webnovel

Tim Khusus (2)

"Oke, setuju." Kata Rei akhirnya, yang setelah itu langsung beralih ke arah Hilda untuk menyerahkan kembali diary tadi.

"Pastikan Hazel tidak ke mana-mana." Bisiknya kemudian, mumpung orang yang disebut sedang tidak mendengarkan karena dia sedang sibuk mengocok-ngocok handphonenya yang retak mengerikan.

Hilda tidak yakin Hazel akan disuruh apa. Tapi karena bagaimanapun itu demi menyelamatkan Hana, dia pun tetap mengangguk.

Setelah itu Rei pun langsung berjalan ke arah lapangan sesuai perjanjian tadi. Tapi baru beberapa langkah, Rei kemudian berhenti lagi. "Tunggu, kalau begitu apa yang kudapatkan setelah merapikan semua kekacauan ini?"

"Apalagi? Tentu saja kau akan dapat beberapa artikel bagus tentangmu." Balas Loki santai sambil mendahuluinya. "Sudah lama kan kau tidak dapat?" Tambahnya.

"..." Kalau saja Rei langsung melemparkan batu ke kepala Loki, Hilda sebenarnya bisa mengerti itu. Tapi karena orangnya cuma diam, Hilda pun menarik lagi lengannya. "Rei, kau tidak apa-apa?"

"...Aku mau mati." Balas Rei gemas, meski anehnya dia malah langsung menggeleng-gelengkan kepalanya. "—Ah, tidak, tidak! Kalaupun mau mati, Aku kupastikan untuk mengubur Fiona dulu." Gumamnya, yang percaya atau tidak, merupakan caranya untuk menyemangati dirinya sendiri.

Dan dengan turun tangannya langsung ketua Osis ke lapangan, penanggulangan bencana itu pun langsung bergerak dengan cepat. Bukan cuma melakukan sihir otomatis yang langsung merapikan seluruh lapangan yang tadinya seperti habis kena gempa itu, dia juga langsung menyembuhkan semua orang yang masih terluka hanya dalam beberapa ayunan tangan.

Sejujurnya Rei tidak kelihatan asal melakukannya. Hanya saja tidak seperti saat dia menyembuhkan Alisa tadi, Rei kelihatan memeriksa luka-luka mereka dengan sekilas dan langsung menyembuhkannya dengan cepat.

Melihat itu Alisa jadi sadar kalau ternyata Rei tadi mengobatinya dengan lumayan hati-hati. Kalau saja Rei mengobatinya seperti itu juga, mungkin rasanya akan jauh lebih sakit dari yang tadi sudah dia rasakan. Lalu satu lagi…

"Arin, Arin." Panggil Alisa sambil mencolek-colek lengan temannya. "Rasanya kak Rei menggunakan sihir penyembuhan yang agak berbeda dengan yang tadi dia gunakan padaku ya?" Tanyanya.

"...Entahlah, Aku kan sudah tidak bisa melihat aura sihir dan semacamnya." Sahut Arin seadanya.

"Hmh, tapi rasanya ada yang beda…" Gumamnya sendiri, seperti masih tidak yakin. Tapi karena dia juga tidak tahu apa bedanya, akhirnya dia pun cuma bisa kebingungan sendiri dalam hatinya.

=================================================

Seperti yang sudah direncanakan, Rei pun langsung siap-siap untuk pergi menyelamatkan Hana begitu dia selesai mengurus semua orang di lapangan. Tapi karena dia sudah susah payah merapikan semuanya, dia tidak bisa melakukannya begitu saja di sana. Bisa berbahaya pada yang lain juga.

Dia harus melakukannya di tempat lain.

Ruri tentu saja sudah mendengarnya. Lalu Loki juga sudah berhasil minta laki-laki yang bernama Kei untuk membantunya. Jadi untuk melengkapinya, Rei cuma perlu menyeret satu orang lagi.

"Hazel, kau juga ikut." Panggil Rei, yang setelah itu langsung menyulap handphone Hazel yang rusak jadi mulus lagi. "Sekarang."

Tidak tahu apa-apa, orang yang dipanggil malah cuma bisa diam kebingungan, bersamaan dengan firasat buruk yang juga mulai merayapi perasaannya. "Apapun itu, Aku tidak mau." Tolaknya langsung.

"Tidak perlu takut begitu." Sahut laki-laki yang bernama Kei tadi. "Kalau ada apa-apa Aku akan melindungimu." Katanya sambil tersenyum.

'Oh?' Alisa daritadi sudah merasa mengenali laki-laki itu. Tapi setelah melihatnya tersenyum begitu, dia akhirnya ingat. "Kakak sopir yang waktu itu." Celetuknya.

Mungkin karena sekarang dia pakai topi baseball, dia jadi sedikit terlihat berbeda. Tapi garis mata yang melengkung dan lesung pipit yang terlihat saat dia tersenyum itu benar-benar sama dengan yang Alisa ingat.

Tapi siapapun itu, Hazel kelihatannya tidak menyukainya--walaupun secara teknis dia memang tidak menyukai semua orang. "Maksudmu 'Aku' yang harus melindungimu. Aku ragu anjing divisi keamanan bisa berbuat apa-apa tanpa bos-nya." Cibir Hazel balik.

"...Setidaknya masih lebih baik daripada anjing yang cuma bisa nongkrong di pondoknya." Balas Kei juga. Padahal tadi senyumnya masih kelihatan ramah, tapi sekarang senyumnya mulai mirip dengan senyum jahil Fiona.

"Tapi yah, ini bukan permintaan." Sela Rei pada Hazel lagi. "Fiona mengurung Hana di sini." Lanjutnya sambil menunjukkan diary tadi dan Hazel pun langsung diam.

Bahkan meski pondoknya disabotase beberapa minggu lalu, tentu saja dia tidak sejahat itu sampai tidak mau menolong Hana.

Menganggap itu sebagai jawaban iya, Rei pun langsung mengeluarkan sebuah portal sihir. Tidak seperti portal Hazel yang warnanya hitam, portal yang dibuat Rei warnanya biru gelap.

Tapi bahkan setelah portal itu jadi, Ruri tahu kalau Rei masih kelihatan agak gelisah. "Apa? Kau masih butuh orang lain?" Tanyanya.

Tidak membalas, untuk terakhir kalinya Rei mensimulasikan skenario pekerjaan ini di kepalanya, dan lagi-lagi pandangannya malah tertuju pada 3 anak yang masih mengintip dari bawah tenda di sampingnya. Dan Rei tidak mengabaikannya kali ini.

"...Kau, anggota Osis kan? Kalau tidak salah Mary ya?" Panggilnya.

Kaget namanya disebut, Mary pun langsung menegakkan punggungnya. "Eh, A-A-Aku?"

"Aku perlu satu orang lagi." Kata Rei.

"Eh, kakak gila?" Celetuk Hazel, meski dia langsung menutupi mulutnya lagi seakan lupa dia sedang bicara dengan siapa. "Maksudku, kenapa malah minta anak kelas 1?" Tambahnya.

Tapi karena Rei juga paham dengan komentar itu, dia pun tidak protes dan malah memilih untuk kembali mengurungkan niatnya lagi. "Ya apa boleh buat. Kalau begitu kalian bertiga saja." Katanya pasrah.

"Oke, semuanya masuk." Lanjutnya yang kemudian berjalan duluan ke dalam portal sihir itu. Lalu Ruri dan Kei mengikutinya. Hazel terlihat mendesah berat dulu, tapi akhirnya dia juga mulai melangkahkan kakinya.

"Ha-Hati-hati!" Kata Alisa yang tidak bisa menahan dirinya untuk tidak mengatakan apa-apa.

Hazel menoleh dengan ekspresi datar, tapi akhirnya dia hanya mengabaikannya. Meski saat dia akan kembali berjalan ke arah portal lagi, dia malah menyadari kalau handphone yang tadi sudah dibetulkan Rei masih tergeletak di meja.

"Hei, tolong lemparkan handphoneku." Pintanya.

"Eh? Ah!" Sahut Alisa yang setelah itu langsung mengambil handphone Hazel. Tapi karena takut melemparnya, dia pun berlari mendekat untuk menyerahkannya.

"--WA!!" Tapi kalau Alisa tiba-tiba tersandung dan tidak sengaja mendorong Hazel dan dirinya melewati portal itu, sepertinya itu bukan salahnya kan?

Siapa juga yang masih ingat kalau lubang yang dibuat Fiona ternyata masih ada di sana?