webnovel

Televisi

Hara mengikuti Diara hingga ke apartemennya.

"Diara.. Diara.. kita harus bicara." Hara terengah-engah, mengejar Diara. Memblokir langkahnya.

"Aku tidak ingin bicara denganmu. Minggir."

"Tidak. Aku ingin bicara denganmu."

"Apalagi yang ingin kau bicarakan? Semuanya sudah jelas, kan?!"

"Dengar, Diara.. Semuanya hanya salah paham. Aku tak bermaksud untuk tidur dengan Mila. Sungguh."

Diara mendengus. "Jadi, kau mengakui, kan? Kau tidur dengannya."

Hara tertegun. Tahu betul, jika dirinya salah berucap. Dia mencakar rambutnya. Mendesah kesal.

"Itu.. hanya sebuah kesalahan, Diara."

"Oh, tentu saja itu sebuah kesalahan. Karena, kau sudah menjadi suamiku, Hara. Dan, kau menjadi penghancur kelompok teater kita. Karena mu juga! Aku harus berlutut di depan perempuan brengsek itu!"

Hara memejamkan mata singkat. "Diara.. apa yang harus aku lakukan? Agar, kau memaafkan ku, huh?"

"Tidak ada."

"Jadi, kau memaafkan ku?"

"Tidak. Aku ingin meninggalkanku."

Hara mengernyit. "Apa? Apa yang kau maksud dengan meninggalkanmu?"

"Suami-istri berpisah. Kau tahu, kan?"

Hara diam untuk sepersekian detik.

"Dengar, Diara.. Aku tidak ingin bercerai denganmu."

"Berikan kunci apartemenku." Diara menengadahkan tangan kanannya, pada Hara.

"Apa, kau harus bertindak sejauh ini? Huh?"

"Berikan kunci apartemenku—atau, kita pergi pengadilan?"

Hara mendecak kesal. Merogoh kantung celana belakangnya. Memang, Hara selalu membawa kunci apartemen Diara kemana pun ia pergi.

Hara memberikan kunci pada Diara. Kemudian, Diara bergeser ke kanan. Dan, melewati Hara, yang tak bisa lagi berbuat apa pun.

Apartemen Diara tidak semewah milik Mila. Berada di lokasi kumuh. Kuncinya pun masih manual. Tidak seperti milik Mila, yang menggunakan nomor sandi.

Diara masuk dengan langkah lemas. Meletakkan tasnya di lantai begitu saja. Masuk ke dalam kamar. Duduk di bibir ranjang. Meraih pengendali jauh TV, di sebelahnya. Dan, menyalakan TV.

Diara menundukkan kepala. Bahunya berguncang kecil. Ia menangis di dalam kamarnya, yang gelap. Membiarkan TV yang menyala, dengan kebisingannya.

"Rasanya.. Aku ingin memutar waktu saja. Andai, aku bisa kembali pada masa ketika belum bertemu dengan laki-laki brengsek itu—aku ingin menjauh darinya," katanya dalam hati.

Air mata Diara terus menetes tanpa henti. Di detik selanjutnya, ia mengangkat kepala. Ketika, mendengar soundtrack film yang familiar di telinganya. Ia melihat ke arah TV. Di mana, film favorit dirinya bersama Hara, tengah di putar. Film jadul tahun 1991, dengan genre komedi. Aktornya adalah 3 orang laki-laki.

Kesedihannya semakin memuncak. Ia turun dari ranjangnya. Berjalan perlahan, mendekati TV. Jemarinya bergerak pelan, menyentuh tabung TV. Dan—lampu berkedip-kedip seketika. Diara mengedarkan pandangan dengan terkejut. Lalu, merasakan jemarinya yang menyentuh layar TV, seperti tersengat. Diara sedikit terkejut. Menatap tangannya, yang berubah seperti pasir. Masuk ke dalam TV. Diara terbelalak. Berjalan mundur. Tapi, dalam sekejap—semua tubuhnya berubah menjadi serpihan kecil. Lantas, Diara tersedot masuk ke dalam TV.

Diara tiba-tiba muncul dari balik Ayah dan anak, yang tengah merengek. Diara datang dengan sedikit tersentak. Ayah dari anak tersebut, menengok ke belakang. Dan, terkejut dengan kehadiran Diara, yang tiba-tiba.

"Oh, siapa kau?" tanya pria itu.

"Aku? Oh.. Aku.. siapa.."

Jawaban linglung dari Diara, membuat pria itu mengernyit heran. Kemudian, melihat Diara dari atas ke bawah.

"Pakaianmu—keren sekali. Apa itu keluaran terbaru?"

Saat itu, Diara memakai kaus abu bergambar burung hantu. Dengan celana jeans super pendek.

"Hah?" kata Diara, sembari mengernyitkan dahi.

Kemudian, ia mengedarkan pandangan.

"Di mana aku?" gumamnya.

Tak lama kemudian, seseorang menyenggol bahu Diara, dari belakang.

"Aduh!" kata Diara.

Untuk sesaat mereka saling bertatap muka. Diara yang semula kesal, kini terkejut. Ada sosok yang di kenalnya.

"Randy?" gumamnya, dengan mengernyitkan dahi.

Seseorang itu, kembali berlari.

"Randy! Tunggu!" Diara mengikutinya.

Mereka berlari, menjauh dari pasar rakyat. Diara melihat Randy, berhenti di telepon umum, di pinggir jalan. Saat dia akan kembali melangkah—Ia melihat seseorang misterius, berdiri di bawah lampu penerangan jalan. Agak jauh dari tempatnya. Seseorang yang tak terlihat wajahnya itu, membawa golok. Dan, melihat ke arah Randy.

Diara yang mengetahui itu, segera terbelalak. Menarik ponselnya, dari saku belakang. Mencoba menelepon Randy. Tapi, ponselnya tidak menangkap sinyal apapun.

"Sial! Kenapa tidak ada sinyal!" gerutunya.

Seseorang yang membawa golok itu berjalan. Randy tiba-tiba berlari. Diara pun mengikuti keduanya dari belakang. Hingga, tiba di sebuah gang kecil. Diara berjalan dengan sangat hati-hati.

Terdengar siulan tak bernada, kemudian. Diara menelan ludah gugup. Namun, laki-laki yang mirip Randy itu, semakin menekuk tubuhnya. Lantas, sunyi.

Tiba-tiba saja, suara-suara itu menghilang. Bola matanya bergerak tak jelas. Memasang telinga. Mungkin saja, terdengar langkah kakinya. Tapi, tidak terdengar apa pun. Dia memejam takut. Meyakinkan diri, kalau si pengejar sudah berlalu pergi. Diangkat tubuhnya perlahan. Selangkah. Lagi selangkah. Si pengejar yang akan menjadi malaikat mautnya itu, mengulurkan kepala. Menatap pria itu.

Pria tersebut berteriak. Melangkah mundur. Terjebak.

"Sebenarnya, siapa kau?! Kenapa kau mengincar ku? Apa salahku?!"

Si pembawa golok, yang mungkin saat ini bisa di sebut sang pembunuh terus melangkah maju. Tanpa bicara.

"Tolong, jangan lakukan ini. Maaf, kalau aku ada salah denganmu. Aku, mohon lepaskan aku."

Si pembunuh justru memegang erat-erat gagang golok. Di ayunkan-nya golok tersebut. Bersamaan dengan teriakan menggema dari pria itu.

Darah segar mengalir begitu cepat. Melewati sepatu putih dengan garis 3 warna milik si pembunuh. 2 biru dan 1 merah, di dekat talinya. Pria itu tergeletak dengan mata terbuka. Lehernya hampir putus.

Diara terkesiap. Menutup mulutnya dengan kedua tangan. Berjalan mundur. Dan, menabrak tembok, yang di tertempel sebuah poster. Lalu, menghilang.

Diara kembali ke dalam kamarnya. Dengan jatuh terjengkang, di sebelah ranjang. Terengah-engah. Lalu, mengedarkan pandangan.

"Apa itu tadi? Apa—hanya mimpi? Tapi, kenapa terlihat sangat nyata?" gumamnya.

Diara lantas berdiri. Teringat Randy. Ia berjalan keluar. Mengambil tasnya, yang di letakkan pada lantai sebelumnya. Membuka pintu. Dan, terkejut—Hara masih ada di situ.

"Kenapa kau masih ada di sini?! Pergi!"

Diara kemudian berjalan pergi. Hara mengikutinya. Mencoba menyamakan langkah.

"Diara, kau baik-baik saja? Apa, kau sakit?"

"Kau ini bicara apa? Pergi sana! Aku tidak ada waktu untukmu!"

"Diara.. apa kau sedang depresi? Karena aku? Huh?"

"Kau ini sudah tak waras? Aku buru-buru sekarang!"

Diara kemudian menarik ponselnya. Menghubungi Randy.

"Lantas, kenapa kau mengurung dirimu selama 5 hari?" tanya Hara.

Diara berhenti melangkah kemudian. Menengok pada Hara. Dengan ponsel yang masih menempel pada telinga.

"Apa maksudmu?"

"Kau benar baik-baik saja?"

"Tidak.. kalimat mu yang tadi. Coba ulangi. Aku mengurung diriku? Selama 5 hari?"

Hara tertegun sejenak. "Ayo, kita ke rumah sakit. Kau, tidak sehat sepertinya."

"Tunggu. Bukankah, kita baru saja berpisah beberapa menit yang lalu?"

Hara mengernyitkan dahi. "Omong kosong apa itu? Kau, berada di kamar selama 5 hari, Diara! Semua anggota sedang mencari mu!"

"Halo? Diara!" Randy menjawab telepon.

"Randy.. kau—tidak terluka? Apa, kau baik-baik saja?"

"Justru aku, yang harus bertanya padamu! Kau, tidak apa-apa, kan? Kenapa kau tidak muncul 5 hari ini?!"

Bola mata Diara membeku seketika.

"Apa yang sedang terjadi?"