webnovel

Bosan? Isekai Aja!

Lazu adalah orang kaya muda yang dilanda kebosanan ekstrem sepeninggal Ayah dan Ibunya. Karena tak sanggup menahan beban tersebut, ia pun akhirnya memutuskan bunuh diri dan kembali dihidupkan sebagai petualang gembel yang sebatang kara.

Andrean_Lazuardi · Fantasy
Not enough ratings
15 Chs

#13 Hutan

Sudah tiga hari berlalu semenjak rencana kami pergi ke Neko Miaw ditetapkan. Sekarang selangkanganku telah sembuh total. Aku bisa berlari ke sana-kemari dan tertawa. Tapi yang lebih penting, hari ini adalah hari kepergian kami menuju kota kucing humanoid.

Sejak tadi malam aku sudah mengemas semua barangku. Tidak banyak, sih. Eh! Bukankah aku ini petualang gembel? Sial! Aku baru ingat kalau aku tak punya barang untuk dikemasi. Yang kupunya hanya jubah lusuh dengan beberapa kantung berisi penuh koin emas.

"Aku ingin segera membelanjakan koin ini," kataku.

"Kau bisa traktir kami makan, Bro," sambung Veo.

"Bukan yang seperti itu! Maksudku, aku ingin mengubah penampilanku. Beberapa helai pakaian dan sabun mandi pasti tidak mahal-mahal amat."

"Belikan aku pakaian juga, Bro. Aku mau baju peri yang ada sayapnya."

"Tenang. Nanti kau kubelikan baju hewan peliharaan," candaku

"Ish! Tega sekali! Eh, tapi kalau ada manik-maniknya bolehlah."

Semua orang telah berkumpul di aula serikat. Aku, Veo, Sena, Carlos, Wina, dan Petit. Ini akan jadi perpisahan yang berat. Tentu saja aku takkan pernah melupakan segala kebaikan yang kudapat di Golemity. Sebagai balas budi, aku berjanji akan membuat kota ini menjadi mahsyur lagi. Walaupun entah kapan waktunya.

"AKU TIDAK BISA MEMBUKA PORTAL TEPAT DI KOTA ITU KARENA MEREKA JUGA PUNYA PENYIHIR YANG MENJAGA BATAS KOTA. JADI, AKU AKAN MENGIRIM KALIAN KE SEKITARAN KOTA ITU SAJA," beritahu Petit.

"Ya, tak masalah," sahutku.

"Setelah pergi, mungkin kalian tidak bisa kembali ke sini dalam waktu dekat. Jarak Golemity dengan Neko Miaw cukup jauh, sekitar satu sampai dua minggu perjalanan kaki," jelas Wina.

"Bagaimana dengan portal teleportasi?" tanyaku.

"TIDAK BISA! KALIAN TIDAK SEDANG MENJALANKAN QUEST, JADI AKU TAK BISA MELACAK KEBERADAAN KALIAN SAAT SUDAH SAMPAI DI SANA."

"Begitu, ya." Aku menghela napas. "Kurasa ini akan jadi perpisahan untuk sementara. Terima kasih atas bantuan kalian berdua, Wina, Petit." Aku merentangkan tanganku untuk memeluk mereka.

"Aku akan merindukanmu, Lazu. Semoga kalian berhasil menemukan petapa itu," pesan Wina.

"Bro! Aku sangat senang bisa mengenal kalian!" Veo juga mendekat dan menyalami mereka.

"KAU MARMUT YANG UNIK. AKU TIDAK MEMBENCIMU. TAPI KAU TETAP MUSUHKU!" Petit menarik tangannya cepat-cepat.

Selepas berpamitan, akhirnya perjalanan pun dimulai. Petit segera membaca mantra pembuka portal. Dalam hitungan detik, lorong besar pun terbuka. Aku, Veo, Carlos, dan Sena berjalan bergantian memasuki lorong tersebut. Sebagai orang terakhit yang memasuki lorong, sekali lagi kulambaikan tangan perpisahan kepada Wina dan Petit sebelum akhirnya sirna termakan cahaya menyilaukan.

~~o0o~~

Kami sampai di sebuah hutan yang ditumbuhi banyak pohon cemara. Seperti kata Petit sebelumnya, ia hanya bisa mengirim kami di sekitaran kota Neko Miaw. Namun, aku tak menyangka sekitaran itu maksudnya adalah hutan lebat tanpa arah yang jelas. Ya, aku tidak tahu harus jalan ke arah mana.

"Serahkan padaku, Bro! Dulu aku pernah ikut pramuka," ujar Veo jemawa.

"Aku tidak yakin," kataku.

"Sama," timpal Sena.

"Aku juga." Carlos menambahi.

"Eh?! Kalian meremehkanku? Baiklah! Akan kubuktikan kalau—"

"Sepertinya lewat sini."

"Oke. Ayo kita pergi."

"Tunggu aku, Tuan Puteri!"

"Hey! Bro! Kalian pergi ke mana?! Dengarkan aku dulu! Hey!"

"Cepatlah, Veo. Nanti kau tersesat," ujarku menahan tawa.

"Astaga. Mereka benar-benar meremehkanku." Roden itu akhirnya menyusul kami.

Langit masih cukup cerah bagi kami untuk hilir-mudik di dalam hutan. Sejujurnya aku juga tidak tahu ke mana jalur yang tepat. Tapi daripada harus menyerahkan semua ini kepada Veo, lebih baik kami kesasar sampai malam.

Nyaris satu jam habis tersita di dalam hutan cemara yang menyebalkan ini. Seandainya pohon-pohon ini bergerak, pasti aku akan menendangi bokong mereka sampai menjerit-jerit saking kesalnya. Lihat saja! Kami seolah hanya berputar-putar di titik yang sama.

"Hey! Kalian masih belum tertarik mencoba keahlianku?" Veo mencegat kami dari depan. "Aku ini pembina pramuka, lho!"

"Najis," tolak Sena. "Ayo, Lazu. Biar saja kita tersesat sampai besok."

"Ya, ayo." Kami berjalan melewati Roden itu.

"What?! Ayolah! Aku ini bisa diandalkan, kok! Coba lihat! Hey! Lihat! Jangan pergi! Hey! Astaga!"

Perjalanan kembali berlanjut. Aku mulai kehausan karena lanas yang terik. Sial! Aku lupa bawa persediaan air gara-gara Veo menanyakan selakanganku melulu. Sekarang semuanya jadi kacau!

"Aku capek," kata Sena.

"Aku capek dan haus," timpalku seraya mendengus berat.

"Kalian capek?" Rongga mata Carlos menyipit.

"Sena, apa ada cara supaya kita bisa keluar dari hutan ini?" tanyaku putus asa.

"Hmm ... entahlah. Aku nggak tahu." Gadis itu duduk beristirahat.

"Bro! Bro! Lihat! Ada lumut di sini! Lumut selalu tumbuh membelakangi matahari. Jadi jalan keluar kita pasti lewat jalur lurus ini." Veo berusaha menarik perhatian kami.

"Hilih, kintil." Sena masa bodo.

"Jangan sekarang, Veo. Kami sedang tak ingin bercanda."

"Aku serius, Bro! Aku pernah juara satu lomba menelusuri jejak di pramuka dulu. Kalian pasti takkan menyesal mengikutiku!"

"Bagaimana, ya?" Aku sok sibuk.

"Percayalah! Sekali saja."

"Hmm ...." Aku melirik Sena dan Carlos. Tampaknya mereka sudah pasrah. "Ya sudah! Veo yang memimpin jalan. Kita ikuti dia."

"Mantap! Ayo, berbaris! Dalam hitungan ketiga harus rapi!" seru Roden itu. "Hey, kau! Badanmu kurang tegak!" Ia meneriaki Carlos.

"I-itu bekas skoliosis, Pak."

"Baik! Sekarang ikuti aku. Hap! Hap! Ayo, jalan!" Veo berjalan dengan tegas.

Dalam deret yang matematis dan rapi, kami semua bergerak sesuai arahan. Rasanya seperti berada dalam barisan marching band di festival besar. Veo yang berdiri di depan berperan sebagai mayoretnya. (Mayoret versi buriq. Ehem!)

Kami terus menelusuri hutan, menerabas semak, menabrak pohon, menginjak tai, hingga akhirnya batas dari hutan ini mulai terlihat. Mataku terbelalak, begitu pun Sena dan Carlos. Tanpa basa-basi, kami langsung berlomba keluar dari hutan ini.

"Hap! Hap! Satu-dua! Eh! Hey! Jangan lari! Hey! Aduduh! Aduh!" Saking antusiasnya kami sampai tak sadar menabrak Veo sampai terjatuh ke tanah. "Tunggu aku, hey! Uhuk! Uhuk!"

Ujung dari hutan cemara ini langsung membawa kami menuju perbatasan kota Neko Miaw. Aku bisa melihat tembok raksasa yang mengelilingi jota tersebut dan atap menara-menara tinggi bergaya Jepang yang menjulang dari balik tembok. Kota ini berbeda jauh dari Golemity, baik dari arsitektur maupun kondisinya.

Mataku tak bisa lepas dari hiruk-pikuk kota yang terdengar sampai keluar. Kira-kira ada apa saja di sana? Sirkus kucing? Atau pesta bola bulu? Ah, aku sangat penasaran!

"Kota ini sepertinya menarik," komentar Sena. "Berbeda jauh dari dunia bawah."

"Aku ingin masuk!" kataku bersemangat. "Ayo, teman-teman!"

"Tentu. Ayo—"

"SENA!" Tiba-tiba saja kepala Carlos kembali terbakar api hitam dan rongga matanya bersinar.

"Ayah!? Lagi?"

"Oh, gawat!" Aku menepuk dahi panik.

"AKU SUDAH MENYANDERA KEDUA TEMANMU. NYAWA MEREKA DALAM BAHAYA!"

(Bersambung)