webnovel

Terpesona

"Oya, siapa namamu?" Lana menoleh ke samping, memerhatikan pemuda yang saat ini sedang mengemudikan mobilnya.

"Furi." Pemuda itu menjawab tanpa menoleh.

"Namaku Lana," sahut Lana cepat. Tiba-tiba saja wajahnya memanas, melihat bulu mata Furi yang lentik dan panjang, berbanding terbalik dengan tubuhnya yang tegap dan gagah. Dada bidang yang dibalut kaos putih tipis, rahang tegas, serta rambut basahnya yang berantakan Furi pun tak luput dari perhatian Lana. Dan semua itu membuat Lana sesak napas. Ia pun tersipu dan buru-buru memalingkan wajah.

"Ke arah mana ini?" Furi bertanya mobil sampai pada sebuah pertigaan.

"Lurus," jawab Lana lirih seperti orang kelelahan. Memang itu yang Lana rasakan setelah jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas, ketika dirinya melirik lagi ke arah Furi, debaran di jantungnya kembali menggila, membuatnya terengah-engah sendiri.

Furi menoleh ketika mendengar suara Lana yang lemah bergetar. Dahinya mengerut melihat raut Lana yang seperti tersiksa dan tidak nyaman. Ia pun menyimpulkan bahwa Lana mengalami syok setelah mogok di tengah tanjakan tadi. Dan ia mengambil inisiatif untuk mengentikan mobil di depan sebuah rumah makan yang ada di pinggir jalan untuk membeli teh hangat.

Saat kembali ke dalam mobil, ia menyerahkan teh hangat itu kepada Lana. "Minum dulu, supaya perasaan kamu jadi lebih baik setelah kejadian tadi," ujarnya lembut.

Tubuh Lana semakin terkunci, tak bisa digerakkan. Tatapan Furi, suaranya, dan perhatian kecilnya membuat pikiran Lana berantakan hingga ketika jantungnya terus memompa dengan kecepatan tinggi, tubuhnya pun ikut bergetar. Hal itu tak luput dari perhatian Furi. Namun, pemuda itu mengira bahwa Lana seperti itu karena takut dan masih merasa syok.

"Apa saya membuat kamu takut?" Furi menarik lagi tangannya yang memegang teh hangat itu menjauhi Lana.

"Bu-bukan begitu," cicit Lana. "A-aku ha-"

"Jangan khawatir, saya bukan orang jahat. Saya berjanji akan membawa mobil ini sampai tujuan dengan selamat, setelah itu sudah." Furi menjelaskan hal itu dengan pelan dan lembut, seperti seorang kakak yang sedang memberi pengertian kepada adiknya yang masih kecil. "Tapi sebaiknya kamu minum dulu teh ini supaya badanmu lebih hangat hingga perasaan bisa menjadi lebih baik."

"Ya," desah Lana pelan. Hanya itu kata yang mampu ia ucapkan. "Ma-makasih." Tangannya gemetar saat terulur untuk menerima teh dari tangan Furi hingga membuat teh itu hampir saja jatuh mengotori lantai mobilnya, jika saja Furi tidak dengan sigap menangkap kembali plastik teh itu.

Furi tersenyum maklum, lalu memegang plastik es teh itu, mengarahkan sedotan ke mulut Lana, dan meminta maaf bila sikapnya kurang baik. "Maaf, tapi sepertinya kamu tidak mampu memegang plastik teh ini sendiri. Biar saya yang pegang, kamu minum."

Lana mengangguk. Mulutnya sedikit terbuka ketika ujung sedotan menempel di depannya dan mulai menyeruput teh hangat itu sedikit demi sedikit. Namun, rasa sesak di dada dan panas di wajahnya tidak juga mereda, bahkan setelah teh itu sudah hampir habis. Rasanya malah makin parah. Apalagi ketika tangan dingin Furi tanpa sengaja bersentuhan dengan bibirnya. Sekujur tubuh Lana rasanya seperti dialiri arus listrik bertegangan tinggi.

Lana terkesiap dan refleks memejamkan matanya dengan erat, saat sensasi aneh nan menyenangkan itu mendera seluruh tubuhnya.

"Kamu baik-baik saja?"

"Ya." Lana menjawab masih sambil memejamkan mata. Ini pengalaman baru baginya; perasaan yang ia rasakan.

"Tapi, kamu tidak terlihat baik."

"A-aku hanya merasa sesak." Dan Lana langsung menempelkan telapak tangannya ke depan dadanya.

"Apa kita perlu ke klinik terdekat?" Furi mulai khawatir. "Kamu punya asma?"

"Tidak. Aku hanya ... Namamu seperti cewek," celetuk mengubah topik untuk mengalihkan pembicaraan. Karena perhatian Furi membuat dadanya semakin terasa sesak. Dirinya tidak terbiasa diperhatikan dalam urusan remeh seperti itu dan terbiasa sendiri di rumah. Dengan ibu seorang dokter spesialis kecantikan dan ayah pengacara yang super sibuk, menjalani hari-hari sendiri sudah menjadi rutinitas Lana. Jadi, ketika ada yang tiba-tiba saja memperhatikannya atau memedulikannya untuk urusan sepele seperti menegangkan teh untuknya, itu membuatnya terharu.

Tujuan Lana tercapai. Raut khawatir Furi berubah menjadi bingung, kemudian lelaki itu tertawa. "Kamu bukan orang pertama yang bilang begitu. Mohammad Maghfuri tidak memiliki banyak pilihan nama panggilan. Jadi, yah, Furi satu-satunya pilihan."

Suasana mulai mencari. Lana akhirnya bisa lebih rileks mengobrol dengan Furi, meski dadanya masih saja terasa berdebar-debar. Ia pun sudah bisa memegang sendiri plastik tehnya, sementara Furi kembali mengemudi. Dari obrolan itu, akhirnya Lana tahu jika Furi sudah belajar mengemudi sejak kelas tiga SD. Ayah Furi adalah seorang sopir truk dan beliau adalah sosok yang mengajari Furi mengemudi.

"Berarti kamu bisa membawa truk besar?"

"Bisa. Terkadang jika ada truk yang tidak bisa menanjak seperti kamu tadi, aku yang menggantikan mereka."

"Wah!" seru Lana takjub. "Keren sekali."

"Ahh, tidak. Biasa saja, kok." Furi tersipu mendapat pujian dari Lana. Ia pun mengalihkan rasa malunya dengan berpura-pura mengamati spion sambil bertanya arah menuju ke rumah Lana.

"Setelah tikungan ini, ada jalan masuk ke Villa Bukit Berbunga."

"Baik. Tolong beritahukan arahnya saja karena saya belum pernah ke daerah sini."

"Siap!" Lana mengangkat telapak tangannya dan menempelkannya ke pelipis seperti posisi hormat ketika upacara, membuat Furi tertawa melihatnya.

Setelah berbincang dengan Lana, Furi menilai Lana adalah gadis yang ramah, baik hati, dan ceria. Gadis itu tidak merasa risih sedikit pun dengan kondisi dan penampilannya yang bisa dibilang kurang layak. Bahkan, dia terlihat nyaman mengobrol dan tertawa bersamanya. Senyumnya pun menarik.

Furi buru-buru mengusir bayangan senyum Lana dari pikirannya, juga desir halus yang menggelitik di dalam dadanya. Lana cantik dan menarik, tapi hanya sebatas itu. Ia harus menyadari siapa Lana dan siapa dirinya.

"Rumahku paling ujung."

Suara Lana membuat Furi kembali fokus ke jalanan. Ia menoleh, melihat ke mana jemari Lana menunjuk. Seketika, napasnya tertahan di tenggorokan melihat istana megah yang ditunjuk Lana yang semakin jelas menggambarkan perbedaan di antara mereka yang bagaikan bumi dan langit.

Rumah Lana dikelilingi tembok setinggi dua meter. Gerbang depannya dijaga oleh dua petugas keamanan yang langsung berdiri menyambut kedatangan mobil Lana dan membuka gerbang.

"Terus aja sampai pohon palem yang paling tinggi itu."

Furi mengangguk dan terus melajukan mobil sampai arah yang Lana tunjuk.

"Di sini saja, nggak apa-apa. Nanti biar dimasukin Pak Diding."

Furi hanya mengangguk tanpa mengatakan apa pun atau mencoba bertanya siapa Pak Diding. Dalam pikirannya hanya pergi secepat mungkin, kembali ke pos Jurang Akhir. Perkenalannya dengan Lana merupakan satu momen yang menyenangkan karena dirinya bisa dibilang tidak pernah lagi bertemu atau mengobrol dengan teman perempuan mana pun. Jadi, ia hanya akan mengenang Lana sebagai satu kenangan terindah.

"Maaf, saya harus bergegas kembali ke Jurang Akhir." Furi berkata sambil menekan tombol untuk membuka pintu. Kemudian, tanpa menunggu jawaban dari Lana, kakinya sudah melangkah ke luar mobil. Namun, ketika dirinya sampai di luar, ternyata Lana pun sudah ikut keluar dari mobil.

"Tunggu dulu. Aku panggilkan sopir untuk mengantarmu kembali ke sana." Lana sudah setengah jalan menaiki undakan teras rumahnya ketika tangan Furi menghentikan langkahnya. Ia terkesiap, merasakan sensasi seperti dialiri listrik kembali mendera sekujur tubuhnya tatkala kulit tangan Furi bersentuhan dengan kulit tangannya. Kepalanya menoleh cepat ke arah Furi tepat saat Furi pun sedang menatap ke arahnya hingga selama beberapa saat lamanya mereka saling tatap dalam diam.

Lana merasa seolah tubuhnya meleleh. Tatapan teduh dan menenangkan Furi membuatnya tenggelam ke dalam mata itu. Saat itu, rasanya waktu berhenti berputar dan selama sesaat Lana seolah yakin dirinya menginginkan Furi menyentuh lengannya semakin erat.

Angin tiba-tiba berembus kencang, membuat sebuah daun kecil menabrak kening Furi, menyadarkan Furi agar segera memutuskan kontak fisik dengan Lana. Ia mengalihkan pandangan sambil melepaskan tangan Lana dengan berat hati. "Maaf," ujarnya sungguh-sungguh. "Tapi perlu repot-repot mengantar. Saya bisa menumpang kendaraan yang menuju ke sana." Ia menambahkan sambil sedikit membungkukkan badan, isyarat pamit.

"Tapi-"

"Selamat tinggal, Lana." Furi memotong ucapan Lana, kemudian berbalik badan, dan berlari menuju ke arah gerbang. Ia tidak menoleh lagi ke arah Lana karena tidak ingin meninggalkan hatinya di sana. Meski Lana gadis yang cantik dan menarik, tapi gadis itu tidak akan pernah terjangkau olehnya. Untuk itu, sebelum rasa tertarik itu berkembang menjadi besar, ia harus menghentikannya dengan segera.

Sementara itu, sepeninggal Furi, Lana hanya berdiri mematung di tempat Furi meninggalkannya. Ekspresinya sedih seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya ketika melihat punggung tegap itu menghilang di balik gerbang rumahnya. Ada apa ini? Batin Lana bertanya-tanya.

"Kenapa dia mengucapkan selamat tinggal?" Lana berbicara pada dirinya sendiri. "Tapi tidak, besok aku akan menemuinya dan memberinya hadiah sebagai ucapan terima kasih." Ia berbicara mantap sambil melenggang masuk ke dalam rumah.

***