webnovel

Awal Pertemuan

"Mereka pasti iri," ujarnya pada diri sendiri sambil tersenyum puas melihat murid-murid di sekolah mengerubungi mobil listrik miliknya yang berwarna kuning menyala. Sebagian dari mereka bahkan berfoto bersama mobil yang ia dapatkan beberapa bulan lalu-hadiah ulang tahunnya yang ke tujuh belas dari orang tuanya.

Mobil itu tergolong mewah dan masih jarang yang punya. Mungkin, di sekolahnya pun hanya dirinya yang memakai mobil listrik semacam itu. Tentu saja, itu menjadi kebanggaan tersendiri bagi Lana.

Lana menunggu sampai semua murid yang berfoto dengan mobilnya selesai, sebelum menghampiri mobilnya itu. Ia mengucapkan permisi dengan sopan agar kerumuman itu memberinya jalan.

Lana menempelkan sebuah kartu seukuran kartu ATM ke bagian tengah bodi samping mobil untuk membuka pintu mobil. Itu adalah salah satu teknologi canggih yang dimiliki oleh mobil listrik milik Lana. Selain itu, teknologi yang tak kalah canggih adalah fitur auto pilot yang mendorong Lana akhirnya nekat membawa mobil itu ke sekolah sendiri hari ini. Karena sejak mendapatkan mobil itu, mama dan papanya masih belum memberi izin agar ia bisa mengemudi sendiri ke sekolah.

Hampir setiap hari Lana gelisah menanti keberangkatan orang tuanya ke luar negeri. Ia sudah tidak sabar untuk mengendarai sendiri mobil kesayangannya itu. Memang, orang tuanya sudah menyediakan sopir pribadi untuk mengantar dan menjemputnya ke sekolah, tetapi Lana ingin mencoba mengendarai mobilnya sendiri. Dan itu baru bisa ia lakukan ketika kedua orang tuanya tidak berada di rumah.

Dalam hatinya tahu bahwa alasan orang tuanya melarang membawa mobil sendiri cukup masuk akal. Selain belum memiliki SIM, jalanan yang harus ia lewati pun cukup berbahaya bagi pengemudi pemula seperti dirinya.

Ada satu tanjakan sekaligus tikungan curam yang sering memakan korban bila pengemudi itu tidak memahami medan hingga tanjakan itu mendapat julukan Jurang Akhir. Namun, jiwa muda Lana yang masih bergelora merasa tertantang untuk itu. Apalagi dengan fitur auto pilot yang ada pada mobilnya, ia yakin mampu melewati itu semua dengan cukup baik.

Pagi tadi, ia berhasil melewati turunan curam itu dengan baik dan selamat. Sore itu pun Lana yakin akan bisa melewati tanjakan itu dengan aman dan selamat. Namun, apa yang ia harapkan ternyata tidak sesuai dengan kenyataan.

Sore itu tanjakan di Jurang Akhir macet. Ada beberapa kendaraan berat yang melintas di sana.

Lana menggerutu sendiri karena truk-truk itu melaju sangat lambat saat melewati tanjakan karena beban muatan yang berat. Akibatnya, kendaraan yang berada di belakang truk itu pun harus ikut melaju dengan pelan. Kendaraan di belakang truk itu tidak bisa menyalip karena dari arah berlawanan pun kondisinya juga padat merayap.

Lana mulai gelisah ketika harus mengemudi pelan-pelan sambil sesekali berhenti cukup lama karena mobil di depannya tidak juga bergerak. Gerimis pun mulai berubah menjadi hujan deras, membuat kegelisahan yang ia rasakan makin bertambah.

Kendaraan di depan Lana sudah kembali bergerak, tapi Lana tidak buru-buru menyusul. Dia ingin membuat jarak agak panjang agar bisa mengambil ancang-ancang saat menanjak sambil menikung nanti. Namun, karena klakson di belakangnya terus berbunyi, meminta agar dirinya segera maju, Lana pun menjadi gugup.

Dengan tangan gemetar ia memegang setir sambil menginjak gas dalam-dalam. Dalam hatinya terus merapal doa agar dirinya berhasil melewati tanjakan itu dengan selamat. Namun, saat hendak menikung, mobilnya tiba-tiba saja berhenti dan tidak bisa digas lagi.

Lana panik, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Selama kursus, dirinya selalu berhasil melewati tanjakan itu dengan baik, tapi ketika diingat-ingat lagi, memang pelatihnya selalu memberi petunjuk apa-apa yang ia lakukan dan sekarang dirinya harus bertanya pada siapa?

Suara ketukan di jendela mobil membuat Lana melonjak di tempat. Kepalanya menoleh dan menatap ke luar jendela dengan ngeri, tapi rupanya yang mengetuk kaca jendela hanyalah seorang petugas pengatur jalan yang memang selalu ada di Jurang Akhir untuk memandu kendaraan yang hendak naik atau turun di sana.

Pengatur jalan itu seperti mengatakan sesuatu, tapi Lana tidak bisa mendengarnya karena hujan deras di luar mengalahkan suaranya. Lelaki itu kembali mengetuk kaca dan memberi isyarat agar ia menurunkan kaca. Lana menurut dan menurunkan kacanya sedikit.

"Ada masalah?" Lelaki itu bertanya.

"Ya. Mobilnya tiba-tiba berhenti." Lana mencicit panik hingga tidak mendengarkan instruksi dari pengatur jalan itu agar dirinya bisa kembali mengoperasikan mobilnya. Sementara itu, seorang petugas lain ikut turun ke jalan dan menyetop kendaraan dari atas agar kendaraan di belakang Lana bisa melewati mobil Lana yang menghalangi jalan dan naik ke atas.

Pemuda itu mendekatkan kepalanya sampai persis di tepi kaca, kemudian memberikan instruksi pada Lana untuk memundurkan mobilnya sampai batas yang ia tunjuk agar mobilnya bisa kembali mengambil ancang-ancang untuk menanjak. Lana hanya membelalak dengan ekspresi bingung dan takut.

Pemuda itu langsung memahami apa yang ada di pikiran Lana. Ia menawarkan diri untuk membantu. "Apa kamu keberatan jika saya mengambil alih kemudi itu hanya sampai di atas saja."

Lana tetap mematung di tempat. Bayangan mobilnya meluncur turun dan masuk jurang menghantui pikirannya.

"Jangan takut. Tidak akan terjadi apa-apa, tapi tolong buka dulu pintunya." Pemuda itu bicara lebih keras dan tegas sambil menunjuk keadaan sekitar. "Kasihan mereka semua."

Suara tegas pemuda itu mengejutkan Lana hingga tubuhnya melompat di tempat. Matanya membelalak lebar, sementara tangannya gemetar di atas setir kemudi.

"A-a-a." Lana tergagap dan tidak ada kata yang sanggup keluar dari mulutnya. Yang ada di pikirannya hanyalah kenyataan bahwa hidupnya sudah berakhir saat itu.

"Tidak akan terjadi hal buruk. Jadi, tolong buka pintunya supaya saya bisa membawa mobil ini naik ke atas." Pemuda itu seolah bisa membaca apa yang ada di pikiran Lana. Ia pun meyakinkan Lana bahwa semua akan baik-baik saja asalkan Lana mau membuka pintu mobil itu.

Tatapan teduh dan tulus pemuda itu membuat ketakutan Lana sedikit reda. Ia mengatur napas, kemudian bertanya, "Aku harus apa?"

"Tolong buka pintunya. Saya bantu sampai naik ke atas."

Lana mengangguk cepat, kemudian menekan tombol untuk membuka pintu dan bergegas pindah ke bangku samping kemudi. Tatapannya bingung sekaligus takut melihat pemuda berkulit gelap itu sudah duduk di bangku kemudi. Dia terdiam sejenak, mengamati monitor dan tombol-tombol yang ada di samping kemudi, kemudian membawa mobil Lana menaiki tanjakan curam itu dengan mudah.

Lana tidak tahu bagaimana cara lelaki itu berhasil mengendarai mobilnya dengan mudah menanjak di Jurang Akhir. Mulutnya menganga lebar melihat petugas pengatur jalan raya itu mengemudikan mobilnya hanya dengan satu tangan, sementara tangannya yang lain melambai dan memberi isyarat kepada temannya yang ada di luar.

"Sudah aman," ujar pemuda itu sambil mematikan mesin mobil. Dia menoleh tiba-tiba ke arah Lana, tersenyum hangat ke arah gadis itu.

Lana terpana. Seketika seluruh tubuhnya terkunci, tak bisa digerakkan. Senyum itu begitu memikat. Dengan deretan gigi putih nan rapi, ditambah tatapan teduh dan hangat, membuat Lana terkesima. Belum pernah ia menyaksikan senyum yang begitu tulus dan menenangkan.

Ohh, bukan berarti dirinya golongan manusia kurang pergaulan yang tidak banyak mengenal orang, tapi sejauh ini sahabat dekatnya hanya ada dua: Karen dan Yura, sementara yang lain hanya sebatas kenalan yang hanya saling sapa untuk sekedar basa-basi semata.

"Kenapa?" Pemuda itu bertanya dengan senyum semakin lebar mengembang di wajahnya.

"Ti-tidak." Lana menggeleng tanpa sadar.

"Ya sudah, saya harus kembali bekerja." Pemuda itu kembali tersenyum. "Saya harap kamu sampai ke tempat tujuan dengan selamat." Ia menambahkan sambil menekan tombol untuk membuka pintu mobil. Namun, gerakannya terhenti ketika sebuah tangan yang dingin dan gemetar menahannya.

"Mungkin, sebaiknya kamu menghubungi orang tuamu agar mereka bisa menjemputmu di sini." Petugas pengatur jalan itu menutup kembali pintu mobil agar tidak menganggu pengguna jalan yang lewat dan menatap Lana iba. Terlihat jelas gadis itu sedang mengalami syok setelah mogok tepat di tanjakan tadi.

Lana menggeleng. "Mereka masih di luar negeri," jawabnya lirih, lupa jika seharusnya dirinya bisa menghubungi sopir pribadi keluarganya.

"Hmm, apa tidak ada saudara atau teman yang mungkin bisa kau hubungi?"

Lana hanya menjawab dengan gelengan kepala dengan raut ngeri.

"Repot juga, ya?" Pemuda itu menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Apa sebaiknya kita menghubungi polisi saja? Mereka bisa mengawali sampai rumah."

"Jangan!" Lana memekik sambil memegang lengan pemuda itu. "A-aku tidak mau mereka menghubungi Mama dan Papa karena aku tidak izin bawa mobil ke sekolah dan aku belum punya SIM." Lana menunduk sambil meremas jari jemarinya sendiri yang berada di atas pangkuannya.

"Ahh, begitu rupanya." Pemuda itu mengulum senyum, maklum sekaligus geli dengan tindakan sembrono Lana. "Kalau begitu, apa saya saja yang membawa mobil ini sampai tujuan?" Ia menawarkan diri karena tidak sampai hati melihat wajah memelas di sampingnya itu.

"Bisakah, please?" Lana meringis dengan kedua tangan terkatup di depan dada.

"Baiklah." Pemuda itu tergelak. "Tapi, saya harus izin dan memberi tahu teman-teman di pos supaya ada yang menggantikan berjaga di sana."

"Oke," jawab Lana sambil menghela napas lega. "Makasih banget."

***