webnovel

Beautiful Mate

Warning, 21+ mohon bijak dalam membaca. Avery Selena Dawn, seorang gadis yatim piatu 25 tahun yang baru saja lulus dari jurusan fashion design memutuskan untuk nekat mencoba melamar pekerjaan pada perusahaan fashion kulit dan bulu yang terkenal bernama Anima, karena kesulitan yang sedang melilit panti asuhan tempatnya tinggal dahulu yang menyebabkan anak-anak di sana kelaparan. Ia tentu saja sangat bersemangat ketika pada akhirnya diterima pada perusahaan itu. Perusahaan yang terkenal sangat ketat dan sulit menerima karyawan baru itu, bahkan memberinya kontrak khusus dan pendapatan yang terbilang tinggi untuk karyawan canggung yang tak berpengalaman sepertinya. Awalnya Avery mengira kontrak untuknya hanyalah sekadar kontrak kerja biasa sampai ia mengetahui bahwa kontrak itu adalah kontrak yang dibuat sendiri oleh Dominic Lucius Aiken, sang CEO sekaligus pemilik perusahaan itu ketika ia telah tinggal di mansion tua mewah yang sebelumnya ia kira adalah tempat khusus untuk para karyawan Anima. Tetapi dugaannya salah, ketika sang CEO sendiri ternyata juga bertempat tinggal di sana. Dominic, pria yang begitu tampan, gagah, misterius dan sangat mempesona itu, yang selalu terlihat dikelilingi oleh para wanita kemana pun ia pergi, membuat Avery sedikit muak. Pasalnya, ketika para wanita yang ternyata juga tinggal seatap dengannya, kerap memusuhinya dan selalu mencoba membuatnya tampak buruk ketika mereka mengira ia adalah 'mainan' baru sang Alpha! Tunggu, Alpha? Siapa? Dominic? Siapa ia sebenarnya hingga para wanita menyebutnya Alpha?!

Jasmine_JJ · Fantasy
Not enough ratings
84 Chs

Rencana Licik

Avery memalingkan wajahnya dan meninggalkan Dom untuk masuk ke dalam kamar mandi. Ia bahkan tak menghiraukan Dom yang salah mengartikan aksinya itu dan mulai melucuti pakaiannya sendiri.

Avery sengaja menunggu di ambang pintu masuk kamar mandi hingga Dom melepas seluruh bajunya. Dan saat pria itu berjalan hendak menyusulnya, ia segera menutup pintu kamar mandi serta menguncinya dari dalam saat jarak Dom tinggal selangkah lagi.

"BRAK!"

Pintu yang tertutup tepat di depan wajahnya membuat Dom mengerjap. Pasalnya ia tak menduga bahwa Avery akan melakukan itu padanya. Setelah beberapa saat, Dom akhirnya menghela napasnya.

"Oh, ayolah ... Sayang," ucapnya sambil memejamkan mata dan bertumpu pada pintu yang tertutup itu. "Jangan begini, bukalah pintunya, please?" lanjutnya.

"Jawab saja dahulu pertanyaanku tadi," ucap Avery dari dalam kamar mandi.

Dom kembali menegakkan tubuh polosnya dan mengembuskan napasnya."Baik, aku akan menjawabmu," ucap Dom. "Kami memang pernah dijodohkan sewaktu kecil. Itu memang benar. Tetapi itu hanyalah sekadar ucapan sesaat karena persahabatan para orangtua saja. Terlebih, karena keluarga Ariana pernah membantu Dad."

"Lalu?!" tanya Avery.

"Tak ada. Kami tumbuh dewasa dan tak ada lagi yang mengungkit hal itu. Karena seperti yang telah kau ketahui, seorang Alpha hanya dapat dimiliki oleh seorang Luna ... dan ...."

"Dan ia tetap bisa bersama dengan wanita lain, begitu?" potong Avery. Ia kemudian membuka kembali pintu kamar mandi dan menatap Dom. Avery ingin menatap mata Dom dan mencari petunjuk di sana.

"Dan aku memilih untuk tak melakukan itu," jelasnya sambil menatap Avery sungguh-sungguh.

Avery sejenak menatap Dom dan mengamati kedua matanya sebelum kembali berkata, "Tutup pintu kamar jika kau tak ingin pelayan menatapmu telanjang." Sambil berucap, Avery sedikit memalingkan wajahnya dari Dom yang polos. Walau begitu pria itu terlihat santai.

"A ... apa?" Dom sedikit teralihkan setelah Avery mengucapkan hal tersebut. "Oh ... oke," ucapnya kemudian. Dengan sedikit sihirnya pintu kamar mereka akhirnya tertutup.

"Lanjutkan," perintah Avery. Ia sedikit menahan rona di rautnya dan hanya berfokus pada wajah Dom.

"Aku tak akan melakukan itu, Sayang. Karena aku memang tak ingin melakukannya," ucap Dom.

"Walaupun kau bisa?" tanya Avery.

"Walaupun aku bisa," jawab Dom.

"Mengapa?" tanya Avery.

"Karena kau saja sudah cukup bagiku. Aku hanya menginginkanmu, menginginkan putra dan putriku yang hanya lahir darimu," jawabnya bersungguh-sungguh.

"Mengapa?" tanya Avery lagi.

"Kau masih bertanya? Karena aku mencintaimu. Dan hanya dirimu," jawabnya.

Avery mengembuskan napasnya dengan mata yang berkaca-kaca. Dom kemudian meraih wajahnya dan menatapnya dalam.

"Apa ada lagi yang kau risaukan?" tanyanya lembut.

Avery mengangguk. "Ariana mencintaimu, ia menginginkanmu, dan ia mengatakan dengan jelas rencananya itu di hadapanmu. Ia bersikap manis di depan para orangtua, tapi ia bersikap seolah hendak melahapku ketika kita hanya sedang berdua. Ia membuatku kesal. Aku tak suka dengan sifatnya. Entah apa yang mungkin akan ia lakukan padamu. Ia bermuka dua, Dom," jelas Avery.

Dom hening sejenak dan menatap Avery. "Apakah memang seperti itu yang telah terjadi?" tanyanya.

"Ya, dan apa kau meragukan itu? Kau pikir aku mengada-ada? Kau tak percaya padaku? Katakanlah, bagaimana perasaanmu padanya, Dom?" tanya Avery.

"Aku percaya padamu, dan tak ada, Sayang. Tak ada perasaan apapun untukku padanya. Ia hanya teman kecilku saja, dan aku sudah menganggapnya seperti saudariku sendiri."

Avery menggigit bibirnya karena sedikit bimbang, tapi akhirnya ia berkata, "Baik ... aku pegang kata-katamu itu. Dan jika suatu saat kau ternyata tak menepatinya, lebih baik kita berpi ...."

"Ssh ... hentikan." Dom memotong ucapan Avery dan menahan bibir Avery dengan jemarinya. "Sudah kukatakan jangan pernah sekali-kali mengucapkan kata-kata tentang perpisahan jika kau tak ingin melihatku menderita, Sayang. Tolong ingat itu."

"Aku mengerti yang kau rasakan, kita akan mencari cara untuk mengatasinya bersama semua itu, oke? Apa kita sekarang sudah baik-baik saja?" ucapnya lagi. Avery hanya mengembuskan napasnya dan mengangguk.

Dom kemudian mengusap lembut wajah Avery. "Kau sedikit bergetar karena kedinginan, haruskah aku menghangatkanmu?" bisik Dom sambil memeluk Avery.

Avery tersentak dan refleks memalingkan wajahnya. "A ... aku lebih memilih untuk membasuh tubuhku dengan air hangat saja," jawab Avery.

Dom tersenyum jahil karena tahu apa yang Avery pikirkan. Ia malah semakin mempererat pelukan dari tubuh panas berototnya yang telah polos itu. "Jelas, tak akan kubiarkan begitu saja," gumamnya kemudian mulai memagut Avery. Dom mencium lenbut bibir Avery dan mendesaknya dengan permainannya yang memabukkan.

****

Sementara itu ...

Di dalam sebuah kamar yang mewah, seorang gadis cantik tampak sedang menimang sebuah botol kecil dan memperhatikan botol kaca kemerahan itu dengan raut licik.

"Mungkin, sudah saatnya aku menggunakan ramuan ini," gumamnya sambil tersenyum.

Ketukan halus pintu kamarnya, membuatnya tersentak. Ia buru-buru memasukkan botol kecilnya ke dalam laci mejanya sebelum akhirnya menjawab ketukan itu.

"Masuklah," ucapnya.

"Ini Mommy, Nak," jawab wanita yang mengetuk pintu. Ia langsung masuk ke dalam kamar putrinya itu dan menghampirinya. "Bagaimana perasaanmu, Ariana?" tanya Miriam.

Ariana tersenyum dan menyambut ibunya dengan wajah cerah. "Apa maksudmu, Mom?" tanyanya pura-pura polos.

"Mengenai Luna," jawab Miriam was-was.

"Luna milik Dom? Avery maksudmu, Mom?" tanyanya. "Tak ada yang aneh dengannya. Ia sangat baik dan cantik," jawab Ariana.

"Oh, Sayang ... kau tak perlu menutupi perasaanmu di depan ibumu sendiri," jawab Miriam. Ia menatap Ariana dengan wajah prihatin.

"Mom ... aku tak apa. Memang benar aku mencintai Dom, tapi jika ia telah bersama dengan pasangannya, aku tak dapat berbuat apa-apa, bukan?" ucapnya.

"Ya, Sayang, kita tak dapat menghindari itu," balas Miriam. "Dom telah menemukan mate-nya karena takdir, dan aku harap kau pun akan dapat menemukan milkmu sendiri."

"Tak ada yang salah dengan menemukan mate, tapi jika Dom menginginkanku juga, kurasa itu persoalan lain," balas Ariana.

"Apa maksudmu, Sayang?" tanya Miriam tak mengerti.

"Mom, aku ingin kita semua berkunjung ke kediaman Dom esok hari untuk menanyakan perihal pertunanganku dengannya," ucap Ariana serius.

"Tapi, Sayang ... Dom telah menemukan ...."

"Mom!" potong Ariana. "Bukankah kita harus memperjelas itu? Kita akan mengetahui jawabannya besok. Jika Dom juga menginginkanku menjadi pendampingnya, aku bersedia," ucap Ariana. "Bukankah dengan begitu Luna tak akan mampu melakukan apa-apa? Seorang Alpha dapat memiliki pendamping lainnya selain Luna, itu tak melanggar peraturan."

"Apa kau serius dengan yang kau ucapkan, Sayang? Kau tak mempermasalahkan itu?" tanya Miriam.

"Tidak, Mom, karena aku mencintainya. Aku ingin berada di sampingnya," jawabnya tegas. "Kumohon, lakukan ini untukku. Aku akan menerima apapun jawaban yang terlontar dari mulut Dom esok."

Miriam menatap putrinya dengan wajah bimbang. Ia tak tahu harus berkata apa.

"Please ... Mom, sekali ini saja," pinta Ariana mengiba.

Miriam menghela napasnya. "Baiklah, Sayang ... aku akan mengatakan hal ini dulu dengan ayahmu," jawabnya.

"Oh, Mom! Terima kasih! Kau memang yang terbaik!" Ariana tersenyum haru dan segera memeluk ibunya.

Dari balik pelukan itu, ia kemudian memasang wajah dingin dengan senyum sinis yang mematikan. Ia merasa puas karena besok rencana liciknya mungkin akan berjalan dengan lancar.

Bersiaplah untuk menjadi milikku, Dom. Batinnya dalam hati.

____****____