webnovel

Berandal SMA inlove

Blurb : Di kehidupan nyata, Brenda dan Gina memiliki nasib kontras. Brenda Barbara terkenal dengan sikap angkuh dan sombong sebagai Ratu sadis sesekolah, sedangkan Gina Stefani hanya siswi berkacamata yang kumuh, jerawatan, penyuka novel romantis. Karena sebuah tabrakan maut, mereka terpaksa merenggang nyawa bersama. Membuat Brenda dan Gina mendadak bertransmigrasi ke dunia novel. Dengan memerankan dua tokoh berbeda. "Selama ini aku gak pernah bahagia, Ka. Prestasiku gak pernah diapresiasi, aku juga gak ada temen. Menurut kamu apa yang bisa aku banggain dari hidup aku yang kayak gini?" Reynand Dirgantara, laki-laki yang menyimpan banyak luka di dalam dirinya. Selalu mendapat peringkat 1 besar, ternyata tidak membuat orang tua Reynand puas. Serta tidak ada satupun siswa-siswi SMA Tunas Bangsa yang mau berteman dengannya. Alasannya, karena Ayah Reynand merupakan seorang koruptor. Gina Stefani Alexander, gadis cantik yang berpenampilan kumuh dan berkacamata yang mau berteman dengan Reynand. Tanpa sengaja, keduanya saling jatuh cinta. Dengan semua masalah yang ada, apakah semesta merestui mereka untuk bersatu? Dan Alter orang yang sangat ingin balas dendam pada Brenda or Choco itu, mempunyai kesempatan dan membuat Choco jadi Babunya Brenda yang dikenal sebagai Ratu sadis, menjadi Choco Valentine. Si tokoh figuran yang lemah dan miskin. Sedangkan Gina dengan bantuan Reynand yang semasa hidupnya sering di-bully, menjadi Cherry Camellia. Si tokoh utama yang sombong dan membully siswa lain dalam novel favoritnya

RinaMardiana_22 · Teen
Not enough ratings
56 Chs

Gimana rasanya Brenda

Selamat Membaca

"Tiup lilinnya, tiup lilinnya, tiup lilinnya sekarang juga. Sekarang ... juga ... sekarang juga. Horeee!"

Ruang tamu minimalis dengan cahaya temaram itu dibisingi oleh nyanyian heboh dari orangtua yang sedari tadi menemani. Brenda meniup lilin yang tertancap pada bolu cokelat di atas meja, disambut dengan tepuk tangan dari dua orang di sisinya.

Gadis itu tersenyum malu-malu, masih duduk di keramik diapit Ratih dan Aldo. Tak lupa hiasan-hiasan bling-bling ala pesta berserakan, juga sang Bapak setia memakai topi kerucut dan kostum badutnya.

"T-terima kasih ... Bapak sama Ibu ... nyiapin ini u-untuk Choco," lirih Brenda, dadanya sesak ingin terisak lagi.

"Sebagai orangtua yang mencintai anak tunggalnya, wajar jika merayakan hari penting ini, 'kan?" Ratih berujar, memeluk kembali tubuh ringkih Brenda.

 "Sekarang Choco udah resmi gede, anak Ibu yang caaaantik sedunia."

Tiba-tiba sosok Aldo menengahi sembari cengar-cengir.

"Nah, kalo gitu, mending sekarang masuk sesi potong kuenya. Bapak udah laper, hehehe. Dari tadi jadi badut mulu."

"Siap, Komandan!" Brenda melepas pelukan hangat ibunya, lalu membuat gestur hormat membuat seluruh orang di ruangan tertawa geli.

Selagi bolu cokelat bulat dipenuhi meses itu dipotong perbagian seperempat, Ratih menaruh sebuah kotak kado motif polkadot dengan tali pita di atas meja. Dia sodorkan pada sang anak yang sibuk potong kue.

Sontak Brenda melirik, kedua alis menyatu bingung. Dahinya mengerut.

"Ini, Nak. Hadiah spesial dari Ibu."

"H-ha-hadiah?" tanya Brenda terbata-bata.

"Lebih tepatnya hadiah dari kami," sambung Aldo, sedikit kesal karena tidak dianggap. 

"Ibu licik, padahal dia sendiri diam-diam mecahin celengan ayam Bapak demi ka—"

"Shhttt! Ember banget punya cocot." Telapak tangan Ratih lebih dulu membungkam mulut Aldo hingga pria itu tercengang. Ratih balik tersenyum pada Brenda. 

"Kamu buka kadonya aja sekarang. Nggak usah dengerin bacotan bapakmu."

"Ah, oke," jawab Brenda ragu-ragu. Ia terkekeh menonton drama comedy pasutri itu yang selalu mengocok perutnya. Begitu tali pita merah ditarik, bungkus kado disobek-sobek sampai akhirnya isi hadiah itu terlihat. Brenda melongo, mengangkat kotak kardus berisi sepatu baru.

"Gimana? Suka nggak sama hadiahnya?" tanya Ratih, merengkuh bahu Brenda.

 "Maaf, Ibu belinya yang murah. Uang Bapak adanya segitu, tapi setidaknya layak dipakai untuk ke sekolah kamu."

"Iya, Bapak lihat-lihat sepatu kamu yang dulu udah mangap depannya," timpal Aldo angguk-angguk. 

"Coba kamu pake sepatu yang dipegang. Pasti cucok meong."

Meskipun tampaknya mereka terpaksa, Brendacukup mengangguk patuh dengan mata berkaca-kaca. Baru kali ini ia mendapatkan perhatian seperti ini, serasa terlahir kembali sebagai orang yang jauh berbeda dengan sosok Brenda yang dulu.

Ia beranjak, menghentakkan kedua kaki ke lantai setelah memasang sepatu hitam putih itu yang pas dengan ukuran kakinya. Ratih dan Aldo membulatkan mulut, terkagum-kagum sambil tepuk tangan.

Pipi Brenda memancarkan rona merah. Lantas duduk duduk lagi.

"Wahhh, cantiknya anak Bapak!" puji Aldo geleng-geleng.

"Ishh, anak kita, dong! Dipikir Choco lahirnya dari rahim kamu?!" protes Ratih sebal, menjitak dahi Aldo. Kemudian menengok ke arah Brenda.

 "Nak, besok pakai ke sekolah, ya. Simpan baik-baik, sepatu yang lama biar Ibu jual ke tempat rongsokan. Itung-itung dapet uang jajan."

Sudah cukup, Brenda tak kuat menahan lagi. Dengan rasa senang bercampur haru, ia langsung mendekap kedua orang penebar kehangatan itu. Bak seorang anak yang menangis usai bertemu orangtuanya selama puluhan tahun berpisah.Aldo maupun Ratih saling berpandangan sejenak. Lalu tersenyum simpul.

"Selamat ulang tahun, Choco Valentine."

"Terima kasih, Bapak Ibu!" jerit Brenda disela terisak. 

"Choco janji, Choco akan jaga sepatu ini sampai titik darah penghabisan!"

Ratih terkikik pelan. 

"Lebay, ah."

"Biarin. Hehehe."

Brenda pikir, kehidupan barunya sebagai tokoh figuran di dunia novel ini akan membawa bencana. Namun, ia rasa tidak masalah menjadi Chovo Valentine

***

Irama lagu dangdut yang viral pada masanya itu sudah menggelegar di waktu sepagi ini. Asalnya dari rumah tetangga. Pancaran sinar sang surya menerobos masuk ke kaca transparan kamar sempit tersebut. Jarum jam bergeser, tepat menunjuk angka 7:12. Sosok gadis berkepang dua dihiasi kacamata kotak itu berdiri di depan cermin, membenarkan tatanan dasi usai mengenakan seragam SMA. Sedikit bergumam mengikuti bait lagu dangdut dari tetangga. Selesai mengenakan dasi, ia sigap meraih tas selempangnya yang digantung. Tersenyum lebar saat memasang nametag bertuliskan nama 'Choco Valentine' pada dada kirinya.

"Sip, beres."

"Neng Choco Yuhuu! Sarapan untuk Tuan Putri sudah siap!" Aldo mendadak membuka pintu kamar, seruannya menyeruak hingga kepala anak gadisnya tertoleh.

Choco mengangguk, nyengir lebar.

"Siap, Komandan!"

Dalam raga, jiwa serta kesadaran Brenda sudah memantapkan hati, untuk sekarang dan seterusnya atau selamanya, akan bertekad mengganti identitas diri dengan yang baru. Tidak akan ada lagi yang namanya 'Brenda'.

Tapi Choco Valentine. Si tokoh figuran yang buruk rupa.

***

"Kyaaa! Ratu Cherry datang!"

"Gilaaa! Cantik bangettt! Serbuk berlian emang bukan maen!"

"Calon mantu ortu gue fiks."

"Eh, eh, ngapain serbuk marimas di belakang Ratu Cherry? Parah, mata gue sepet, woi!"

"Apalah daya gue blasteran kentang."

Gerbang, parkiran, sampai halaman depan sekolah SMA Greenhigh mendadak menjadi sarana keributan warga di sana. Murid-murid yang baru datang maupun masuk sedari pagi, beramai-ramai berjajar rapi sambil menjerit histeris.Bahkan semua jendela kelas yang menghadap langsung ke gerbang, telah disesaki oleh penghuninya akibat kepala mereka melongok keluar. Berniat menyaksikan seorang siswi yang dilabeli 'Ratu Sekolah'.

Cherry Camellia, nama cantik yang terukir di nametag gadis itu. Ia baru saja membuka pintu mobil, berjalan lenggak-lenggok memasuki sekolah sambil melihat-lihat ke sekitar. Semuanya tampak ribut.

'Seru juga jadi primadona sekolah. Sayang cuma fiksi,' batin Cherry, lebih tepatnya jiwa Gina yang menempati tubuh Cherry. Beginilah kehidupan seorang Cherry Camellia si tokoh utama novel 'I'm a Queen'. Dicap Ratu dan Idola berkat tampang sempurna. Tubuh ideal, wajah terbubuhi make up ringan, setiap pagi disambut pekikan.

Dughh!

"Ck, jalan yang bener, dong! Seragam aku jadi kusut gara-gara kamu!" bentak Cherry muak, orang yang dari tadi mengekorinya tiba-tiba menubruk punggungnya.

"Maaf, 'Nyonya'," balas Choco ogah-ogahan. Memungut peralatan Cherry yang dia bawa.

"Lain kali mata dipake, jangan cuma jadi pajangan doang!" gerutu Cherry, murka.

"Lo juga punya kuping dipake, jangan jadi pajangan doang. Gue udah minta maaf tadi."

"Berani kamu sama majikan sendiri, huh?!"

Choco tak berkutik, lebih baik menuruti keinginan si tokoh utama itu daripada meladeninya dalam kondisi ricuh seperti ini. Tidak mungkin dia melawan sosok Gina yang saat ini berstatus Cherry, tapi makin lama makin ngelunjak. Membuat Choco harus ekstra sabar. 

Perlu kalian ketahui, bahwa sebenarnya posisi Choco di dunia fiksi ini adalah anak pembantu di rumah mewah Cherry. Ya, Ratih salah satu pekerja di kediaman Ratu Sekolah itu. Tak ayal mengapa Choco mengikuti jejak ibunya sebagai 'pelayan' Cherry.

Diceritakan juga, Choco harus siap sedia ketika Cherry memanggilnya, di manapun dan kapanpun. Seperti sekarang, setiap pagi mengekori Cherry adalah rutinitasnya.

Menjadi kacung gadis sombong itu.

"Ha-halo, Kak Cherry!" Dua gadis alias adik kelas, mendadak menyapa Cherry dengan malu-malu.Cherry merespons senyuman ramah.

 "Iya, halo juga."

"Kyaaa! Dibalas, dong! Kak Cherry ramah banget!"

'Cih, pencitraan doang,' batin Choco menyahut.

"Kak! Kak! B-boleh fotbar nggak? Buat kenangan-kenangan, hehehe," pinta salah seorang adik kelas itu.

"Emm, maaf, ya. Sekarang aku ada urusan di kelas. Lain kali, ya?" tolak Cherry sehalus mungkin. Sukses membuat dua gadis di hadapannya menggembungkan pipi kecewa.

"Tapi .... " sambung Cherry terjeda sebentar, netranya menatap wajah Choco di belakang. Lalu tersenyum miring.

 "Kalian mungkin mau fotbar sama pembantuku."

"Pembantu?" Kemudian mereka menoleh serempak ke arah Choco. Semuanya melotot. 

"JADI SI CULUN PEMBANTU KAK CHERRY?!"

Cherry hanya mengangguk ringan.

Mereka kontan mengacungkan jempol.

"KEREENN!"

"Haha, nggak, kok," elak Cherry sok manis. Menyampirkan helaian rambutnya ke belakang telinga. "Kebetulan mamanya kerja di rumahku, jadi dia ikut."

"Oh, pantesan. Namanya juga gembel. Hahaha!"

"Bisa-bisanya dapet beasiswa di sekolah seelit ini."

Pandangan Choco tertarik ke bawah, memandang sepatu barunya yang dipersembahkan dari Bapak juga Ibu. Masih tampak bersih nan cantik. Matanya terpejam sesaat, berusaha diam mendengarkan hujatan-hujatan setan di sekitarnya. Sementara Cherry, bibir ranumnya sudah terkekeh puas. 

'Rasakan itu, Brenda. Bagaimana rasanya dihina satu sekolah? Ini nggak seberapa dengan penderitaanku sewaktu masih menjadi Gina yang kamu anggap lemah dan miskin.'

"Ini karma kamu," bisik Cherry di daun telinga Choco. Menyeringai sinis. 

"Selamat menjadi tokoh figuran."

Bersambung