webnovel

Cincin Milik Ketua Osis

Setelah pulih dari rasa mual nan menyakitkan yang baru saja menyerangnya, Arin pun akhirnya membuka matanya. Dan seperti yang dijanjikan Rei, Arin mendapati pandangannya kembali bersih dari segala macam kabut yang sudah mengganggunya selama berminggu-minggu. Bahkan saking jelasnya, Arin sampai agak kaget saat menyadari kalau mata tajam ketua Osis itu aslinya berwarna abu-abu gelap.

"Apa sudah jelas?" Tanya Rei dengan ekspresi yang agak mengernyit. "Kalau sudah pakai 3 cincin dan penglihatanmu belum jelas juga, kau benar-benar berlebihan. Aku saja belum pernah pakai." Katanya agak menggerutu.

Itulah alasan kenapa tadi Rei sempat memandangnya dengan tatapan judgy. Karena dia sudah punya tebakan kalau Arin butuh lebih dari satu--bahkan sampai lebih dari 5 sihir untuk bisa memulihkan penglihatannya. Dan bukan cuma ramuan, dia juga kelihatannya butuh sesuatu yang lebih kuat.

Dan di sekolah ini cuma ada satu benda yang bisa melakukan itu. Yaitu cincin peninggalan sesepuh Aviara, entah siapa. Yang pasti ada simbol burung hantu di depan kotaknya.

Ada 5 cincin dengan warna yang berbeda-beda di sana. Ada yang emas, ada yang hitam, merah, silver, sampai yang ungu tua. Cincin-cincin itu tidak memiliki permata apapun, tapi ada ukiran aneh di permukaannya. Tapi karena warnanya saru, Arin tidak begitu yakin apa yang dia lihat.

Dan sekarang, ada tiga cincin yang tersemat di jari Arin. Yang hitam, silver, dan ungu tua. Siapa sangka kalau laki-laki pertama yang memberikannya cincin malah ketua Osis ini...

"...Sudah."

"Sama sekali?" Tanya Rei lagi dan Arin mengangguk kecil. "Yang lain? Apa ada yang masih kelihatan beda?" Tanyanya lagi dan Arin pun menggeleng. "Kalau gitu coba gunakan sihirnya. Semuanya."

"Ba-Bagaimana?" Tanya Arin, meski Rei hanya mengacuhkannya seakan menyuruhnya untuk memikirkannya sendiri. Jadi dia pun mengulang cara yang sebelumnya dikatakan Alisa, yaitu dengan mengetukkan tangannya ke meja.

Yang pertama mejanya jadi berumput, lalu membeku, lalu terbakar, lalu sebagainya dan sebagainya. Daripada yang Arin khawatirkan, semua sihir barunya keluar dengan lancar-lancar saja kali ini. Kecuali yang terakhir.

Arin bisa merasakan ada sihir yang keluar dari jarinya. Tapi entah kenapa tidak ada yang terjadi pada mejanya. "Yang itu kemungkinan sihir hipnotis." Celetuk Rei duluan.

Dia kelihatan menajamkan pandangannya, jadi Arin pun langsung kikuk lagi. "Apa Aku tidak boleh menggunakannya?"

"Kalau tidak ada pengaruhnya padaku, terserah padamu." Kata Rei. "Tapi kalau saranku, jangan beritahu itu pada siapapun, termasuk teman-temanmu."

"Soalnya kalau sampai ke telinga Fiona... Yah, kau tidak akan mau tahu apa yang terjadi pada murid yang pernah ketahuan olehnya."

"...Aku mau tahu. Untuk referensi."

Rei terdiam agak lama mendengar itu. Tapi karena Arin tetap saja memberikan pandangan yang menuntut dan penasaran, dia pun menjawabnya.

"Aku terlanjur mematahkan kedua tangannya, karena Fiona menyuruhnya untuk menghipnotisku."

"..." Arin menyesal sudah menanyakannya.

"Kalau begitu sini tanganmu." Pinta Rei kemudian. Arin sempat takut, tapi akhirnya dia pun mengulurkan tangannya dengan gemetar.

Rei kelihatan menggambar sesuatu di telapak tangan Arin, dan detik berikutnya, ketiga cincin itu pun langsung menghilang jadi tidak kelihatan, begitu juga coretannya. "Aku tidak masalah kalau kau mau memberitahu kemampuan sihirmu pada yang lain. Tapi yang pasti jangan katakan apapun tentang cincin ini pada siapapun."

"Termasuk kak Hana dan yang lain?"

"Termasuk mereka." Balas Rei mengiyakan. "Ah, terutama temanmu yang Alisa itu."

"...Kenapa?"

"Tidak ada. Hanya saja dia kelihatan akan banyak tanya kalau tahu." Balas Rei sekenanya.

Kalimat itu anehnya kedengaran ada benarnya. Tapi karena tidak yakin bagaimana harus membalas itu, Arin pun melepaskan pertanyaan itu dulu. "Tapi sebenarnya bagaimana kakak bisa punya cincin seperti ini?" Tanyanya.

"Bukan punyaku." Katanya. "Itu cuma salah satu warisan khusus yang ada di laci ketua Osis."

"Dan kakak tidak pernah memakainya?" Tanyanya, tapi Rei sudah tidak menyahut lagi.