webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urban
Not enough ratings
247 Chs

#023: Malu Bertanya Sesat Di Jalan

Sama seperti Sarah, Endra juga tahu kalau Asti akan memperlakukan Yanti dengan baik. Sejujurnya Endra seringkali merasa curiga kalau Asti adalah adik kandung Sarah yang semasa kecil diculik orang jahat dan akhirnya terpisahkan. Karena mereka berdua terlalu banyak memiliki kemiripan. Bukan hanya cara bicara, soal pekerjaan juga Endra tak pernah meragukan kemampuan Asti. Meskipun usia Asti masih dua puluh lima tahun sama seperti usia Endra, tapi soal pengalaman dan skill kerja, Endra sama sekali tidak ada apa-apanya jika dibandingkan Asti.

Tapi lupakan dulu soal Asti, kali ini Endra sedang menuju ke rumah Sarah untuk menjemput perempuan itu. Sejujurnya, Endra masih dibuat penasaran soal letak kesalahan dirinya yang dimaksud Sarah kemarin. Baiklah, Endra akan langsung menanyakannya saat sudah bertemu Sarah nanti.

Begitu mobil baru saja terparkir di halaman rumah Sarah, tidak ada sepuluh detik, Sarah sudah keluar dari balik pintu rumah. Lantas menuju mobil dan langsung duduk di samping Endra. Tidak ada sapaan hangat. Selepas memakai sabuk pengaman, Sarah pasti akan langsung sibuk dengan ponsel maupun ipad-nya. Membiarkan Endra mengendarai mobil dalam diam.

"Sebenarnya ... kesalahan apa yang Anda maksud kemarin?" tanya Endra tiba-tiba, saat mobil yang dikendarainya baru menyentuh jalan raya.

"Hah?" Tatapan Sarah masih tetap terfokus pada ponsel.

"Soal ... ucapan Bu Sarah kemarin," balas Endra menegaskan.

Sarah tertawa dingin. "Apa lo pikir gue tipe orang yang akan menjawab pertanyaan orang begitu saja?"

Endra membuang napas pendek. Dia sebenarnya tahu itu, hanya saja dirinya masih ingin mencoba, barang kali ada malaikat yang sedang merasuki tubuh Sarah, kemudian secara ajaib, Sarah jadi orang yang baik, dan bersedia menjawab semua pertanyaan yang mengganggu Endra sejak kemarin.

Tapi rupanya, itu hanyalah halusinasi Endra saja. Sarah seperti Sarah yang biasanya. Akhirnya Endra tidak berkata lagi. Fokusnya langsung tertuju pada jalanan kota yang masih sama ramainya saat Endra berangkat sebelum menjemput Sarah.

Sebenarnya ada satu hal lagi yang membuat Endra bertanya-tanya setiap kali menjemput ataupun mengantar Sarah seperti ini. Sarah tidak suka melewati jalanan ramai, dia sudah mewanti-wanti Endra untuk mengambil jalur yang lebih jauh asalkan tidak melewati jalanan utama. Entahlah. Endra sudah pernah bertanya, tapi seperti perkataan Sarah tadi, kalau dia bukan tipe orang yang akan menjawab pertanyaan orang, apalagi pertanyaan Endra. Jadi Endra hanya bisa menyimpan rasa penasarannya di dalam hatinya saja.

***

"Gimana?" tanya Endra pada Asti. Beberapa saat yang lalu, Endra sudah tiba di kantor, dan tugas Endra setelah itu adalah memeriksa skedul Sarah yang sudah disiapkan Asti.

"Nih lihat sendiri," balas Asti sembari menyerahkan kertas pada Endra.

"Bukan ini yang gue maksud."

"Lah, terus?"

"Gimana Yanti? Dia baru pertama kali kerja di tempat seperti ini. Jadi gue harap, sementara ini lo nggak kasih pekerjaan yang sulit dulu ke dia."

"Oh itu. Dia ada di sana noh," kata Asti sembari mengarahkan telunjuknya ke area paling belakang.

"Area fotocopy?" tanya Endra sedikit terkejut.

Asti mengangguk. "Tanpa lo kasih tau juga gue udah paham, makanya gue tempatin dia di bagian itu dulu. Selain memfotocopy berkas kantor, gue juga udah minta dia buat baca-baca berkas apa aja yang udah dia fotocopy. Tenang aja kok, gue juga udah ajarin dia cara-cara buat memfotocopy dan untungnya dia cepet paham."

Endra mengangguk senang. "Baguslah. Kalo gitu, gue mau nyamperin dia dulu ya."

"Terserah," Asti mengedikkan bahunya acuh tak acuh.

Sejujurnya Endra merasa senang ada orang di kampungnya yang juga bekerja di tempat ini. Meskipun di sisi lain, itu akan menyulitkan posisinya yang hanya sebagai budaknya Sarah, tapi di luar itu Endra merasa tidak sendirian lagi.

"Hei," sapa Endra saat langkahnya sudah hampir sampai di area fotocopy.

Yanti menoleh dan melihat Endra sedang berjalan ke arahnya. "Hei juga, Mas Endra."

"Gimana kerjaan kamu?" tanya Endra kemudian.

"Seperti yang Mas Endra lihat," balas Yanti sembari tersenyum senang.

"Nggak ada kesulitan kan?"

Yanti menggeleng. "Waktu masih sekolah Yanti pernah kerja sambilan di tempat fotocopy, jadi sementara ini nggak ada masalah."

"Nanti kalau kamu sudah bisa, kamu pasti dapat posisi lain kok, tenang saja."

Yanti tersenyum menanggapi ucapan Endra. "Ini cuma soal pembagian tugas saja kok, Mas. Posisi apapun yang sedang Yanti kerjakan, asalkan itu berguna untuk tempat kerja Yanti, maka itu sudah cukup. Soal besar kecilnya posisi itu, sama sekali nggak ada hubungannya. Semua orang sudah memiliki perannya masing-masing. Karena yang terpenting ... kita semua sedang sama-sama mengerahkan tenaga dan pikiran kita untuk kemajuan kantor."

Endra dibuatnya tak berkutik mendengar kata-kata Yanti yang diluar dugaan. Ah, bahkan Endra saja tidak pernah berpikir sampai ke situ. Yanti rupanya jauh lebih dewasa dari kelihatannya. Syukurlah.

"Ya sudah, kalau gitu, kamu yang semangat aja kerjanya ya?" Endra berpesan.

"Siap, Mas," Yanti tersenyum semringah. Lantas tak lama setelah itu, Endra beranjak pergi meninggalkan area kerja Yanti menuju ke tempat Asti. Kalau berdasarkan ucapan Yanti barusan, berarti posisinya sekarang tidak buruk juga. Bukankah selama ini keberadaan Endra juga memiliki andil bagi kantor ini, meskipun hanya sebagai pesuruh Sarah, tapi setidaknya itu sudah cukup dijadikan alasan untuk orang sepertinya yang terlihat tidak dibutuhkan.

"Kenapa lo, kok malah ngelamun?" tanya Asti yang melihat Endra berjalan ke arahnya dalam keadaan seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Gue baru aja dapet pelajaran penting dari Yanti," jawab Endra jujur.

"Apaan?"

Endra hanya tersenyum saja.

"Ya udah kalau nggak mau cerita. Nih, lo tau kan skedul hari ini mau ke mana. Bu Sarah akan mengecek salah satu cabang tokonya yang ada di ujung kota. Lo telepon cabang itu dan bilang kalau semuanya sudah dipersiapkan dengan baik. Termasuk kebersihan toko, kedisiplinan pegawai sama yang terpenting administrasi tokonya, semuanya harus dipersiapkan dengan baik."

Endra mengangguk paham. Dia menerima lembaran kertas yang berisi skedul Sarah hari ini. Mengunjungi cabang toko milik Sarah adalah permulaan, masih ada lumayan banyak pekerjaan yang harus dilaluinya hari ini.

Endra akan berbalik pergi, tapi tiba-tiba saja Asti bersuara. "Nggak ada cerita soal Bu Sarah lagi nih?" tanya Asti kemudian.

Endra jadi teringat. Ada satu yang perlu ditanyakannya. "Gue sempet nanyain ke dia soal alasan dia kenapa memperlakukan gue berbeda, seperti yang lo bilang kemarin."

"Terus Bu Sarah jawab apa?" Asti tampak tertarik.

"Dia bilang ... gue punya kesalahan yang bikin gue pantes ngedapetin perlakuan itu."

"Kesalahan apa?"

Endra mengedikkan bahu. "Gue juga nggak tau."

"Dan Bu Sarah juga nggak bakal ngasih tau lo," balas Asti tepat.

"Kenapa ya? Dia itu nyebelinnya udah nggak bisa ditolerir lagi. Malah ada pepatah juga yang bilang kalau malu bertanya sesat di jalan. Nah ini malah si sadis itu sengaja nyesatin orang padahal udah berusaha nanya baik-baik."

"Pepatah itu nggak ada hubungannya sama sikap Bu Sarah ke lo kali."

"Lah, ya jelas ada dong! Gue kan sering nanya tuh karena nggak tau, tapi sekali pun dia nggak pernah mau coba ngasih tau. Berarti jelas ada hubungannya kan."

Terima kasih buat semua yang udah baca cerita ini. Tolong kasih review buat cerita ini yaa. Thanks.

- AdDina Khalim

AdDinaKhalimcreators' thoughts