Sontak Zaviyar berdiri dan menodong dengan pertanyaan.

"Bagaimana kondisi Istri saya?"

Zaviyar hanya bertanya singkat dengan aksen dingin. Dia tetap tenang walau hati dan jantung tidak menentu. Ia memang irit bicara tidak suka berbicara panjang lebar. Asal bertanya sama tetap jawaban sama saja.

Dokter wanita itu tersenyum ramah pada Zaviyar. Sepertinya dia tahu pria macam apa yang ada di depanmu. Pria itu memang sangat dingin tetapi begitu hangat di dalam.

"Alhamdulillah, Allah sangat Agung memberikan Kuasa-Nya, sehingga Istri dan calon buah hati Anda selamat. Mari ikut saya ke ruangan, saya akan menjelaskan dan menulis resep yang perlu di tebus di apotek."

Zaviyar terpaku mendengar penjelasan Dokter. Jantungnya terasa berdegup kencang mengetahui Adiba hamil. Ya Allah, bahagia sekali dirinya. Senyum merekah indah tatkala tahu Istrinya mengandung. Pantas saja selama beberapa pekan terlihat berbeda.

"Allahu Akbar, Allahu akbar, Allahu akbar Walillaahil-Hamd. Ya Allah yang maha pengasih lagi maha penyayang. Terima kasih sudah menyelamatkan Istri dan anakku. Ya Allah terima kasih sudah memberikan karunia besar dengan menitipkan anak pada kami. Ya Allah, hamba sangat bahagia menerima hadiah-Mu. Semoga Allah senantiasa melindungi Istri dan buah hati kami. Alhamdulillah, saya begitu bersyukur atas Kebesaran-Mu. Hamba sangat bahagia atas kuasa-Mu ya Allah. Terima kasih banyak ya Allah, hamba sangat bahagia," batin Zaviyar penuh rasa syukur.

Zaviyar menerima wajengan panjang kali lebar dari Dokter. Bahkan Dokter paruh baya itu mendeaak dia untuk mengatakan kenapa bisa Adiba drop begitu? Semua pertanyaan dan segala kata keluar dari mulut Dokter hanya jadi angin lalu.

Zaviyar pusing sendiri mendengar wajengan, ceramah dan segala sesuatu berhubungan dengan Adiba. Pada akhirnya ia pamit untuk menebus obat di apotek. Dia tidak menanggapi godaan mereka yang memuji rupa tampannya. Bagi Zaviyar cepat pergi dari sini untuk melihat Adiba lebih utama.

Senyum haru dan miris terukir melihat Adiba terkulai lemah dengan beberapa alat medis melingkupi tubuh mungilnya. Zaviyar tidak tega melihat Adiba begitu lemah. Andai rasa sakit bisa di tukar, Zaviyar rela merasakan sakit asal jangan Adiba.

Tangan besar Zaviyar terulur untuk mengusap pipi gembul Adiba. Dia menunduk untuk mengecup kening Istrinya cukup lama. Ia merasa begitu miris melihat Istrinya begitu rapuh. Zaviyar usap pipi bulat Adiba dengan perasaan campur aduk.

"Maafkan Mas tidak becus menjaga Adek. Maafkan Mas menekan Adek dan membiarkan Adek tersiksa. Cepat sembuh, Dek karena Mas tidak kuasa melihat Adek begini."

Zaviyar mengusap perut rata Istrinya hati-hati dan memberikan ciuman di atas perut Adiba. Dia menitikan air mata haru, pasalnya sebentar lagi menjadi seorang Ayah. Ia tidak pernah menyangka akan di karuniai calon buah hati dari wanitanya. Zaviyar begitu bahagia Adiba-nya mengandung benih cintanya.

"Ya Allah, hamba sangat bahagia menerima hadiah-Mu. Dedek, apa kabar? Jangan nakal yang kuat di dalam rahim, Umi. Abi, sangat mencintai, Dedek."

Zaviyar menegakan badan dan memilih duduk di sisi brankar. Perasaannya campur aduk antara bahagia, sedih, terharu, kesal dan sangat tertekan. Semoga Adiba cepat pulih agar bisa ceria seperti biasa, Amin. Zaviyar memilih duduk di bangku sisi brankar. Tangan kekarnya menggenggam tangan mungil Istrinya. Segala do'a terus terucap dari mulut Zaviyar demi kesembuhan Adiba.