webnovel

1991

Diara segera mematikan telepon. Berlari masuk ke dalam apartemennya. Pergi ke kamarnya. Di ikuti oleh Hara.

"Jadi—itu tadi bukan mimpi?" gumamnya, sembari menatap TV-nya, yang masih menyala. Sedang memutar iklan.

Hara yang berdiri di depan pintu, sambil berkacak pinggang—mulai kesal. Mengernyitkan dahi

"Bisa kau jelaskan? Ada apa denganmu?"

Diara menatap Hara dengan sorot mata bingung.

"Kau tak akan percaya, jika aku bercerita."

"Dan, aku tak akan pernah tahu—aku percaya atau tidak. Jika, tak kau ceritakan."

"Mari kita duduk dulu," ajak Hara.

Keduanya pun duduk di sofa, di ruang tengah. Saling berdampingan. Diara segera menceritakan, apa yang di alami barusan. Hara tertegun. Dengan desahan panjang. Diara meliriknya.

"Lihat, kan? Kau tidak akan percaya."

"Mmm.. Well, Mmm.. Memang, sulit untuk di percaya." Hara mengatakan itu, sembari berpikir. "Jadi, Randy yang akan di bunuh? Karena itu, kau meneleponnya tadi."

Diara mengangguk. Sambil mendesah singkat. Menundukkan kepala. Hara bergeser mendekat padanya. Melingkarkan tangan pada bahu Diara.

"Aku rasa.. kita sudah tidak dalam hubungan, di mana kau bisa menyentuhku seperti ini." Diara melirik Hara dengan sinis.

Hara bergeser menjauh. Menarik tangannya.

"Setidaknya.. kau masih istriku," gumamnya.

"Ya. Memang, aku masih istrimu. Lalu, mau kau apakan kekasih tercintamu itu?"

Hara memejamkan mata kesal. Duduk menyamping, agar menghadap Diara.

"Kebetulan, kau sudah tidak emosi lagi. Aku akan menceritakan semuanya padamu."

"Cerita tentang malam pertamamu dengannya? Oh, maaf—aku tidak tertarik."

"Tidak. Tentang—bagaimana aku bisa ada di apartemen Mila."

"Kau datang dengan sukarela pastinya."

Tarikan napas panjang dari Hara, memulai ceritanya.

MALAM SEBELUM KEJADIAN

Mila tengah mondar-mandir, di depan gedung apartemennya. Sembari menggigit kuku jari. Dengan ponsel, di genggam tangan kiri.

Tak lama kemudian, deru motor Hara terdengar mendekat. Mila mengembangkan senyum. Melihat Hara berhenti di depannya. Menurunkan standar motor. Dan, melepas helm-nya.

"Kenapa kau tunggu di sini?" tanya Hara.

"Aku takut. Di dalam gelap."

Hara mendesah singkat. "Ayo cepat masuk. Aku ada janji dengan Diara."

Mila mengangguk. Dan, berbalik badan.

Sebelumnya—Mila telah menelepon Hara. Meminta tolong pada Hara, karena lampu di kamarnya mati.

"Apartemen mu sangat mewah. Apa di sini tidak ada petugas? Kau bisa minta tolong pada mereka," kata Hara, sambil mengganti bohlam.

"Oh.. Mmm.. Tapi, aku tidak bisa membiarkan laki-laki masuk ke dalam kamarku."

Hara mendengus. Turun dari kursi kecil. Berputar. Menghadap Mila, sembari berkacak pinggang.

"Kau pikir aku perempuan?" tanya Hara. Alis kirinya naik.

Mila meringis. "Maksudku—laki-laki yang tidak aku kenal."

"Kau, kan punya kakak? Kenapa tak meneleponnya?"

"Ah, Kakakku sibuk. Dia jarang mengangkat teleponku."

Hara mengangguk paham.

"Aku sudah mengganti bohlam-nya. Coba kau nyalakan."

Giliran Mila yang mengangguk. Menekan saklar di tembok sebelah kanannya. Tersenyum, saat melihat kamarnya kembali cerah.

"Sudah, kan? Aku pergi dulu."

Hara keluar dari kamar. Berjalan menuju pintu.

"Hara.. duduk sebentar."

"Huh? Ada apa? Diara sudah menungguku."

"Minum dulu. Aku buatkan sirup."

"Oh, tidak usah."

"Aku yang keberatan. Kau.. sudah membantuku. Setidaknya, aku harus membalas mu."

Hara mengerucutkan bibir. Berpikir sejenak.

"Beri es yang banyak. Aku sangat haus."

Mila tersenyum lebar. Mengangguk. Dan, segera membuat sirup untuk Hara. Sementara, Hara duduk di sofa. Sembari mengedarkan pandangan.

"Kau tidak takut tinggal sendiri?" tanya Hara.

"Kau sendiri? Bukannya, kau dan Diara juga tinggal sendiri?"

"Ah, kalau kami sudah terbiasa."

"Ah, begitu."

Mila memperhatikan Hara. Dan, dengan hati-hati, ia memasukkan bubuk putih, yang sebelumnya terbungkus oleh kertas. Mengaduk minuman Hara. Kemudian, membawanya ke Hara.

"Berapa sewa apartemen ini? Pasti mahal?"

"Aku tidak menyewanya. Hehe."

Mila meletakkan gelas bening, di meja depan Hara.

"Kau membelinya?" Hara terbelalak.

"Iya."

"Wah, kau cukup kaya juga. Lantas, kenapa kau ikut di kelompok teater kita? Kau bisa saja, ikut kelompok lain yang lebih bergengsi."

"Aku suka saja dengan kelompok kita. Terutama, ada kau."

Hara melirik Mila, dengan kerutan di dahi.

"Kau merayuku sekarang?"

"Kenapa? Kau ingin di rayu?"

"Tidak. Aku hanya cinta dengan Diara."

Mila tersenyum kecut. "Tentu saja. Aku tahu. Cepat minum."

Hara segera meneguk sirup merah itu sampai habis. Lalu, mengusap bibirnya.

"Ah, segar sekali. Terima kasih, Mila. Aku pergi dulu."

"Oh, baiklah."

Hara kemudian berdiri. Melangkah dua kali, lantas berhenti. Memejamkan mata, sembari dahinya berkerut.

"Ada apa ini?" desisnya.

"Kenapa?"

"Entahlah. Kepalaku tiba-tiba pusing."

"Oh, lebih baik kau duduk lagi."

Hara mendorong udara keluar dari mulut. Kembali duduk.

"Istirahat sebentar. Aku akan telepon Diara."

"Tidak usah. Nanti, dia akan salah paham."

"Ah, begitu." Mila menyeringai.

**

"Lalu, apa aku harus percaya begitu saja? Kau sudah banyak membohongiku, Hara."

"Aku tahu, Sayang-"

"Jangan panggil aku dengan sebutan itu."

"Baik, Maaf. Aku tahu, Diara. Kau tidak akan percaya dengan mudahnya. Tapi, sungguh itu yang terjadi."

"Lantas, Mila berbohong?"

"Ya. Aku yakin, dia sengaja memanggilku ke apartemennya. Dan, menaruh sesuatu pada minuman, hingga aku tak sadarkan diri."

"Oke. Katakan begitu. Tapi—bagaimana dengan janin yang di kandungnya? Alat itu menunjukkan 2 garis. Sebuah janin tak akan terbentuk, hanya dalam satu malam, Hara. Itu butuh proses yang panjang! Yang berarti—kau tidak hanya sekali tidur dengannya."

"Aku bersumpah demi diriku sendiri, Diara. Itu bukan anakku. Kau tahu aku, kan? Huh? Bahkan, kita saja belum pernah tidur bersama. Aku sangat menjaga kesucian mu. Lantas, untuk apa aku merenggut milik Mila? Sedikit pun, aku tidak tertarik dengannya."

Diara diam untuk sejenak. "Biarkan aku berpikir. Sekarang, kau pulang saja."

"Tidak. Aku akan menginap di sini. Lagi pula, kau sudah menjadi istriku. Kalau perlu, kita ke kantor agama sekarang."

Diara mendengus. "Kau pikir semudah itu? Aku belum percaya padamu sepenuhnya, Hara! AKU BUTUH WAKTU!" pekik Diara, di kalimat terakhir.

Membuat Hara mendesah pasrah. "Baiklah, aku pergi. Asalkan, kau jangan menghilang lagi seperti itu."

"Tinggalkan aku sendiri." Diara menundukkan kepala. Dengan jemari berada di pelipis kanan dan kiri.

Tak memiliki pilihan lain, Hara pun berjalan keluar.

Setelahnya, Diara kembali ke kamar. Kembali memandangi TV.

"Bagaimana, aku bisa kembali ke tempat itu?" gumamnya. Sembari memandang TV, yang masih menyala.

Ia mengingat momen itu. Di mana, ia tiba-tiba masuk ke dalam dimensi lain. Di detik selanjutnya, Diara melebarkan mata. Menjentikkan jari.

"Film itu.."

Diara pun segera mengganti-ganti chanel. Mencari film komedi, yang menjadi jalan untuk masuk ke dimensi lain. Namun sayang, tidak ada film itu.

"Apa mungkin, bisa dari ponsel?"

Diara segera masuk ke situs video—di mana ribuan video tersaji dalam situs itu. Mengetik judul film, di kolom pencarian. Dan, memutarnya. Kemudian, meletakkan ponsel di atas ranjang. Dan, menunggu. Bola matanya berputar perlahan. Tidak ada yang terjadi. Desahan kesal pun terdengar darinya.

"Sial sekali."

Tak lama kemudian, iklan tentang film komedi, yang di putar semalam pun muncul. Karena, memang ini sudah masuk dalam musim liburan. Film komedi itu wajib di putar di TV. Pun, orang-orang tidak pernah bosan melihatnya.

Diara terbelalak. Menengok. Lampu kembali berkedip. Tubuh Diara kembali menjadi serpihan. Ia mendesis kesakitan.

"Sial! Kali ini sakit sekali!"

Dalam waktu 3 detik—Diara sudah menghilang.

**

Diara muncul di jalanan yang sepi. Kali ini, sore hari. Diara mengedarkan pandangan, setidaknya sebelum seseorang tiba-tiba menggandeng tangannya. Mengajaknya berlari.

Diara terkejut. Namun, tak dapat berontak.

"Hei! Siapa kau? Lepaskan aku!"

"Lantas, kau ingin tertangkap?"

Laki-laki berkemeja kotak-kotak, berwarna abu pekat dan abu muda, agak kebesaran itu menengok sejenak. Sembari tersenyum. Menunjukkan lesung pipinya. Diara mengernyitkan dahi.

"Randy?"

"Percepat lari mu! Kita akan tertangkap!"

"HOI, KALIAN! BERHENTI!"

Diara menengok ke belakang. Melihat dua laki-laki, yang memakai polo t-shirt walrus dominan putih, mengejar mereka.

"Sial!"

Diara mempercepat larinya. Mereka berbelok ke kanan kemudian. Lalu, masuk ke dalam gang sempit. Saling berhadapan. Sementara, dua laki-laki, yang mengejar mereka, terus berlari.

Diara dan Randy terengah-engah. Mengatur napas.

"Oke, bisa kau jelaskan? Kenapa mereka mengejar kita?"

Randy mendengus. Tatanan rambutnya, berbeda dengan Randy di tahun 2017. Jika Randy masa depan memiliki gaya rambut panjang di bagian tengah, dan sisir ke belakang. Sementara, sisi kanan-kiri nya sangat tipis. Hampir botak. Sedangkan, Randy masa lalu—memiliki rambut belah tengah, yang bagian atas panjang. Dan, pendek di bagian bawah.

"Kau ini kenapa? Kau lupa? Tadi, kita masuk ke bioskop tanpa membeli tiket?"

"Hah? Kenapa? Di sini.. kau juga tidak punya uang?"

"Uang? Haha. Kau ingin membeli tiket? Dan, menonton film seperti orang lain?"

"Bukannya, memang begitu caranya?"

Randy tersenyum bingung. "Kau ini kenapa? Kita memang, sudah biasa melakukan itu. Masuk ke dalam gedung bioskop tanpa membeli tiket."

"Caranya?"

"Yah.. kau tahu, kan? Mengendap-endap dari belakang gedung."

"Aneh sekali."

"Haha. Kau yang aneh, sayang."

"Tu-tunggu. Apa? Sayang?!" Diara memukul kepala Randy.

"Randy! Kau sudah gila?!"

"Hei, ngomong-ngomong.. siapa Randy? Tadi, kau juga menyebutkan nama itu? Kau selingkuh dengan laki-laki bernama Randy itu?!"

Diara diam sejenak.

"Jadi.. maksudnya di tahun ini—aku adalah kekasihmu?"

"Di tahun ini? Oh, ayolah. Ada apa denganmu?!"

"Emm.. Tunggu. Siapa namamu?"

Randy kembali mendengus. "Sayang.."

"Cepat katakan saja!"

"Tomi!"

"Tahun berapa sekarang?"

"1991."