webnovel

Khawatir!

Akhir-akhir ini Adiba sering buang air kecil. Dia jadi susah tidur dan nafsu makan menghilang. Hanya air putih serta roti isi yang mengisi lambung. Adiba jadi lemah dengan keadaan tidak menentu.

Sementara Zaviyar terlihat panik melihat Adiba jadi begitu. Sering kali ia bujuk Istrinya untuk makan walau sesuap. Namun, setiap makan akan muntah. Kalau begini terus bagaimana tidak lemas. Zaviyar selalu membujuk Adiba periksa ke Dokter. Tetapi, selalu tertolak dengan banyak dalih A sampai Z.

"Mas," panggil Adiba sembari mengguncang bahu lebar Zaviyar.

Zaviyar terbangun ketika Adiba merengek. Dia melirik jam dinding menunjuk angka 4 pagi. Ia menguap sontak menutup dengan punggung tangan kirinya  Zaviyar penasaran kenapa Adiba membangunkan dirinya.

"Ada apa, Dek?"

"Mas, Adek lapar."

Zaviyar terbangun dengan cepat karena senang Istrinya mengeluh lapar. Sudah 1 minggu semenjak kejadian di kampus Adiba belum mengisi perutnya selain roti isi dan makanan di kedai waktu itu.

"Adek, mau makan apa?"

"Makan apa saja asal tidak pedas. Mas, mau buatkan Adek makan?"

Adiba menatap mata hitam Zaviyar penuh harap. Dia sekarang tidak sanggup menahan lapar dan ingin makan buatan Suaminya.

Zaviyar mengusap rambut Adiba penuh arti. Dia akan memasak sayur dengan lauk ikan. Ia sangat bahagia akhirnya Istrinya minta makan juga.

"Adek mau lauk ikan?"

Adiba menggeleng lemah tidak mau makan ikan. Dia ingin lauk biasa saja seperti tempe goreng. Ia tidak mau makanan amis maunya biasa saja.

"Tempe goreng tapi di tepungi."

"Baiklah, mau Mas masakkan oseng bayam?"

Adiba mengaguk setuju lalu mencekal lengan kekar Zaviyar. Dia ingin menemani Suminya masak di dapur.

Zaviyar menyengit melihat Adiba menahan lengan kirinya. Ada apa ini? Kenapa Istrinya menahan dirinya?

"Gendong, Mas. Ikut Mas masak, ya. Adek temani Mas."

"Baik."

Zaviyar menyelipkan tangan di bawah bahu dan lutut Adiba. Perlahan tetapi pasti dia angkat tubuh mungil Istrinya menuju kamar mandi. Dia akan mencuci wajah lalu sikat gigi habis itu baru masak.

Usai dari kamar mandi Suaminya membawa ke dapur. Adiba duduk manis di bangku makan. Tangan mungil itu terus menaut menatap punggung Zaviyar. Dia merasa bersalah meminta Suaminya masak sepagi ini. Ia menunduk sedih jika ingat baru beberapa kali masak masakan sederhana untuk Zaviyar. Masakannya tidak seenak masakan Suaminya, tetapi waktu itu sang Suami makan banyak. Senyum haru terukir tatkala Zaviyar bilang tinggal tingkatkan sedikit lagi maka Adiba mampu menyainginya.

Zaviyar masak dengan cepat agar Adiba senang. Dia terpaku saat Istrinya merengkuh erat pinggang. Dia usap lengan kecil Adiba sesekali meremas pelan.

Adiba menyandarkan kepalanya di punggung kekar Suaminya. Dia ingin merengkuh Zaviyar erat tanpa mau melepas. Sungguh bersandar di punggung Suaminya terasa begitu nyaman.

"Dek, ada apa?"

"Adek, hanya ingin seperti ini beberapa saat, Mas. Bolehkan Mas, Adek begini? Mas, maafkan Adek yang tega menyuruh Mas masak. Adek pasti membuat Mas repot."

Zaviyar mengecilkan api kompor. Dia berbalik menghadap Adiba dan menggendongnya.  Dengan senyum tipis Zaviyar berikan agar Adiba tenang. Dia dudukan Adiba di kursi, kemudian ia duduk di bawah

"Jangan katakan apa pun, karena Mas senang Adek minta Mas masak. Hai, sudah satu minggu Adek tidak makan nasi mana bisa Mas menolak. Jangan menangis, Mas mohon. Adek tidak merepotkan untuk Mas, karena Adek selamanya adalah teman, rekan, sahabat dan Istri yang selalu ada untuk, Mas."

Adiba menitikkan air mata mendengar perkataan Zaviyar. Walau Suaminya mengatakan tanpa ekspresi dan suara datar, tetapi pancaran mata mengatakan keseriusan. Adiba begitu bahagia akan perhatian Zaviyar begitu lembut.

"Mas, hiks terima kasih banyak."

Zaviyar merentangkan tangan agar Adiba merengkuh tubuhnya. Dia tersenyum tipis tatkala Istrinya turun lalu merengkuh erat tubuhnya. Tangan kekarnya terus mengusap rambut Adiba dan sekali dia kecup kepala Istrinya. Zaviyar ingat sedang memasak, spontan menengok masakan lalu melihat Adiba-nya.

"Dek, lepas dulu."

Adiba sadar Zaviyar masih masak dan dengan jahil malah mengganggu. Dia kembali duduk manis seraya menatap Suaminya penuh arti. Ia mengayunkan kaki menunggu Suaminya.

Zaviyar menata makanan di meja makan. Setelah tertata ia ambilkan makanan untuk sang Istri. Dia menatap Adiba penuh arti ketika wanitanya makan dengan lahap. Syukurlah kalau Istrinya mau makan kembali.

"Mas, aaa ...."

Zaviyar menggeleng karena ini terlalu pagi untuk makan. Dia melirik jam menunjukkan pukul 04:45 AM. Lagian ia mau Shalat subuh dulu, kemudian mengaji. Nanti jam setengah 7 baru makan dan minum wedang kopi.

"Mas nanti saja, ayo kita jama'ah Shalat subuh. Tetapi, habiskan dulu makanan Adek."

Adiba tersenyum cerah mendengar perkataan Zaviyar. Dia memilih makan dengan lahap kemudian wudhu. Walau Suaminya tidak mau makan pagi itu tidak masalah. Adiba makan banyak setelah satu minggu tidak mengisi perut dengan nasi.

Zaviyar tersenyum melihat Adiba-nya makan begitu lahap. Dia sangat senang akhirnya lambung Istrinya terisi makanan juga. Zaviyar begitu bahagia Adiba-nya tampak bahagia.

***

Adiba mulai aktif sekolah diniah di sore hari. Ia sudah kembali menjalankan aktivitas seperti biasa. Walau ada sesuatu yang menyakiti hatinya. Dia berusaha menulikan telinga ketika banyak sekali Mbak pondok menggunjing tentangnya. Mereka tidak lagi sama karena alasan Adiba sudah jadi perebut laki orang.

Teman satu asrama percaya soalnya mereka sangat mengenal dirinya. Semua dukungan terus Adiba terima dari teman-temannya. Ia bersyukur memiliki teman-teman seperti mereka. Adiba sangat bahagia walau kadang pedih mendengar tajamnya lisan menyayat hati.

Adiba tadi bilang pada Zaviyar akan menginap di Pesantren. Tugas kuliah membuat dia menginap seraya menembel kitab yang bolong. Dia bersyukur Suaminya mengizinkan dirinya menginap di asrama. Adiba bisa menghabiskan waktu bersama teman-temannya sembari belajar dan menembel kitab.

"Cyra, apa Gus Afraz baik padamu?" tanya Fauziah.

"Alhamdulillah, cukup baik. Gus Afraz sangat dingin, tetapi baik."

"Alhamdulillah, sudah tabiat dingin jadi sabar ya."

"Itu pasti harus ekstra sabar."

Mereka kembali membahas soal tugas kampus. Dan sesekali ngerumpi seputar Zaviyar. Mereka begitu antusias merumpi sampai lupa waktu.

Adiba kebelet pipis dan izin ke kamar mandi. Sudah beberapa kali dia buang air kecil sampai rasanya capek. Di rumah ia juga sering beser sampai pusing sendiri.

"Beser kamu,  Cyra!" celetuk Nana.

"Hehehe," balas Adiba.

"Ayo tidur sudah jam setengah 12!" seru Santi ketua asrama.

Tepat jam 1 dini hari Adiba terbangun karena kebelet pipis. Ia bergegas menuju kamar mandi untuk memuntahkan hajat. Dia membasuh wajah usai buang air kecil. Adiba akan kembali tidur setelah hajatnya selesai.

Tanpa Adiba ketahui ada salah satu Mbak pondok iseng mengunci pintu dari luar. 2 orang pelaku pergi tanpa meninggalkan jejak.

Adiba hendak keluar namun langsung sok saat tahu dirinya terkunci. Dia tidak mungkin berteriak meminta tolong pasti bisa mengganggu yang lain. Dia harus bagaimana di kala pusing menyerang?

"Mas Zaviyar," lirih Adiba.

Tubuhnya kedinginan di dalam kamar mandi nyaris 2 jam. Napasnya memburu dan kepalanya semakin pening. Adiba bersandar di pojok kamar mandi seraya memijat pelipisnya.

"Mas Zaviyar, hiks," tangis Adiba memilukan. Karena tidak kuat akhirnya dia kehilangan kesadaran.

Lain sisi, Zaviyar tidak tenang memikirkan Adiba. Dia sangat khawatir akan kondisi Istrinya. Kenapa ia merasa Istrinya dalam keadaan kurang baik. Zaviyar sangat gelisah memikirkan Adiba-nya yang ada di asrama Putri.

"Dek, sedang apa? Mas khawatir," lirih Zaviyar.

Zaviyar keluar kamar hendak membaca buku. Dan saat melewati ruang tamu ia melihat Mas pertama sedang asyik non ton bola. Dasar maniak bola jam segini asyik non ton bola. Zaviyar memilih mendekati Masnya yang sangat antusias.

"Mas, asyik sekali non tonnya," celetuk Zaviyar.

Erman menengok ke arah Zaviyar lalu tersenyum manis. Dia meminta Adiknya untuk menemani non ton TV. Namun, Adiknya malah terkesan cuek bebek minta tabok. Sabar Erman memiliki Adik luar biasa menguji kesabaran.

"Le, bagaimana apa Istrimu sudah mengisi?" tanya Erman seraya mencomot keripik singkong.

"Belum tahu, Mas."

"He? Memang Nduk Cyra tidak menunjukkan gejala sedang mengandung?"

Zaviyar memikirkan tentang Adiba selama 2 minggu ini. Istrinya gampang marah dan mudah membaik. Suka tidur, buang air kecil dan makan tidak menentu. Istrinya sebelum waktu itu, selalu makan banyak. Semua keanehan Adiba menunjuk tanda sedang mengandung.

"Astagfirullahaladzim, kenapa aku bodoh sekali. Mas, argh aku ingin bertemu, Istriku," geram Zaviyar sembari mengusak rambut tebalnya.

"Selamat, besok juga bertemu Nduk Cyra. Tidak perlu risau Istrimu aman karena sedang menginap di asrama."

"Hm, aku ke kamar dulu."

"Sekalian Shalat tahajud gih mumpung jam segini."

"Baik."

Zaviyar langsung bergegas masuk kamar mandi untuk wudhu sekalian Shalat tahajud. Dia akan mengaji Al-Qur'an demi menghalau panik. Ia akan berdoa semoga Cyra baik-baik saja, Amin.

***

Jam 4 pagi para Santriwati berhambur untuk mandi. Mereka berebut tempat untuk mandi dan ada juga yang mengantre menunggu giliran.

Lain sisi teman seasrama Adiba bingung tidak menemukan sahabatnya. Ke mana perginya Adiba? Apa mungkin ke toilet? Mereka akan cari setelah membersihkan kamar.

Salah satu dari Mbak pondok membuka bilik kamar mandi yang terkunci. Dia heran kenapa pintunya terkunci dari luar. Saat masuk Mbak itu belum sadar ada orang di balik pintu tepatnya di pojok ruangan.

Mbak pondok bernama Rokayah hendak menutup pintu, tetapi langsung berteriak histeris melihat Adiba. Para Santriwati yang mengantre berhambur menuju Rokayah.

"Ada apa, Mbak?" tanya mereka serentak.

"Mbak Cyra, dia ... dia ada di sini tidur."

"Apa? Kok bisa? Cepat bangunkan Mbak Cyra!"

Rokayah menepuk pipi gembul Adiba beberapa kali. Tetapi, tidak mendapat respons positif. Terpaksa Rokayah memercikkan air ke wajah Adiba.

Adiba perlahan siuman, tetapi rasanya begitu menyiksa pada perut dan Kepalanya. Dia menggerang kesakitan saat kepalanya semakin sakit dan tubuhnya terasa mati kedinginan.

"Tolong semuanya, tolong angkat Mbak Cyra menuju asramanya," pinta Rokayah.

Mereka menolong Adiba untuk di bawa ke asrama. Mereka menggotong Adiba yang terkulai lemah. Sampai kamar para Mbak khusus Mahasiswa kaget. 6 mbak pondok meminta jalan untuk merebahkan Adiba. Tentu Mbak Mahasiswi memberi tempat.

"Astaghfirullah, kenapa dengan Cyra? Apa yang terjadi?" tanya mereka.

"Mbak, ceritanya panjang. Gih ganti baju dan pakaikan selimut, Mbak Cyra dingin banget."

"Ah, terima kasih banyak atas bantunnya."

"Sama-sama, Mbak."

Adiba sudah ganti dan kini banyak selimut membungkus tubuh mungilnya. Teman-temannya bahkan mengusap-usap telapak kaki dan tangan Adiba.

Mereka bergetar ketakutan melihat Adiba begitu menyedihkan. Air mata luruh tatkala wanita mungil itu bergetar seraya merintih kesakitan. Mbak seasrama Adiba berusaha keras agar temannya pulih. Sungguh kejam orang yang tega mengunci Adiba di kamar mandi.

Adiba mulai tenang saat teman-temannya mengoleskan balsam pada perut, kaki dan tangannya. Mendengar salah satu dari mereka hendak ke Ndalem memberi tahu bahwa dia sakit sontak membuatnya angkat suara.

"Jangan, aku tidak mau merepotkan ... jangan khawatir," lirih Adiba.

Setelah Adiba meminta beberapa kali akhirnya mereka menyerah. Mereka menatap Adiba iba pasalnya kondisinya masih saja panas tinggi.

Zaviyar semakin gelisah memikirkan Adiba. Sekarang ini rasanya begitu kalut sampai beberapa kali di tegur Abahnya. Ya Allah semoga Istrinya baik-baik saja dalam lindungan-Mu.

"Dek, sebenarnya ada apa?  Kenapa Mas begitu cemas? Apa Adek baik-baik saja? Dek jangan membuat panik cepat ke Ndalem Mas ingin melihat, Adek. Mas sangat khawatir,"  batin Zaviyar seraya mendongak menatap langit-langit kamar.