webnovel

27. Sudah yakin

"Hei, Nisa! Kenapa kamu tidak membalas pesan saya? Sombong sekali, ya kamu ini! Sama aja sombongnya dengan calon mertua kamu itu,” cerocos Siti lagi bersungut-sungut kepada Nisa, ketika keduanya tidak sengaja bertemu di jalan.

“Maaf, Bu Siti, saya tidak mengerti dengan apa yang dikatakan oleh Bu Siti, saya sama sekali tidak ada hubungan apa pun dengan Pak Dani.” Nisa membuka suaranya setelah beberapa saat tadi ia hanya bergeming saja, karena terkejut juga dengan kehadiran Siti yang tiba-tiba, yang menghadang jalannya.

“Sudahlah! Kamu tidak usah lagi menutupi hubungan gelap kamu dengan Pak Dani, memangnya saya tidak tahu, hah? Seharusnya kamu malu sama jilbab kamu yang panjang itu, seharusnya kamu malu sama lulusan pesantren, bisa-bisanya menjalin hubungan dengan suami orang.”

Siti memaki Nisa habis-habisan, entahlah Nisa sendiri tidak tahu dari mana wanita itu bisa tahu semua rahasia besarnya.

“Saya gak nyangka ternyata ada, ya perempuan liar yang bersembunyi di balik penampilan alimnya,” sambung Siti lagi seraya menyeringai, mencaci Nisa habis-habisan.

“Apa yang saya harus tutupi, Bu Siti? Saya memang sudah tidak ada hubungan apa pun lagi dengan Pak Dani, lagi pula saya pun mau menikah. Dan mengenai Bu Siti tadi yang bawa-bawa penampilan saya, sama sekali gak ada hubungannya dengan sifat seseorang.” Nisa masih berusaha untuk mengendalikan emosinya.

“Iya, aku tahu itu! tapi sebelum itu, aku sudah tahu semuanya dengan hubungan kamu dan Pak Dani. Tapi kamu tetap saja harus ngaca diri, Nisa! Seharusnya kamu malu.” Siti masih menatap Nisa dengan tatapan tajam.

Nisa sendiri tidak tahu dari mana awalnya wanita yang ada di hadapannya itu menatapnya penuh kebencian, padahal sebelumnya hubungan keduanya baik-baik saja. bahkan Siti nampak seperti ingin mendekati Nisa beberapa bulan lalu.

“Jika memang sudah tidak ada lagi yang akan dibahas, saya undur diri, Bu Siti! Karena memang saya pun harus segera pergi dari sini, saya buru-buru.” Nisa pergi setelah pamit kepada Siti, wanita yang sepertinya masih kesal kepada Nisa karena ditinggalkan begitu saja.

“Hei, aku belum selesai ngomong! Kenapa seenaknya aja pergi begitu saja!” Siti berteriak memanggil Nisa, akan tetapi tentu saja Nisa sama sekali tidak menggubrisnya, bahkan menoleh pun tidak, Nisa tetap focus mengendarai sepeda motor maticnya.

“Isshhh!” Siti menggerutu lagi, dan mau tak mau, ia pun akhirnya pergi juga dan kembali mengemudikan motor maticnya untuk pulang ke rumahnya.

Nisa pun sama tetap focus ke depan, menuju pulang karena ia pun sudah lelah, ingin segera merebahkan dirinya di kasur, satu-satunya hal yang ia ingin lakukan setelah setengah harian ini lelah mengajar. Ditambah lagi dengan ucapan Siti yang sedikitnya membuat dirinya gusar.

“Sepertinya memang keputusanku untuk menikah dengan Reza adalah benar, aku gak tahu kenapa Bu Siti jadi ikut campur dengan masalahku, dasar perawan tua gak ada kerjaan!” ucap Nisa bersungut-sungut dalam perjalanan.

Akan tetapi ketika ia sampai di rumahnya, ternyata sudah ada motor Bu Wawat, yang terparkir rapi di halangan depan rumah Nisa. Entah apa yang sedang dibicarakan di dalam.

“Nah, tuh Nisanya datang,” seru Ibunya Nisa ketika wanita paruh baya itu mendapati Nisa, yang baru saja masuk ke dalam rumah.

Nisa mencium punggung tangan ibunya, bapaknya, dan juga Bu Wawat, yang memang sedang berkumpul di ruang tamu rumah Nisa.

“Sini duduk, Nis!” seru Bu Wawat meminta Nisa untuk duduk di sampingnya. Nisa pun menuturinya, ia menghempaskan tubuhnya, duduk di saming Bu Wawat.

“Jadi gini, Reza dan kedua orang tuanya sudah sepakat untuk mengajak kamu nikah dua bulan lagi, bagaimana? Mungkin nanti minggu besok mereka akan ke sini lagi, itu pun kalau kamu memang mau menerimanya.” Bu Wawat menjelaskan kepada Nisa.

Ya wanita paruh baya itu memberikan kabar kepada Nisa bahwa pihak keluarganya sudah menentukan pernikahan untuk Nisa dan juga Reza.

“Nisa setuju saja, Bu, kami sudah menyerahkan semua keputusannya kepada pihak keluarga Bu Wawat.” Bapaknya Nisa menjawab lebih dulu, ya seolah Nisa di sana memang tidak punya kuasa untuk memutuskan sendiri.

“Syukurlah jika memang kamu pun menyerahkan keputusan ini kepada bapakmu, itu artinya kamu memang anak yang baik dan penurut, Nisa!” Bu Wawat menimpali seraya tersenyum simpul kepada Nisa dan kedua orang tuanya.

Bahkan memuji Nisa bahwa ia adalah perempuan yang baik dan penurut kepada orang tua, seolah masalah masa depan Nisa ada pada tangan orang tuanya, bukan pada Nisa sendiri, dengan dalih bahwa orang tua sudah lebih banyak merasakan pahitnya kehidupan, itu artinya lebih banyak tahu hal yang terbaik untuk Nisa, termasuk masalah jodohnya.

“Iya, Bu Wawat, kami tentunya sangat bahagia jika memang pernikahan Nisa pun dipercepat, gak usahlah pacaran lama-lama, takut kebablasan dan hamil di luar nikah nantinya, dan malah akan membuat aib saja untuk keluarga,” tutur bapak Nisa lagi.

Apa yang dikatakan oleh bapaknya Nisa memang ada benarnya juga, akan tetapi bukan menjadi alasan untuk mengambil keputusan dengan cepat, terlebih soal pernikahan, yang umumnya setiap manusia hanya ingin satu kali saja seumur hidupnya.

“Nah, benar apa kata Pak Epi, dari pada nantinya bikin malu keluarga, kan? Lebih baik kita nikahkan aja sekalian,” timpal Bu Wawat setuju.

Nisa sudah tidak punya pilihan lagi, dengan pasrah pula, ia pun tersenyum, dan semoga saja memang lelaki yang akan dinikahinya ini adalah lelaki yang bisa bertanggung jawab kepada dirinya.

“Dan saya pun yakin kalau Reza itu memang lelaki yang baik untuk Nisa,” sambung Ibunya Nisa, yang juga kini ikut berkomentar pula, saling meyakinkan bahwa keputusan untuk menikah adalah keputusan yang sangat tepat.

“Iya, saya berani jamin 100 persen, Bu Aisyah! Kalau memang Reza itu adalah lelaki yang sangat baik, dia itu nurut banget sama Bundanya, gak pernah berbuat yang macam-macam, saya yakin banget Reza bakal jadi suami yang baik untuk Nisa nantinya,”

Sama halnya dengan ibunya Nisa sendiri, Bu Wawat pun tentunya sebagai keluarga dari Reza, tentunya akan memujinya, orang mana pula yang akan menjelekan keluarganya sendiri?

“Baiklah kalau memang begitu, saya hanya ingin menyampaikan pesan itu saya dari adik saya, Bu Aisyah, Pak Epi, bahwa mereka nanti akan ke sini lagi minggu besok, untuk memutuskan tanggal pastinya,” ucap Bu Wawat lagi memberikan kesimpulan kepada Nisa dna keluarganya.

“Iya, Bu Wawat, kami sudah faham, meskipun sebenarnya kami sudah sepenuhnya menyerahkan keputusannya kepada keluarga Bu Wawat, akan tetapi kalau memang dikasih kesempatan untuk memberikan pendapat juga, kenapa gak,” sahut Pak Epi.

“Itulah adik saya itu baiknya, dia gak begitu aja mengambil keputusan, dia masih memikirkan pendapat calon besannya ini, he he he.” Bu Wawat tersenyum, padahal sudah jelas bahwa yang memberikan saran seperti ini adalah dirinya sendiri kepada adiknya, Eneng, calon mertua Nisa.

Ia tahu betul bagaimana sifat asli adiknya itu, yang tentunya selalu ingin mendominasi, akan tetapi demi berhasilnya acara perjodohan ini, tentu saja Bu Wawat pun sebagai Mak Comblang, mempunya tugas untuk membuat keluarga Nisa benar-benar yakin.

“Tuh, Nisa! Dengar apa yang dikatakan oleh Bu Wawat, bahwa calon mertua kamu itu begitu bijak bukan?” ucap bapaknya Nisa lagi kepada Nisa seraya tersenyum bahagia, karena ia begitu yakin bahwa anaknya itu sangat beruntung bisa menikah dengan keluarga Bu Wawat.