webnovel

Divisi Pengendalian Sihir (2)

Sewaktu melihat kalau kumpulan anggota baru yang lain masih menunggu jemputan bis mereka, Alisa pun akhirnya bisa lega sedikit. Soalnya selama piket tadi, sebenarnya dia terus merasa gelisah takut ketinggalan lagi seperti hari pertamanya. Tapi untungnya belum. Soalnya kalau kali ini dia terlambat lagi, mungkin dia benar-benar akan disuruh jalan sendiri ke gedung Osis nantinya.

Hanya saja sewaktu Alisa sudah akan mendekati Mary yang saat itu sedang mengobrol dengan anak-anak lain, sayangnya mereka kedengaran seperti sedang memamerkan kemampuan sihirnya masing-masing. Jadi Alisa yang tidak begitu ingin ikutan pun akhirnya memutuskan untuk jalan ke sisi lain pinggir kolam pancuran saja dan duduk sendirian dulu.

Tapi saat Alisa sedang menikmati kesendiriannya sembari menonton suasana sekitar, ternyata seorang perempuan berjalan mendekatinya. "Hei, kamu yang di situ." Panggilnya.

Tidak langsung menyahut, awalnya Alisa hanya mendongakkan kepalanya dengan diam. Soalnya walaupun Alisa mengenali wajah itu, dia tetap merasa agak pangling karena hari ini rambutnya malah digerai. "Kak Aria? Kak Aria!" Kata Alisa senang yang akhirnya berdiri.

Walaupun ternyata orang yang menyapa duluan malah jadi kelihatan bingung. "...Kau mengenalku?"

"Aku Alisa, yang terlambat sewaktu upacara penyambutan. Dengan Mary dan Hal juga." Balasnya sambil menunjuk Mary di sisi lain kolam pancuran.

"Ahh, benar. Kau anak kucing yang waktu itu!" Balas Aria yang akhirnya ingat. "Pantas saja saat lihat fotomu rasanya seperti pernah lihat." Tambahnya sambil melihat berkas data yang daritadi dia pegang.

'…Anak kucing?' Pikirnya sesaat, meski dia memutuskan untuk membiarkannya saja. "Itu, kakak yang jadi pemandu hari ini?"

"Sayangnya iya." Katanya agak tertawa. "Tapi sebelum bisnya datang, Aku harus menyita pin-mu dulu." Katanya sambil mengeluarkan sebuah gunting.

"...Pin?" Ulang Alisa bingung. "Maksud kakak pin bintang ini?" Tanya Alisa sambil menunjuk pin kecil yang menempel di dasinya. "Kenapa?"

"Tentu saja karena sekarang kau jadi anggota Osis." Balas Aria. "Pin itu kan diberikan supaya murid biasa tidak bisa ke daerah Osis. Jadi sekarang kau sudah tidak membutuhkannya. Yang lain juga sudah kugunting tadi." Katanya sambil menunjuk ke murid-murid di sekitar.

Soalnya pin ajaib itu memang melekat di bajunya permanen saat Alisa memakainya pertama kali. Bukan cuma menempel, pin itu bahkan bisa muncul sendiri saat Alisa pakai seragam yang lain. Jadi kalau tidak dilepas pakai gunting khusus, pin itu memang tidak bisa lepas.

Tapi Alisa malah menekuk bibirnya sedih. "Tapi Aku suka pinnya. Apa boleh kusimpan saja?"

"...Yaa boleh saja sih kalau kau menyimpannya di kamar dan bukan saat ke gedung Osis." Balasnya. "Tapi kau kan tidak punya waktu untuk kembali ke asrama sekarang."

Kembali terdiam, Alisa langsung melihat ke sekitar. "Kalau begitu apa kutitipkan saja ke teman yang lain ya? Tapi jam segini semuanya sudah ke mana-mana sih ya." Gumamnya.

Melihat anak di depannya malah melindungi pin yang biasanya dibuang semua orang itu, Aria pun jadi sedikit bingung. Sehingga tanpa sadar dia juga jadi ikutan mencari solusinya. Dan untungnya dia teringat sesuatu. "Oh? Kalau tidak salah kau masuk ke divisi pengendalian sihir kan?" Katanya kemudian sambil memeriksa kertas di tangannya lagi. "Kalau begitu untuk hari ini harusnya tidak masalah."

"Benarkah?"

"Iya. Soalnya tidak semua divisi ada di gedung Osis semua. Jadi beberapa divisi juga ada yang punya tempat di luar daerah barat, termasuk divisimu. Jadi kalau nanti kau langsung turun di sana harusnya tidak masalah."

"Hehe, untung deh kalau begitu—"

BIIP BIIP! Dan tepat pada saat itu, bis pun akhirnya datang. Itu bis yang sama dengan yang dia lihat di hari pertama, tapi kali ini cuma satu yang datang. "Yasudah sana, cepat naik." Kata Aria yang juga mulai jalan ke sana.

Begitu naik, Alisa pun mulai cari-cari tempat duduk juga seperti yang lain. Tapi untungnya Mary sudah menyisakan bangku untuknya di ujung. "Alisa, sini!" Panggilnya. Baru saat temannya sudah duduk, dia langsung menanyakan pertanyaan yang daritadi ingin dia tanyakan. "Tadi kau bicara dengan kak Aria ya? Kalian bicara apa?" Tanyanya penasaran karena sebenarnya dia juga sudah melihat mereka sejak tadi.

"Eh? Ahh, tadi kak Aria bilang Aku boleh menyimpan pin-ku dulu untuk hari ini."

"Oh, benar. Kau masih memakainya." Balas Mary yang juga menyadari kalau pin itu masih menempel di kerahnya. "Kok boleh?"

"Soalnya katanya divisiku ada di luar daerah barat. Jadi kalau Aku langsung turun di sana harusnya tidak masalah." Jelasnya.

"Ahh…" Sahut Mary yang langsung paham. "Kalau tidak salah Aku memang dengar ada beberapa divisi yang kantornya ada di luar gedung Osis. Jadi divisimu termasuk ya…" Gumamnya. "Berarti nanti kau tidak ke gedung Osis denganku? Hh, sayang."

"Tes, tes. Oke, semuanya dengarkan." Kata Aria di depan. "Bis yang menuju ke gedung Osis ini hanya beroperasi pada jam 3 dan kembali pada pukul 6. Jadi kalau misalnya kalian terlambat atau mungkin perlu bepergian selain pada jam itu, silahkan pikirkan sendiri caranya. Kalau tidak ketemu ya setidaknya sekolah menyediakan sepeda di mana-mana." Jelasnya.

Semuanya kedengaran bisik-bisik tidak puas mendengar itu, tapi masalah itu memang tidak ada penjelasan tambahan lagi. Jadi Aria pun langsung memutusnya. "Oke, ada pertanyaan?"

Seperti sudah menunggunya, Mary langsung mengangkat tangannya. "Apa itu artinya kami tidak boleh berada di gedung Osis setelah jam 6?"

"Tidak juga sih. Soalnya secara teknis gedung Osis terbuka sampai tengah malam." Jawab Aria. Tapi karena merasa jawabannya agak ambigu, Aria pun buru-buru menambahkan, "Tapi kalau saranku, jangan berkeliaran di sana setelah jam 8 atau 9. Kak Rei tidak begitu menyukainya." Katanya dan semua orang pun kembali bisik-bisik sendiri.

"Kak Rei itu kalau tidak salah yang katamu ketua Osis ya?" Tanya Alisa pada Mary.

Orangnya mengangguk, tapi kemudian dia sibuk mengangkat tangan lagi. "Apa nanti kita bisa lihat kak Rei?" Tanyanya.

Tidak langsung menjawab, Aria malah menurunkan megaphone-nya dan tertawa getir sendiri. "Semoga saja tidak." Gumamnya.