webnovel

BETTER WITH YOU

"Apakah akan lebih baik jika kamu masih di sini dengan sejuta kejahilan dan sikapmu yang menyebalkan daripada seperti ini, Ju." Dia Jessica Stefany Auryn. Hidupnya berubah sejak insiden tiga tahu yang lalu, sosok periang dalam diri Jessica seolah ikut hanyut dalam ombak hari itu, dan karena insiden itu ia telah kehilangan getaran dalam hatinya pada sosok yang disebut laki-laki sejak usia 20 tahun saat ia kehilangan cahayanya. Jessica kehilangan teramat kehilangan, hatinya patah saat sedang berada dipuncak kasmaran membuat hingga akhirnya hati Jessica membeku, tertutup dari semua dan tidak mengizinkan satupun pria bisa mendekatinya. Cahaya yang menyinari dunianya telah pergi membawa hati, perasaan dan separuh nyawanya menyisakan sesak, tangis, hampa dan gelap di dunianya. Tapi, takdir seolah tak ingin membuatnya bersedih terlalu lama. Di saat hatinya sedang hancur, tak sengaja Jessica bertemu dengan cahaya yang sama persis dengan cahayanya yang telah hilang. Juan, laki-laki yang ternyata adalah produser eksekutif setiap karyanya membuat Jessica terkesiap dengan takdir yang ada padanya. Juan terlalu mirip dengan cahaya yang membuat Jessica selalu bingung, bimbang, kecewa, marah, cemburu dan bahagia bersamaan. Awalnya, Jessica mendekati Juan karena percaya dia adalah orang yang sama dengan masalalu Jessica yang membuat perasaan dan getaran itu perlahan kembali tapi keadaannya berbeda. Tapi, Juan menyakinkan kalau dia bukanlah masalalu Jessica dan Saat Jessica mencoba pasrah dan tak memperdulikan cahaya itu, cahaya bernama Juan itu mendekatinya. "Setelah flashdisk itu aku dapatkan, aku tidak akan mengganggumu lagi, Jess." Entah apa maksud dari ucapan Juan saat itu, tapi setidaknya beberapa bulan terakhir ia dekat dengan wanita cantik yang menganggapnya istimewa itu. Lalu, bagaimana bahagia akan terwujud jika cahaya itu tak benar-benar menganggapnya berarti, karena Juan ternyata memiliki niat lain?

Itsme_Abigel · Urban
Not enough ratings
22 Chs

"Justin...," lirih Jessi.

"Justin!" lirih Jessica menyerukan nama laki-laki yang sangat ia cintai itu.

Suaranya sudah mulai serak, nafasnya sudah semakin sesenggukan, terdengar sangat menyesakkan. Tapi, siapa yang hendak menghapus air matanya? Jika Juan hanya bisa menatapnya dari jauh dengan tatapan hancur.

Lama ...

Lebih dari satu jam wanita cantik bernama Jessica itu hanya tersungkur di depan pusara Justin sambil menangis sesenggukan hingga matanya sudah hampir tak terlihat karena terlalu sembab.

"Ju, kamu tahu. Aku menemukan kamu yang lain, awalnya semuanya hampir sembilan puluh delapan persennya kamu. Bahkan sempat ku pikir dia adalah kamu yang selamat dan lupa ingatan. Tapi aku salah, dia dan kamu berbeda jauh... Kamu tidak mungkin mengacuhkanku apapun yang terjadi... Tapi dia, dia membuatku membencinya, Ju. Aku tidak suka melihat orang yang sangat mirip denganmu itu!"

"Ah iya, Ju ... Beberapa waktu lalu Michele mengatakan kalau kamu masih hidup. Aku berharap kalau kata-kata Michele itu benar... Tapi, Ju ... jika benar kamu masih hidup, aku salah apa sampai kamu membiarkan aku menahan segala rindu dan sakit selama ini?" protes Jessica dengan air mata yang mengalir deras.

Setelah cukup tenang, Jessica mulai mengutarakan semua isi hatinya. Seperti biasa, meskipun hanya pusara dan tidak mungkin bisa menyauti ucapannya, Jessica selalu bercerita di makam Justin. Apapun itu!

"Ju, kamu tahu? Ada seseorang yang mencari ku beberapa minggu yang lalu. Dia bertanya apakah kamu pernah menitipkan sesuatu padaku sebelum kamu pergi! Tapi ku katakan, tidak...," papar Jessica. "Kamu memang tidak pernah menitipkan apapun kan? Hanya flashdisk yang memiliki kata sandi itu saja kan? Kau memang menyebalkan, aku bahkan tidak bisa membukanya sampai sekarang," protes Jessica sambil terkekeh seakan Justin akan merespon dirinya.

Jessica berusaha menyembunyikan kesedihannya dibalik tawanya yang terdengar miris bagi Justin yang mendengarnya.

"Bos, Nona Jess mengungkit soal flashdisk! Apa kamu pernah memberikan flashdisk padanya?" kata orang suruhan Juan yang sekarang sudah berada di dekat Juan.

Sejak Jessica membahas Flashdisk, Juan hanya diam. Ia sempat mencari keberadaan flashdisk itu dulu, tapi akhirnya ia menyerah dan ia berpikir kalau flashdisk itu sudah hilang bersama ledakan kapal pesiar tiga tahun yang lalu.

Baru saja tadi malam Juan membahas flashdisk itu, setelah melihat titik terakhir flashdisk itu. Agency Els adalah tempat terakhir saat flashdisk itu kembali memberikan sinyal beberapa waktu yang lalu.

Tapi mendengar apa yang dikatakan Jessica, Juan menjadi khawatir. Ia benar-benar harus bergerak cepat agar tidak ada Leo dan kelompoknya tidak menggangu ketenangan Jessica.

"Flashdisk? Ternyata benar, flashdisk itu memang ada bersama dengan Ica?" gumam Justin bertanya-tanya. "Aku harus mencari tahu di mana Ica menyimpan flashdisk itu sebelum ada orang lain yang tahu."

"Ya, itupun karena aku tidak sengaja menemukan flashdisk itu di jas yang kau berikan padaku malam itu! Kau tidak benar-benar meninggalkannya untukku, kan? Karena aku bahkan tidak mengetahui kata sandinya. Lagian, bagaimana bisa kau membuat flashdisk memiliki kata sandi, Justin...," kata Jessica melanjutkan protesnya setelah ia selesai mengusap air matanya.

Drttt Drttt Drttt...

Ponsel Juan berbunyi, ia tidak mengambilnya melainkan menekan alat canggih yang ia pasang di telinganya untuk menerima telepon.

"Halo," jawab Juan dengan nada datar. Matanya tetap tertuju pada Jessica yang sampai terduduk di tanah karena tak mampu membendung kesedihannya.

"Kak, kamu di mana? Team broadcast film Jess dan Juss meminta waktu untuk persentase."

"Aku di kuburan, Vin."

"Apa kakak ipar pergi ke kuburan lagi hari ini?"

"Iya. Tunggu, Lima belas menit lagi aku sampai di rumah. Sekarang kamu urus dulu," titah Juan.

"Oke."

Tutt!

Baru saja Kevin menjawab, Juan sudah menekan kembali earpod wireless di telinganya. Ia mematikan panggilan teleponnya sepihak.

"Kawal Jessica pulang sampai apartemennya dengan selamat!" perintah Juan sebelum ia pergi dari sana karena telepon dadakan yang mengatakan ia harus meeting.

"Baik, Bos."

Juan mengangguk, ia menoleh pada Jessica yang nampak kusam dengan pakaiannya. Jessica berjalan lunglai menuju mobil yang ia parkir persis di sebelah pintu makam. Sejujurnya, perasaan Juan tidak tega melihat Jessica seperti itu. Tapi lagi-lagi ia harus menahan diri.

"Aku masih mencintaimu, Jess. Aku harap aku bisa memutar waktu dan membuat semuanya lebih baik agar kita bisa bersama tanpa terpisah seperti ini," gumam Juan dengan mata yang sudah memerah, hidung merah, ia nampak tak mampu lagi membendung kesedihannya. Terlebih melihat kondisi Jessica sekarang.

Dengan terpaksa dan berat hati Juan melajukan mobilnya pergi dari pemakaman. Meninggalkan Jessica yang baru saja masuk ke dalam mobilnya.

Mobil yang dikendarai Juan melaju dengan kecepatan sedang, membelah keramaian kota. Ia kembali ke apartemennyanya sesuai dengan pesannya tadi, lima belas menit.

"Eh, Tuan. Sudah pulang?"

Juan mengangguk. "Kalo ada apa-apa saya ruangan ya, Bi!" pesan Juan datar. Ia langsung menuju ruangan pribadi yang tersembunyi dibalik lemari kaca dilantai dua.

"Tapi bibi mau pulang, Tuan," gumam bibi itu pelan karena Juan sudah menghilang dari hadapannya.

Juan menekan tombol di pinggir lemari lalu lemari pun berputar membawanya masuk ke dalam ruangan pribadinya itu.

***

Sementara di makam, Jessica terlihat sudah pergi menjauh dari makam Justin dan kini telah masuk ke dalam mobil, Jessica berdiam sejenak, ia tak langsung melesatkan mobilnya pergi dari pemakaman. Ia masih menenangkan dirinya, Jessica membuka kacamatanya. Terpampang matanya yang sembab karena air mata yang turun tanpa henti, tadi.

Pandangan Jessica kembali mengarah pada makam Justin. "Aku pulang dulu, Ju. Nanti aku datang lagi," gumam Jessica sebelum untuk kesekian kalinya ia mengusap pipinya.

Setelah itu, Jessica akhirnya melajukan mobilnya pulang ke apartemen. Ia melajukan mobilnya dengan santai, sambil menikmati kesedihannya hari itu.

Tiga puluh menit berlalu, ia sampai di apartemennya. Setelah memarkirkan mobilnya di basemen Jessica berjalan menuju lift, tak berselang lama setelah ia menekan angka dimana unitnya berada, pintu lift terbuka lebar.

Jessica masuk, raut wajahnya masih sama dengan sebelumnya tidak ada senyum di sana. Hanya bekas tangisnya yang masih jelas terlihat.

"Hatiku berusaha keras untuk menerima kepergian Justin tapi melihat Juan, kenapa hatiku terasa tidak karuan. Apa aku boleh berharap kalau Juan adalah Justin?"

Harapan, entah boleh tidak ia berharap tapi harapan itu telah muncul di hatinya sejak awal pertemuan mereka. Bersamaan dengan harapan itu, telah hadir keyakinan bahwa mereka adalah orang yang sama meski Juan menentang hal itu.

Langkah Jessica semakin berat, ia tak punya semangat untuk menjalani sisa hari ini. Lemas, lesu, sedih, semuanya bercampur aduk dalam relug hati Jessica saat ini.

"Aku merindukanmu, Ju... Sangat merindukanmu!!!"

***

Bersambung ...