webnovel

Kecuali aku mati maka dia juga mati

Maira nampak kesulitan dengan beberapa kantong belanjaan ditangannya. Danny dengan cepat merubah raut wajahnya, tersenyum kearah Maira, dia turun dan membantu Maira mengambil belanjaan.

"Mengapa tidak meminta bantuan?"Protesnya namun dengan nada lembut.

"Tidak apa-apa, ini tidak berat kok, aku masih bisa membawanya sendiri.."Sela Maira dengan wajah cerahnya.

"Mengapa harus belanja sebanyak ini?"Danny mengerutkan keningnya sambil memasukkan kantong belanjaan itu ke kursi penumpang tepat disamping Diana.

"Aku membeli keperluan Diana, itu untuk ibu hamil"Jawaban Maira yang ringan dan penuh kebahagiaan membuat raut wajah Danny dan Diana sama-sama berubah.

"Dia yang hamil kok malah kamu yang sibuk.."Gumam Danny tak senang, lagi pula untuk apa membeli susu ibu hamil dan hal lainnya, bukankah bayinya juga bakalan di lenyapkan. Pikir Danny

"Diana adalah sahabatku, jika bukan aku yang peduli siapa lagi?"Kalimat jawaban Maira menohok langsung ke ulu hati Diana, dia memucat seketika.

"Tapi kamu bukan hanya peduli, malah kamu terlihat sangat senang"Mendengar protes Danny yang kini sudah kembali ke balik kemudi, membuat Maira tercenung.

Dia duduk diam di kursinya kemudian menoleh ke arah Diana di kursi penumpang yang pucat "Maaf Dian, apa aku menyinggung perasaanmu?"Tanyanya penuh rasa bersalah.

Diana terpaku tidak tau harus menjawab apa, Maira yang mengucap maaf, tapi mengapa dia merasa tersindir?

"Enggak kok Mai, aku nggak apa-apa. Aku malah makasih banyak sama kamu sudah berbuat sebaik ini padaku. Aku berharap bisa membalasnya suatu hari nanti"Jawab Diana sedikit bergetar.

Maira menyodorkan tangannya dari kursi depan dan menyentuh tangan Diana yang dingin sambil tersenyum" Meskipun aku kecewa karena kamu hamil sebelum menikah, tapi aku tidak menyalahkanmu. Biar bagaimanapun juga ini kesalahan yang tidak kamu sengaja

Pria brengsek itu seharusnya bisa lebih gentle dan bertanggungjawab atas kesalahan yang dilakukannya, bukan seperti hewan yang menggauli lawan jenisnya dan pergi begitu saja.."Maira nampak emosi.

Danny pucat disampingnya, secara tidak langsung Maira sedang mengumpati dirinya. namun dengan kalimat yang tidak terlalu kasar.

"Sayang.. sejak kapan kamu jadi suka mengumpat"Sela Danny selembut mungkin.

"Sebenarnya aku nggak mau mengumpat kak, Astaghfirullahal adzhim.."Maira mengusap wajahnya, sadar dia sudah berkata kasar"Tapi aku kesal dengan pria itu. Bagaimana bisa dia seperti banci?"

"Hush.. kata-kata kasar nggak cocok keluar dari mulut Mairaku.."Potong Danny. Tapi Maira malah berurai air mata.

"Jika aku seorang pria, aku akan bertanggung jawab atas Diana meskipun itu bukan anakku.."Tangisnya menambah kepedihan dihati Diana.

Danny bungkam tak tau harus bersikap bagaimana lagi. Dia adalah pria dan ayah dari bayi yang di kandung Diana, tapi dia tidak akan pernah mau menikahi wanita itu.

Tidak ada yang bisa merubah hatinya dari Maira ke Diana. lagipula kejadian malam itu ada karena inisiatif dari Diana. Penderitaannya saat ini hasil dari perbuatannya sendiri.

"Sudahlah.. masalah tidak akan selesai dengan menangis"Sela Danny.

"Aku nggak apa-apa Mai, tanpa pria itu aku dan bayiku akan baik-baik saja"Diana meneteskan air matanya namun berusaha menenangkan Maira.

'Maafkan aku Maira sudah bertindak bodoh karena cinta butaku. Rasa cinta yang menutupi mata hatiku hingga lupa bahwa kamu adalah orang yang lebih berharga dibandingkan cinta sepihak ini'Gumam Diana dalam hatinya.

Memalingkan wajahnya keluar jendela mobil dan bening kristal lolos meluncur di pipinya.

Mobil kembali melaju dalam kesunyian, mereka bertiga larut dengan pikiran mereka masing-masing.

Saat mereka bertiga sampai di rumah Diana. Jaka sedang tidak berada di rumah, Danny dan Maira tidak lagi menemaninya terlalu lama karena harus mengunjungi butik dimana mereka memesan gaun pengantin.

Sebetulnya Maira menginginkan pernikahan yang sederhana, tapi karena Danny dan orang tuanya yang adalah pejabat, tidak setuju dengan saran pesta sederhana dari Maira

Mereka menginginkan pernikahan yang mewah dan disaksikan banyak orang, hingga lebih dari seribu undangan pun dibagikan.

Danny dan Maira pergi dengan mobil mereka masing-masing, dan Maira masih sempat berpesan agar Diana menjaga dirinya dan bayinya agar selalu sehat.

"Tolong jaga kondisimu Diana, jika ada sesuatu tolong kabari aku segera. Keponakanku harus lahir dengan sehat dan selamat"Pesannya kepada Diana seraya menyentuh perut Diana yang masih rata.

"Kamu tenang saja, kecuali aku mati maka dia juga mati.."Jawaban Diana sedikit dikeraskan untuk menyindir seseorang tapi Maira tidak menyadarinya.

"Jangan bicara soal kematian.. Insya Allah kalian berdua akan selalu baik-baik saja"Sela Maira sambil berpamitan.

Diana merapikan belanjaan Maira dan menaruhnya di kamar. Teringat bagaimana Maira yang bersedih untuknya membuat hati Diana menjadi sangat sakit.

Dia menekan dadanya yang begitu nyeri kemudian dia membenamkan kepalanya di bantal dan mulai meraung keras.

Haruskah dia mengikuti kemauan Danny? bukankah lebih aman dia kehilangan bayinya sekarang hingga Maira tak perlu terbebani soal siapa ayah dari bayinya, dan dengan begitu Maira dan Danny bisa hidup berbahagia?

Tapi... Diana menyentuh perutnya yang masih rata, didalam ada janin yang sedang dalam proses tumbuh, dua bulan kedepan dia akan mulai bergerak karena sudah ditiupkan ruh kedalamnya.

"Bayiku..."Diana terisak "Apa yang harus kita lakukan nak?"Tanyanya dalam tangis pilunya.

"Jika kamu lahir kedunia ini, kita berdua hanya akan membuat bibi Maira terluka. Apa yang harus Ibu lakukan untuk menyelamatkan kamu tanpa harus menyakiti bibi Maira.."

Hati Diana begitu patah, dia mencintai bayinya sama seperti dia mencintai Danny. Dalam rahimnya ada buah dari hasil percintaan mereka malam itu, tapi mengapa dia harus di singkirkan? tidak bisakah dia memilikinya untuk dirinya sendiri?

Bukankah ini satu-satunya harta yang dia punya untuk mengenang Danny?

Pukul tiga sore, Diana barusaja mencuci baju miliknya dan ayahnya setelah mendengar suara ponselnya yang tak pernah berhenti berdering.

Diana melangkah masuk dari arah dapur bergegas mendekat ke atas meja. Namun begitu dia melihat siapa yang menelpon, dadanya tiba-tiba berdebar dan tangannya menjadi kaku.

Panggilan itu berlalu begitu saja tanpa di angkat. Terdapat pemberitahuan lima panggilan tak terjawab.

Tak berapa lama, ponsel kembali menyala dengan id penelpon orang yang sama, Diana menekan debar di jantungnya dan mengangkat panggilan itu dengan berat hati.

"Ha..halo.."Sapa Diana gugup

"Apa kau tuli?"Itu kalimat keras pertama yang didengar Diana dari seberang, dia bahkan menjauhkan sedikit ponsel dari telinganya.

"Aku sedang mencuci jadi tidak kedengaran"Jawab Diana

"Aku tidak peduli dengan alasanmu.."Kecam pria itu kasar "Nanti malam aku akan menjemputmu sesuai rencana" Tubuh Diana bagai tersiram se ember air es. Begitu dingin membuatnya menggigil seketika.

"Jangan harap..!!"Balas Diana sengit

"Diana.. jangan main-main denganku.."Ancam Danny, urat di pelipisnya muncul akibat amarahnya yang mau meledak

"Aku tidak akan menggugurkannya, bunuh saja aku sekalian"Sentak Diana dengan air mata berurai di pipinya.

"Hah... jadi kamu berencana untuk mengaku pada Maira?"Diana terjepit.

"Aku tidak.."

"Cepat atau lambat Maira akan tau. Jika kamu ingin membalas Budi kepada Maira seperti yang kamu janjikan tadi, maka solusi satu-satunya hanyalah dengan tidak melahirkan anak itu."

"Diana.. jika kamu mengikuti saranku maka aku akan melakukan penawaran padamu.. aku yakin ini lebih menyenangkan dibanding kamu mempertahankan anak dalam kandunganmu yang hanya akan membuat kita bertiga menderita"Suara Danny berubah menjadi lembut.

"A..apa itu?"Tanya Diana curiga

"Gugurkan anak itu dan aku berjanji kita berdua masih bisa saling bertemu di masa depan"