webnovel

Catatan Okta

Okta, mahasiswi yang tinggal seorang diri baru saja di berhentikan dari pekerjaannya sebagai pelayan di sebuah kafe. Di tengah perjalanan pulang, dia malah memergoki pacarnya yang sedang bersama perempuan lain. Di tengah-tengah keputusasaannya dalam menjalani hidup, dia berencana mengakhiri hidupnya. Tapi, pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat hidupnya jadi lebih berwarna dari sebelumnya.

Rui_Costa · Teen
Not enough ratings
8 Chs

Mencoba Menutupi dan Mencoba Menyelesaikan

Gama yang sedang terbaring di ruang tengah dengan banyak noda kuah bubur di kaus dan sekitar mulutnya, dia terus memandangi langit-langit dengan wajah datar sambil mengingat kondisi plastik yang mereka bawa waktu itu.

Sekilas mungkin memang terlihat seperti terjatuh di taman dengan bercak dan sehelai rumput di dalam plastik itu.

Tapi, dia melihat ada sesuatu yang salah disana.

Kenapa bahan-bahan selain telur yang seharusnya tidak bisa pecah seperti roti dan sosis ikut di buang? Kalau alasannya karna terkena telur-telur yang pecah, seharusnya tidak perlu di buang dan lebih baik di bersihkan di rumah.

Di tambah tadi malam Okta bilang ingin mencuci rambut. Sebenarnya dia tidak terkejut karna dia tau bentuk rambut Okta tidak sama seperti saat dia masuk ke dalam toilet. Walupun di bilas, tapi terlihat jelas kalau rambutnya jadi lengket dan ada sedikit bau amis walaupun tercium sangat tipis.

Bingung, tapi bukan bingung dengan kondisi seperti ini. Dia lebih bingung bagaimana cara menyelesaikan permasalahan ini kalau Okta sendiri tidak berbicara padanya.

"Kalau Ady, akan melakukan apa yah?" Katanya berbicara sendiri dengan datar sambil menatap langit-langit.

**************

Suasana menjadi hening, menegangkan, dan juga mengerikan.

Fikri yang tiba-tiba muncul entah dari mana langsung memukul tepat di pipi kanan Okta tanpa ragu sama sekali. Bahkan dia sekarang benar-benar terlihat senang karna sudah memukul gadis itu.

Walau mereka semua tau kalau Okta sering di bully oleh Salsa dan Fikri, tapi baru kali ini Fikri memukul Okta layaknya karung pasir yang dia gunakan untuk latihan.

Okta yang tersungkur di lantai hanya bisa terdiam duduk sambil menunduk dan menutupi pipinya dengan tangannya.

"KENAPA KAU MEMUKULNYA PELAN SEKALI, PUKUL DIA LEBIH KERAS LAGI!!?" Teriak Salsa yang terlihat sangat marah ke Fikri.

"Gihihi.. aku baru mau melakukannya sekarang," ucap Fikri sambil memukul-mukul tangannya mendekati perlahan mendekati Okta.

Para mahasiswa yang melihat Fikri mendekati Okta langsung heboh dan saling melempar untuk memanggil bantuan ke luar.

"Ku pikir ada apa ramai-ramai disini. Ternyata Okta,"

Seorang laki-laki yang muncul dari keramaian itu membuat suasana kantin menjadi hening seketika.

Adit yang tengah berlari mau mendekati Okta juga terhenti saat melihat orang yang tidak asing baginya datang di tengah-tengah keributan itu dengan santainya.

"Evan? Kata Okta mereka sudah putus," pikir Adit di kejauhan.

Dengan kaus coklat dan celana jeans panjang dia membawa sebuah buku tebal di tangannya.

Evan yang melihat Okta masih terduduk di bawah pun menoleh ke arah Fikri yang terlihat kesal menatapnya.

"Mau coba-coba jadi pahlawan?" Katanya geram.

Evan yang masih terlihat santai hanya terdiam dan berkedip beberapa kali menatap Fikri yang punya tubuh lebih besar darinya.

"Kau ini bicara apa? Aku tidak suka memukul orang yang lebih lemah dariku. Apa lagi kalau orang itu hanya berani dengan perempuan," katanya sambil mengangkat bahunya melihat Fikri.

Fikri pun tersentak dan melihat beberapa orang di sekitarnya tampak menahan diri untuk tidak tertawa.

"Ayo pergi!!" Bisiknya pelan pada Salsa dan pergi begitu saja. Salsa yang melihat pacarnya pergi langsung bergegas mengejarnya dan pergi dari sana.

Sementara semua orang perlahan-lahan mulai bubar meninggalkan Okta yang terduduk di lantai dan Evan yang berdiri di sebelahnya.

"Mari ku bantu," kata Evan menjulurkan tangannya ke arah Okta.

Okta pun mengangkat kepalanya sedikit melihat tangan Evan dan meraihnya lalu perlahan berdiri tapi masih menutupi wajahnya dengan rambut panjang hitamnya.

"Terimakasih, tapi seharusnya kamu tidak perlu repot-repot membantu ku," kata Okta langsung pergi melewati Evan ke arah tempat duduknya.

Evan benar-benar terdiam saat Okta mengatakan itu sambil pergi meninggalkannya.

Dia berbalik dan melihat Okta merapihkan barang-barangnya ke dalam tas miliknya lalu pergi meninggalkan Adit yang juga berdiri terpaku disana.

Kedua laki-laki yang berdiri saling berhadapan itu hanya bisa diam dan saling memandang karna hanya tinggal mereka berdua di kantin.

****************

Gama yang berada di ruang tengah terus memandangi jam dinding yang bergerak tiap detiknya.

Tepat 30 menit yang lalu, dia sudah merapihkan peralatan makan miliknya lalu mencucinya juga, setelah itu membersihkan ruang tamu tempat dia duduk sekarang.

Walaupun bajunya yang kotor belum di ganti karna dia belum mandi sejak Okta pergi tadi pagi.

Jam menunjukkan pukul setengah 12 siang. Dia ingat kalau saja sekarang dia ada di rumah, pasti sekarang dia sedang menyiapkan makan siang untuk kedua kakaknya.

Sebenarnya dia mau melakukan hal itu juga untuk Okta, tapi karna Okta tidak mengijinkannya menggunakan kompor, dia tidak bisa memasak sebebas itu disini.

*Klek..

Saat mendengar suara knop pintu bergerak, Gama langsung menoleh dengan wajah polosnya lalu kedua alisnya terangkat saat melihat Okta yang tiba sambil tersenyum seperti biasa.

"Loh, kau hanya duduk diam disana? Kenapa tidak menonton TV," kata Okta heran sambil melepaskan sepatunya lalu berjalan masuk ke dalam.

Gama pun mengerutkan keningnya lalu bangkit dan mendekati Okta.

Dia tampak begitu khawatir dan terus memperhatikan setiap sudut tubuh perempuan itu.

"Ada apa?" Tanya Okta heran.

Gama pun tersentak lalu perlahan mendongak melihat wajah Okta.

Alisnya berkedut karna sekilas dia melihat sesuatu yang aneh dengan wajah Okta.

"Kamu sudah lapar? Aku siapkan makan siang dulu yah," katanya berjalan melewati Gama lalu meletakkan tasnya di atas meja dan masuk ke dalam dapur.

Gama yang masih berdiri diam disana pun langsung bergegas pergi ke dapur dan melihat Okta mengeluarkan lauk dari rak piring.

Gama pun bergegas menghampiri Okta dan membatunya membawakan peralatan makan ke depan.

Semua tampak terlihat sangat normal, Okta juga menyadari kalau Gama dari tadi terus memperhatikannya. Tapi dia tetap mencoba untuk tenang agar anak itu tidak khawatir padanya.

"Ka Okta.." katanya pelan.

Okta pun tersentak saat dia sedang menuangkan nasi ke piring yang dia pegang.

Wajahnya menegang karna Gama yang dia tau biasanya selalu diam tidak berbicara. Tapi barusan dia memanggil namanya dengan pelan di hadapannya.

"I-iya, ada apa?" Tanyanya pelan tanpa memperlihatkan ekspresi wajahnya yang gemetar sekarang.

"Kata Ady kalau makan harus cuci tangan. Ka Okta juga bilang begitu ke Gama. Tangan Gama masih bersih karna tadi habis bersih-bersih. Ka Okta belum cuci tangan kan?"

Okta yang masih tertunduk disana tersentak kaget dengan kedua alis terangkat lalu mengangkat wajahnya menatap anak kecil yang terlihat heran dengan kepala miring di hadapannya.

"A- oh iya hehehe kau benar. Tunggu sebentar yah, jangan makan duluan sebelum aku datang," katanya bergegas bangun dan pergi ke dapur.

Gama yang berdiri disana perlahan melirik ke arah Okta dengan pupil mengecil dan tatapan tajam.

*****************

Di dalam kamar mandi, Okta terus memperhatikan pipinya yang bengkak karna pukulan Fikri tadi. Dia terus memikirkan cara bagaimana menutupi luka itu.

Setelah berfikir beberapa saat, dia hanya bisa mendapatkan ide menutupi bengkak itu dengan sedikit bedak agar tidak terlihat memerah dan merapihkan posisi rambutnya untuk menutupi bengkaknya.

Dia sudah rapih dengan rok hitam selutut dan kemeja kotak-kotak merah lengan pendek untuk datang melamar seperti apa yang dia katakan pada Adit siang tadi.

Okta pun perlahan tersenyum untuk menyemangati dirinya lalu keluar dari kamar mandi.

Baru dia membuka pintu, langkahnya terhenti saat melihat Gama berdiri di depannya dengan mata berkaca-kaca menatap Okta.

Okta pun mengerutkan keningnya lalu berjongkok dan mengelus kepala anak itu.

"Ada apa?" Tanyanya.

Tanpa berbicara, Gama pun menunjuk ke arah ruang tamu dengan TV yang masih menyala disana.

Okta berfikir mungkin dia takut karna acara TV tiba-tiba menunjukkan film Horror yang cukup menyeramkan untuk anak-anak.

Dia pun berjalan dan melihat ternyata TV menampilkan berita tentang seseorang yang terbunuh dan di temukan di rumahnya. Pelaku nya masih belum di temukan, suami dan anak-anak nya terus menangisi kepergian orang yang mereka sayangi itu.

"Ooh.. kamu pasti sedih karna orang itu tewas?" Tanya Okta menoleh ke arah Gama yang berdiri gemetar di sebelahnya.

Gama pun menoleh ke arah Okta lalu mengangguk pelan.

"Apa orang jahat itu akan kesini selagi ka Okta pergi? Atau orang jahat itu akan bertemu dengan ka Okta lalu ka Okta menjadi seperti itu?" Katanya cemas.

"Hahaha itu terlalu mengerikan untuk di bayangkan seorang anak kecil," pikir Okta lucu.

Okta pun duduk menghadap Gama sambil mengganti saluran TV ke acara lain lalu melihat Gama yang masih gemetar di depannya.

"Tidak akan ada yang terjadi, aku juga kan pakai angkutan umum. Jadi aku tidak akan sendirian selama di perjalanan," katanya tersenyum.

Okta jadi sedikit tenang saat merasa getaran dalam tubuh Gama mulai berkurang.

"Kalau Gama menangkap penjahat itu bagaimana?" Tanyanya lagi.

Okta sedikit tersentak mendengar perkataan Gama. Tapi kemudian dia pun tertawa lalu memeluk anak itu dengan karna merasa gemas dengan tingkahnya.

"Kurasa itu akan hebat. Tapi kalau itu benar terjadi, lebih baik panggil orang dewasa di sekitar mu. Oke?" Katanya lagi melepaskan pelukannya.

Gama pun mengangguk pelan dan melihat Okta berdiri sambil merapihkan bajunya.

"Yasudah, Adit nanti tiba jam 5 sore. Gama tunggu disini dan jangan nakal yah. Ka Okta pergi dulu," katanya sambil memakai sepatu pantofel miliknya lalu keluar dari rumah.

Gama yang masih berdiri disana pun langsung menoleh ke arah TV dan kembali mengganti ke acara berita yang menayangkan pembunuhan tadi. Tapi karna terlalu lama, berita sudah mengganti topiknya ke berita lain. Dan itu membuatnya terlihat sebal.

"Kangen.." katanya murung.