webnovel

Kolong Wewe

Jika bukan karena perintah Pak Ustadz yg mewanti wanti nya untuk tidak langsung menghampiri anaknya, niscaya saat itu Bu Sumi pasti sudah berlari memeluknya.

Pak Ustadz sempat berpesan jika ia harus menerima Imam bukan memberinya. Atau lebih mudah nya ia harus membiarkan Imam yg datang ke arahnya bukan malah sebaliknya, karena hal itu akan berakibat fatal untuk anaknya.

Pak Ustadz dan semua orang yg ada di rombongan masih terdiam. Nampaknya, semua orang dalam suasana mencekam seperti ini terlihat patuh dengan perintahnya untuk tetap diam.

Kontras sekali kondisinya pada saat sedang mengumum kan tentang pengajian rutin di lingkungan. Banyak warga yang tahu malah pura pura tak tau. Yang mendengar juga pura pura tak mendengar.

Aah, saat ini bukan waktu yang tepat untuk sorang ustdaz mengeluh.

Mudah mudahan Bu sumi ingat pesan ku yg terakhir. Gumam Pak Ustdaz dlm hati sambil kembali memfokuskan diri pada wanita yang saat ini akan menghadapi sesuatu yang ada di luar akal sehat.

Mahluk berambut panjang dengan wajah menakutkan yg ternyata sedang memegangi tangan kiri Imam. Kedua bola matanya merah menyala melotot tak berkedip memandang Bu Sumi dan pistol mainan yg tergeletak di tanah.

Hidung nya hanya tersisa setengah bagian, sisanya berupa rongga yang di penuhi ulat. Mulutnya yang lebar di penuhi air liur dan berbau sangat busuk. Tampak gigi-gigi nya yang runcing tertanam di gusinya. Kulitnya seperti karet, berlepit karena keriput. Yang tak kalah aneh adalah dua buah dadanya yg besar dan panjang menggantung hampir menyentuh tanah. Dari bawah pusar hingga setengah betisnya tertutup bulu2 panjang yg kasar..

Kembalikan, a..nak say..aa.. Sa..ya.. Mo..hon.. Ucap Bu Sumi dengan terbata-bata.

Dari suara dan wajahnya jelas terlihat rasa takut mulai mengikis keberanian nya. Mahluk yang orang sebut dengan Kolong Wewe itu mendenguskan nafasnya yg berat. Sepertinya dia mengerti dengan ucapan Bu Sumi.

Sesaat dia menoleh ke anak laki laki yang masih dia pegangi tangannya. Sorot Matanya yang semula tajam dengan anehnya mulai melemah saat melihat Imam.

Perlahan Mahluk itu menggendong Imam. Terus dia tatap anak yg baru beberapa jam bersamanya dengan tatapan yang sendu. Bukan tatapan seorang pemburu pada mangsanya.

Ada kasih sayang yang tersirat di balik tatapan Kolong Wewe itu ke anak yang ada di gendongannya. Bu Sumi yang awalnya merasa cemas dengan keselamatan anak semata wayangnya merasa aneh melihatnya. Begitu pula dengan Pak Ustadz, kewaspadaan yang semula ia tingkatkan mulai di kendurkan kembali.

Baru kali ini dia melihat sesosok mahluk gaib yang berperilaku layaknya seorang ibu yg tak rela untuk melepaskan anaknya.

Setelah beberapa mahluk itu menatap Imam dgn sendu kejadian selanjutnya tak kalah mengherankan. Dengan lembut mahluk itu memberi kecupan di kedua pipi Imam.

Anak itu dengan polosnya malah menyentuh wajah menyeramkan yg ada di depannya. Harusnya anak sekecil itu setidaknya menjerit atau meronta, namun kenyataan berkata lain.

Dengan raut wajah yang menampakkan kesedihan, Mahluk itu lalu kembali menurunkan Imam ke tanah.

Imam.. Sini sama ibu nak,

Sini.. Kata-kata Bu Sumi membuat Imam menoleh ke arahnya.

Perlahan anak kecil yang baru berusia 6 tahun itu mulai melangkah mendekati ibu nya.

Bu Sumi yang sudah siap menyambut buah hatinya langsung merentangkan kedua tangannya. Dan airmata yang menumpuk di kelopak matanya harus tertumpah saat Imam kembali berada dalam pelukannya.

Berkali-kali wanita itu menghujani buah hatinya dengan ciuman.

Alhamdulillah, Ya Allah. Ucap nya berkali-kali..

Sesaat Bu Sumi menatap Mahluk yg telah menculik anaknya. Mahluk itu terlihat masih memandangi Imam meski anak itu telah berada dalam pelukan ibu kandungnya.

Aku akan terus mengawasi anakmu. Jaga ia baik baik. Suatu saat aku akan kembali menemui nya.

Bu Sumi tercekat saat mendengar suara seorang wanita di telinganya. Tatapannya bertemu dengan pandangan Kolong Wewe yang saat itu juga menatapnya.

Apa mungkin mahluk itu yang barusan berucap? Tanyanya dalam hati.

Beberapa saat kemudian, mahluk itu mengangkat telunjuk tangannya yang berkuku panjang nan hitam dan SEETT, pistol mainan kesayangan Imam yang tadi tergeletak di tanah sudah berpindah ke dalam genggamannya dengan cepat.

Sekali lagi mahluk itu menatap sepasang anak dan ibu yg ada di depannya itu, sebelum akhirnya ia melesat terbang meninggalkan mereka.

10 Tahun Kemudian..

Nama gw Imam Al Fattah.

Gw adalah anak pertama dari pasangan suami istri yang bernama Idris dan Sumiyati. Kami tinggal di Depok, salah satu kota penyanggah Ibukota.

Usia gw 16 tahun saat ini. Gw punya seorang adik perempuan bernama Ayu. Jarak usianya terpaut 6 tahun dengan ku.

Ia seorang siswa kelas 4 SD. Sedangkan gw baru memulai kelas gw yang baru di kelas 11 dua minggu yang lalu.

Sekolah gw dan Ayu ada dalam satu lingkungan yang sama. Di yayasan tempat kami belajar memang memiliki lembaga pendidikan yang lengkap. Mulai dari jenjang Sekolah Dasar, SMP hingga SMU.

Bayangkan saat jam jam padat seperti awal masuk sekolah, saat isturahat dan saat jam pulang ratusan siswa akan menyemut memadati lingkungan sekolah kami.

Seperti saat ini, gw yang datang dengan berboncengan dengan Ayu hampir hampir tak di bukakan pintu gerbang oleh Mang Iip satpam sekolah..

Mang.

Mang tunggu Mang! Teriak gw sambil menjegal gerbang yang hampir tertutup dengan ban depan motor gw.

Mang Iip melotot seperti tak suka dengan ketidak sopanan gw.

Maaf mang, tolong jangan di tutup dulu gerbangnya Mang.

Tidak bisa, sudah tepat jam 7.. Sudah harus di tutup gerbangnya. Jawab Mang Iip sambil menunjuk-nunjuk jam tangannya.

Gw melirik jam tangan gw yang baru menunjukkan pukul 06.50. Masih kurang 10 menit dari jam 7 batin gw.

Gw suruh Ayu untuk melihat jam tangannya juga. Ternyata sama waktunya dengan jam milik gw.

Mang maaf yaa, kata gw sambil mencoba melihat jam tangan nya.

Mang, jam tangan mamang mati tuh. Kata gw lagi. Ini baru jam 6.50 menit Mang. Jadi belom jam 7 dan belom waktunya gerbang di tutup. Beberapa orang siswa yang ada di belakang motor gw mengiyakan ucapan gw.

Mang Iip melirik jam nya lagi dan mendekatkan nya ke telinga.

Oalah, pantes dari tadi jarum nya diem aja. ya sudah, ya sudah. Lekas masuk sana!! Perintah laki laki yang katanya sudah bekerja menjadi satpam sejak bangunan sekolah kami berdiri.

Gw dan Ayu yang memang berada paling depan langsung menyeruak masuk.

Ayu terlihat berlari menuju gedung sekolahnya yg ada di sisi barat gedung SMU gw.

Sementara gw terus menuntun motor ke arah tempat parkir. Di sekolah gw ada peraturan khusus bagi siswa yg membawa motor dengan knalpot yg sudah di modif harus di matikan mesinnya sebelum di bawa masuk ke area sekolah dan menuntunnya hingga parkiran.

Tiba tiba seseorang menepuk pundak gw dari belakang..

Saat gw menoleh, ada telunjuk tangan seseorang yg tepat menyentuh kening gw.

Sial, lu Jon.. Hardik gw sambil menarik telunjuknya.

Aww..Aww.. Udh Mam, ampun ampun Mam.

Joni salah satu teman baik gw sejak SMP hingga sekarang meringis kesakitan.

Gw tidak memperdulikan teriakannya dan terus menarik telunjuknya.

Dengan santai gw berjalan meninggalkan area parkir, dan Joni masih mengekor di belakang gw karena telunjuknya masih gw tarik.

Ciyee, masih pagi udh pacaran aja lu berdua.

Datang lagi satu kampret yang tahu2 sudah menggandeng pundak gw.

Rio, dia itu teman gw sedari kecil. Selain karena rumah kami berdekatan, Rio juga merupakan sepupu gw. Ayahnya adalah adik dari ayah gw.

Gw yang kasihan melihat Joni akhirnya melepaskan telunjuk nya. Sambil masih meringis, Joni meniup niupkan jari nya seperti orang yg kepanasan.

Teman baik gw di sekolah ada 4 orang, Joni, Rio, Rendi dan Mail..

Gank kami tak bernama, namun siapapun pasti akan malas jika harus berurusan dengan salah satu dari kami.

Kami semua memang menikuti seni beladiri. Gw menekuni pencak silat, Rio dan Joni adalah karateka sedangkan Rendi dan Mail merupakan atlet Judoka sekolah kami.

Tak heran, jika kami berlima cukup di segani di sekolah. Meski kami semua ahli beladiri tapi komitmen kami berlima sama, yaitu tidak mengeluarkan keahlian kami kecuali untuk membela diri atau untuk kejuaraan..

Rendi blom dateng Jon? Tanya Rio.

Joni menggelengkan kepala.

Lu ga tau Jon, kan rumah dia deket ama lu? Tanya Rio lagi.

Lagi lagi Joni membalas dengan anggukan. Ah, ngehe lu.

Jadi mahal amat tuh mulut buat jawab.. Kata Rio sambil menoyor kepala Joni.

Gw yang sedari tadi melihat kelakuan mereka dari belakang langsung menyalip langkah mereka untuk berada paling depan.

Buru2 amat Mam, santai aja Bu Irma ga masuk hari ini.. Kata Rio singkat.

Serius lu, io? Tanya gw penasaran.

Iya, serius nyokap gw kan jadi guru piket hari ini.. Tadi pagi Bu Irma tlp nyokap gw bt minta izin karena anaknya sakit.. Jelas nya lagi.

Yess!!! Hari ini gw selamat. Kata gw tiba2.

Lu seneng amat Bu Irma ga masuk Mam? Pasti lu blom kerjain PR Matematiknya yg kemaren ya? Tanya Joni.

Gw mengangguk senang. Hari ini seperti nya akan jadi hari yang hoki buat gw. Ucap gw dlm hati.

Gw, Rio dan Joni memang sekelas yakni kelas 11.2. Rio bahkan sudah dari kelas 10 duduk satu meja dengan gw. Kalau Joni baru di kelas 11 ini bisa bergabung. Sementara Rendi dan Mail ada di kelas 11.3. Letak kelasnya persis di depan kelas gw.

Karena Bu Irma yg mengajar Matematika berhalangan hadir, 99 persen siswa di kelas gw bisa bernafas lega. Dia memang terkenal sebagai salah satu guru ter'killer' di sekolah kami.

Kenapa gw bisa bilang hanya 99 persen siswa yg lega, karena masih ada 1 persen lagi atau lebih tepatnya 1 orang lagi siswi yang bertolak belakang reaksinya.

Namanya Riri Siswi super cupu dan paling tak populer di seantero sekolah gw. Di antara bidadari-bidadari alias kembang sekolah yang berkumpul di kelas 11.2, ternyata Riri juga masuk ke dalam penjaringan siswi yang terpilih.

Hampir semua warga kelas gw kurang simpatik kepadanya. Klo soal fisik menurut Joni, Riri itu sangat tidak menarik. Rambut berkepang dua, dengan kacamata tebal dan kawat gigi yg berbaris sudah cukup untuk menurunkan nilai jualnya di depan kaum adam.

Tapi yang membuat seisi kelas harus menatap Riri dengan pandangan kesal adalah kelakuannya. Dia sengaja memberitahu wali kelas perihal ketidak hadirannya Bu Irma. Dia melangkahi tugas gw sebagai ketua kelas..

Di saat kelas 11.2 seharus nya berleha-leha di dalam kelas karena ketidak hadiran guru, tau tau Bu Septi a.k.a Nyokapnya Rio yang merupakan guru piket pada hari ini masuk ke kelas kami.

Sialnya lagi, gw dan Rio sedang asyik tidur tiduran di atas bangku yang sudah kami jejer sebelumnya.

BANGUN KALIAN!!! Suara bu Septi yang menggelegar, terdengar seperti halilintar di siang bolong.

Gw dan Rio sontak langsung melompat dan mengambil posisi berdiri.

Enaknya yah, pagi pagi sudah tiduran di kelas. Kata Bu Septi sambil menarik daun telinga gw dan Rio.

Kami berdua meringis tapi tak berani menatap nya. Ikut ibu ke ruangan BP sekarang!!! Perintah nya dengan tegas.

Gw dan Rio lalu berjalan mengikuti Bu Septi.

Yang lain, kerjakan soal di LKS dari halaman 20 sampai 30, setelah itu buat contoh soal cerita dari tiap tiap bab. Ingat, di kumpulkan hari ini juga. Perintah Bu Septi pada teman teman gw yang lain.

Gw sempak eh.. sempat melirik ke arah Joni dan mengepalkan tangan gw ke arahnya.

Joni hanya mengangkat bahunya sebagai isyarat bahwa ia juga tak tahu akan kedatangan ibu nya Rio alias Tante gw itu ke kelas.

Sial, ternyata hari ini bukan hari keberuntungan gw..