webnovel

Beautiful Mate

Warning, 21+ mohon bijak dalam membaca. Avery Selena Dawn, seorang gadis yatim piatu 25 tahun yang baru saja lulus dari jurusan fashion design memutuskan untuk nekat mencoba melamar pekerjaan pada perusahaan fashion kulit dan bulu yang terkenal bernama Anima, karena kesulitan yang sedang melilit panti asuhan tempatnya tinggal dahulu yang menyebabkan anak-anak di sana kelaparan. Ia tentu saja sangat bersemangat ketika pada akhirnya diterima pada perusahaan itu. Perusahaan yang terkenal sangat ketat dan sulit menerima karyawan baru itu, bahkan memberinya kontrak khusus dan pendapatan yang terbilang tinggi untuk karyawan canggung yang tak berpengalaman sepertinya. Awalnya Avery mengira kontrak untuknya hanyalah sekadar kontrak kerja biasa sampai ia mengetahui bahwa kontrak itu adalah kontrak yang dibuat sendiri oleh Dominic Lucius Aiken, sang CEO sekaligus pemilik perusahaan itu ketika ia telah tinggal di mansion tua mewah yang sebelumnya ia kira adalah tempat khusus untuk para karyawan Anima. Tetapi dugaannya salah, ketika sang CEO sendiri ternyata juga bertempat tinggal di sana. Dominic, pria yang begitu tampan, gagah, misterius dan sangat mempesona itu, yang selalu terlihat dikelilingi oleh para wanita kemana pun ia pergi, membuat Avery sedikit muak. Pasalnya, ketika para wanita yang ternyata juga tinggal seatap dengannya, kerap memusuhinya dan selalu mencoba membuatnya tampak buruk ketika mereka mengira ia adalah 'mainan' baru sang Alpha! Tunggu, Alpha? Siapa? Dominic? Siapa ia sebenarnya hingga para wanita menyebutnya Alpha?!

Jasmine_JJ · Fantasy
Not enough ratings
84 Chs

Insiden Sarapan

Avery bergegas menuruni lantai atas untuk mulai berangkat kerja pada hari pertamanya. Ia sedikit terkejut saat melihat John sudah menantinya di ujung tangga lantai satu.

"Selamat pagi Nona Avery, sarapan sudah siap," ucapnya sopan.

"Oh, selamat pagi, John. Baiklah, terima kasih," balas Avery sedikit kikuk. Sebenarnya ia tak berencana untuk sarapan pagi ini karena ia takut jika tak memiliki waktu yang cukup untuk perjalanannya ke kantor. Tapi karena John telah menantinya, ia tak mungkin menolaknya bukan?

"Silakan, Nona," ucap John sambil mempersilakan Avery saat mereka sampai di ruang makan.

Langkah Avery mendadak terhenti saat penglihatannya terpaku pada sesosok pria tampan yang ia tahu betul siapa itu, karena ia sudah melihatnya kemarin. Ia adalah Dominic, pemilik Anima! Untuk apa ia ada di sini? Batin Avery heran.

"Selamat pagi Nona Avery," sapa Dominic sambil tersenyum simpul dan mengangkat cangkir kopinya.

"Se ... selamat pagi, Tuan," jawab Avery sedikit gugup. Ia sangat terkejut mendapati pemilik perusahaannya berada di sana. Terlebih, di kanan kirinya duduk tiga saudari pirang yang sedang makan bersama di satu meja panjang dengannya.

"Silakan, Nona," ucap John sambil menarik sebuah kursi untuknya duduk di sebelah Camila.

Oh, ya ... bagus!! Aku harus bersebelahan dengan wanita galak itu. Batin Avery sedikit kesal. Lagipula, mengapa pemimpin perusahaan bahkan harus berada di sini pagi-pagi seperti ini? Apa ini sekadar salam selamat pagi atau ia sengaja datang karena ada inspeksi mendadak di kediaman para karyawan atau semacamnya? Keluhnya dalam hati.

Tepat setelah Avery selesai bermonolog di dalam hati, Dominic tersenyum simpul dengan menarik salah satu sudut bibirnya seolah ia dapat mendengar itu. Dan sesungguhnya, ia memang mampu melakukan itu! Ia mampu mendengar pikiran Avery dengan berfokus padanya. Sejak ia mendengar jejak kaki gadis itu yang menuruni tangga, ia sendiri memang telah mempersiapkan diri untuk menyambutnya.

"Terima kasih, John," balas Avery. Mau tak mau ia akhirnya duduk di sebelah Camila yang terang-terangan menatapnya tak suka.

"Nona Avery, bagaimana tidurmu? Apakah semalam kau dapat tidur dengan nyenyak?" tanya Dominic kemudian.

"Aku ... maksudku, saya tidur dengan nyenyak, Tuan," jawab Avery.

"Tak perlu terlalu formal padaku, Avery, tolong panggil aku Dominic saja," balasnya.

Raut ketiga saudari pirang itu tiba-tiba menegang setelah Dominic selesai berucap. Mereka tampaknya terkejut karena tak suka dengan gagasan bahwa Dom mempersilakan Avery untuk bersikap kasual padanya.

Avery yang menangkap gelagat tak mengenakkan itu, sedikit membasahi bibirnya dan menelan ludahnya karena tercekat. Ia hanya tak ingin berurusan lagi dengan kemurkaan ketiga saudari itu.

"Baik, Tuan," jawab Avery. Ia buru-buru menjawab agar tak perlu berinteraksi terlalu lama dengan pria itu.

"Bukan Tuan, tapi Dominic. Atau ... kau dapat memanggilku Dom, aku juga suka itu," ucapnya sambil sedikit tersenyum.

"Tuan!" protes Camila yang kemudian tertahan karena sedetik kemudian Dom meliriknya sekilas sambil mengucapkan telepati padanya. Ia meminta Camila untuk diam. Dan Camila, seketika itu juga menunduk dengan patuh.

Karena tak tahu apa yang terjadi, Avery tak memberikan reaksi banyak. Ia kemudian mengalihkan tatapannya dari Dom, pada hidangan yang dibawa oleh seorang wanita yang kemarin tak sempat ia lihat. Ia adalah wanita paruh baya dengan rambut keperakan yang tertata rapi.

"Silakan, Nona," ucap wanita itu dengan tersenyum ramah.

"Oh, terima kasih," jawab Avery ceria.

"Adakah minuman yang kau inginkan, Nona? Kopi atau teh?" tanyanya.

"Aku lebih suka susu hangat," ucap Avery spontan. "Ah ... maksudku ... minuman apapun, aku tak masalah," ralatnya. Wanita tersebut sedikit tertegun sebelum akhirnya tersenyum.

"Maka, segelas susu hangat akan segera datang," ucapnya ramah.

"Terima kasih ...."

"Isabel," potong Dominic. "Kau bisa memanggilnya Isabel," lanjutnya. Perhatian Avery spontan beralih lagi ke arah Dom.

"Terima kasih, Isabel," ucapnya kemudian merujuk pada Isabel.

"Tak perlu sungkan, Sayang," balas Isabel kembali tersenyum ramah.

Avery kemudian mulai menyantap hidangan di atas mejanya dengan sedikit kikuk. Ia merasa aneh dengan keheningan yang berputar di sekitarnya. Terlebih saat ketiga saudari itu secara bergantian diam-diam meliriknya dengan tatapan tak suka. Ia bahkan merasa kesulitan untuk menelan.

"Apakah Clarita sudah memberimu panduan dasar dalam perusahaan dan jadwal yang harus patuhi?" tanya Dom tiba-tiba.

"Y ...ya, ia sudah menjelaskan semuanya melalui email." Avery menjawab dengan sopan sambil meneruskan makannya. Ia melahap hidangan yang mirip sandwich dan salad itu dengan lahap.

"Baiklah, semoga kau suka bekerja dengan perusahaan kami, Avery. Aku sudah melihat portofolio-mu dan semua tampak mengagumkan," ucap Dominic sambil tersenyum.

"Terima kasih, Tuan," balas Avery sambil tersenyum dan sedikit merona. Ia sangat senang jika ada yang mengakui dan menghargai karyanya.

Saat itu, Isabel kemudian datang lagi sambil menyerahkan segelas susu hangat untuk Avery. Ia tampak bersemangat karena melihat piring Avery yang tampak separuh kosong.

"Kau makan dengan lahap," komentarnya senang.

"Ah ... ini, terima kasih, ini sangat enak karena mirip dengan buatan bibiku," ucap Avery sambil sedikit merona.

"Oh, Sayang! Jika kau suka, aku bisa membawakan bekal untukmu nanti. Aku suka melihat gadis manis yang makan buatanku dengan lahap," ucap Isabel bersemangat.

"Oh, benarkah? Kau tak perlu melakukannya, aku tidak ingin merepotkanmu," ucap Avery.

"Omong kosong! Aku sudah bosan dengan tingkah para penghuni rumah ini yang tak pernah lahap dalam menyantap hidanganku," protesnya tiba-tiba.

Tanpa diduga-duga, Isabel kemudian menatap Dominic sambil kembali berkomentar, "Terutama kau, Tuan, kau tak pernah menyentuh makan malamku dengan layak. Apakah setiap malam aku harus memerintahkan John untuk membawa makanan ke dalam kamarmu dan juga menyuapimu?!" ucapnya seolah kesal.

"Ya, mungkin itu ide yang bagus, Isabel," jawab Dominic santai. Tak ada raut kekesalan di dalamnya. Ia bahkan tampak memaklumi omelan Isabel.

Avery meraih gelas yang berisi susu hangatnya sambil diam-diam mendengarkan ucapan Isabel pada Dominic. Ia dapat menyimpulkan bahwa keduanya seperti memiliki hubungan yang erat. Isabel layaknya seperti seorang ibu yang sedang memarahi anak lelakinya dan protes karena masakannya tak pernah disentuh.

"Sudahlah, aku tak akan menghiraukanmu lagi. Jangan harap aku akan memberimu makanan setelah setiap hari kau menyiksaku untuk naik-turun ke lantai tiga ke dalam kamarmu itu!" gumam Isabel sambil berlalu.

"Huukk! Uhuk! Huk!"

Avery tersedak dan sedikit menyemburkan minumannya ketika mendengar ucapan Isabel. Dan Isabel yang terkejut, berbalik badan lagi untuk segera menghampiri Avery. "Kau tak apa-apa, Sayang?!" tanyanya sedikit khawatir.

"Ma ... maaf! Uhuk! Ap ... apa maksudnya itu?" tanyanya spontan. Ia menatap Dominic dan Isabel secara bergantian. "Apa maksudnya ia tinggal di lantai tiga? Bukankah ini adalah kediaman para karyawan Anima? Mengapa pemilik perusahaan harus tinggal di sini?" tanyanya bingung.

"Lancang! Kau pikir kau sedang berbicara pada siapa?!" hardik Camila.

"Ini adalah Mansion Aiken, dan mansion ini adalah tempat tinggal Tuan Dominic. Apa kau bahkan tak tahu itu, Manusia?" tanya Caren yang turut menimpali.

Avery menganga bingung. Ia seperti tak siap menerima fakta yang mengejutkan itu. "Benarkah?" tanyanya lirih seolah tak percaya. Ia mengerjap beberapa kali.

"Itu benar, Avery," ucap Dominic seolah mendengar gumaman lirih Avery.

Avery kemudian menghembuskan napasnya untuk mencoba menenangkan dirinya. Ia meraih lap makannya dan membersihkan sisa-sisa percikan susu di bibirnya. Ia seketika merasa semuanya menjadi masuk akal ketika semalam tiga saudara kembar itu menyerangnya dengan bersikap sinis.

Bagus! Lagi-lagi aku harus menghadapi situasi seperti ini. Oh, Tuhan aku tak menyukainya. Bisakah para pria tampan tak selalu berlaku seenaknya?! Tak heran ketiga wanita itu semalam ingin menelanku hidup-hidup karena mereka pikir aku adalah mainan barumu! Bagus, Dominic, tak pernah secepat ini seorang pria membuatku merasa muak! Batin Avery frustasi.

Dom seketika memicingkan matanya dan mengerucutkan bibirnya ketika selesai membaca pikiran Avery. Ia kemudian dengan tenang meletakkan cangkirnya dan mulai berdiri.

"Kurasa, kemarin kau telah mendapat pemberitahuan juga, bukan? Bahwa setiap pagi aku terbiasa untuk mengadakan rapat bagi karyawan inti Anima. Dan karena kau telah bergabung di dalamnya, jangan sampai terlambat untuk menghadirinya nanti, Nona Avery," ucap Dom sambil menyunggingkan senyum tipis.

"Oh, baik," balas Avery gugup. Sejujurnya ia baru mendengar ini untuk yang pertama kalinya karena Clarita tak pernah memberitahunya tentang rapat atau semacamnya.

Dominic yang kemudian berjalan mendahului ketiga kembar itu, telah bergegas keluar dalam sekejap mata. Avery yang sedikit panik, ikut beranjak dari kursinya. Sedetik setelah ia berbalik meraih blazer dan tasnya, tiba-tiba Camila muncul di hadapannya dan ....

"PYUURRR!"

Secangkir kopi yang wanita itu bawa, sengaja ia tumpahkan pada kemeja putih Avery dan membuatnya terlonjak. "Apa yang telah kau lakukan?!" teriak Avery dengan spontan.

"Oops, maaf, tanganku terpeleset," ucapnya sambil tersenyum mengejek Avery. Ia dan kedua saudarinya bahkan saling tersenyum puas sebelum meninggalkan Avery sendirian yang masih mematung tak percaya.

Sial! Dasar wanita jal*ng! Umpat Avery dalam hati. Ia dengan panik segera melesat ke arah tangga untuk kembali ke kamarnya dan berganti baju. Avery berlari sepanjang lorong untuk mengejar waktu agar ia tak terlambat saat berangkat kerja nanti.

"Larilah, gadis kecil," gumam Dominic dari dalam mobilnya saat ia mengamati Avery yang sedang berlari menyusuri lorong berjendela kaca besar itu dengan panik. Ya, itu adalah 'pembalasan kecil' Dominic untuknya karena gadis itu telah berani mengatainya dalam pikirannya tadi. Ia dengan telepatinya tadi, memerintahkan Camila untuk menghambat gadis itu agar ia berangkat ke kantor hari ini tepat waktu, sesaat sebelum dirinya beranjak meninggalkan ruang makan tadi.

Dominic tersenyum puas sebelum akhirnya ia melajukan mobilnya dengan diikuti oleh ketiga kembar di belakangnya.

Sementara itu, Avery yang sedikit panik segera membuka lemari pakaiannya dan menyambar baju apapun yang semi kasual untuk mengganti kemeja dan celana senadanya yang telah ternoda tumpahan kopi hitam. Ia memutuskan untuk mengenakan terusan midi dress berbahan sifon yang berwarna hijau tua dengan sabuk mutiara mini di pinggang rampingnya.

Selanjutnya, ia melepas heelsnya dan harus berjuang lagi untuk menuruni tangga dengan berlar tergesa-gesa untuk mengejar waktunya.

"Perlahanlah, Sayang! Ini kotak makan siang untukmu," ucap Isabel saat mendapati Avery terengah-engah di ujung tangga.

"Te ... hh ... terima kasih, aku sangat terburu-buru," jawabnya sambil mengenakan kembali heelsnya. Ia menyambar tas kerja serta tas bekal yang disodorkan Isabel padanya.

"Berhati-hatilah, Nak! Semoga hari pertamamu menyenangkan!" ucap Isabel. Avery hanya menjawab dengan lambaian tangannya sebelum ia melesat ke halaman utama.

Seolah seperti telah menunggu Avery, Lex muncul tepat di samping kolam begitu Avery keluar. Ia dan motor sport merah besarnya telah berdiri gagah di sana.

"Pakailah ini jika kau tak ingin terlambat, Nona!" ucapnya sambil menyodorkan sebuah helm pada Avery.

Avery yang sedang dilanda panik, segera menyambar helm yang diberikan Lex dan naik ke atas motornya. Ia jelas tak ingin terlambat pada hari pertamanya bekerja karena insiden sarapan tadi!

"Ayo, Lex! NGEBUT!" perintahnya sambil menutup kaca helm-nya dan memeluk Lex erat-erat.

Tak perlu dikomando lagi, Lex segera melesat kencang keluar dari area mansion dan melaju cepat untuk membawa Avery ke jalanan padat perkotaan yang macet di jam-jam sibuk seperti pagi ini.

----****----