webnovel

Ulang tahun Maya part 1

Siang hari yang cerah tepatnya hari Minggu di rumah Maya. Maya sedang mengerjakan pekerjaan rumah sendiri di kamarnya.

"Ah! Susah sekali padahal kemarin Andika dan Yatno sudah memberitahuku caranya. Pada hal ini hari ulang tahunku kenapa tidak ada yang datang." Maya menundukkan kepalanya karena pusing. "Oh iya kalo ayah pasti datang saat hari ulang tahunku. Lagi pula dia sudah janji. Kira-kira aku dapat hadiah apa ya?" Maya mulai mengkhayal kira-kira apa yang akan dia dapat dari ayahnya.

Seorang pelayan perempuan mengetuk pintu kamar Maya. "Permisi nona bolehkah saya masuk."

"Iya, masuklah." Maya mengizinkan

"Permisi nona saya membawa pesan dari tuan kalau dia akan pulang."

"Maksudmu dari ayah, kapan?"

"Sekarang tepatnya nanti siang."

"Wah sudah siang hari." Maya melihat sekeliling kamarnya yang berantakan. "Ya ampun, kamarku berantakan sekali."

"Nona tenang saja, kamarnya saya yang akan membersihkannya. Nona siap-siap saja." kata pelayan

"Oh terima kasih, kalau begitu aku mandi lalu ganti baju dulu ya, tolong kamarnya di bersihkan. Kalau buku-bukunya nanti taruh saja di atas meja." Maya pergi meninggalkan pelayan itu.

"Ya nona." Kata pelayan itu.

Maya mempersiapkan dirinya, karena ayahnya akan segera pulang. Maklum ayahnya jarang sekali pulang dan lagi Maya hanya sendirian di rumah. Kalau kalian penasaran dengan ibunya, ibu Maya meninggal saat Maya lahir. Karena itu Maya sangat senang bila ayahnya pulang.

Beberapa menit kemudian.

"Oke sip." Kata Maya yang sedang berkaca sambil mengenakan pakaian yang di berikan ayahnya saat ulang tahunnya tahun lalu.

Maya dan para pelayan berkumpul di depan pintu rumah menunggu kepulangan sang pemimpin Klan Rena. Pintu pun terbuka, tapi mereka semua kaget karena yang datang bukanlah sang pemimpin klan tapi malah Akna.

"Pak guru sedang apa di sini?" Kata Maya.

"Aku." Akna menunjuk dirinya sendiri.

"Ya kalau bukan bapak siapa lagi."

"Oh, entahlah. Tadi saat aku di pusat pemerintahan. Aku bertemu dengan ayahmu lalu dia memberikan surat kepadaku lalu dia langsung pergi begitu saja."

Akna memberikan surat itu kepada Maya. Maya membaca suratnya lalu pergi keluar rumahnya meninggalkan mereka.

Waktu dan tempat yang lain, Andika berlatih pedang sendirian.

"Hadeh lelahnya." Keluh Andika sehabis berlatih di bawah pohon rindang dekat sungai, tempat biasa dia berlatih. "Kira-kira, ibu masak apa ya?" gumam Andika.

Sudah sore hari. Andika memutuskan untuk pulang. Di perjalanan Andika melihat Maya yang sedang duduk murung di pinggiran sungai.

"Itu kan Maya. Sedang apa dia duduk di sana."

Andika menginjak sebuah batu berukuran genggaman tangannya. Andika mengambil batu tersebut lalu melempar batu tersebut ke sungai dekat Maya duduk.

"Kyaa." Teriakan Maya karena terciprat air. Bajunya jadi basah. Maya berdiri menghadap ke belakan lalu berkata. "Hei siapa yang lempar batu tadi."

"Aku yang lempar memang kenapa?"

"LU NGAJAK RIBUT YA." Menarik kerah baju Andika lalu mendorong dan menariknya berulang-ulang.

"Oke tenang dulu, aku sengaja melemparmu tadi. Aku kira kau bosan hidup karena nilai burukmu, jadi aku sengaja agar kau tidak lompat ke sungai." Kata Andika.

"Aku tidak akan sampai melakukan hal seperti itu Andika." Maya duduk kembali dan melihat ke sungai.

"Kau kenapa? Maya."

"Tidak. Tidak apa-apa."

"Sudah bicara saja. Aku akan mendengarkan."

"Sebenarnya aku ke sini ingin membuang kesedihanku."

"Memangnya kenapa?" Andika bertanya.

"Sebenarnya ayahku tidak pulang hari ini. Karena tugas mendadak."

"Hanya itu."

Maya mengangguk.

"Aku pulang sajalah." Andika pergi.

"Tunggu dulu. Kau bilang mau mendengarkan." Menarik baju Andika.

"Kalau hal lain selain itu aku mau. Dasar anak manja."

"Ya aku minta maaf. Aku memang manja, mau bagaimana lagi."

"Hah. Baiklah, aku akan mendengarkan." Andika duduk kembali di samping Maya.

"Andika kau tahukan kalau aku di rumah sendirian."

"Kau tidak menganggap para pelayan di rumahmu sebagai keluarga."

"Iya, tapi berbeda. Walaupun aku biasa hidup dengan mereka sejak kecil. Mereka berbeda dengan ayahku, saat aku menangis ayahku selalu mengelus kepalaku lalu berkata sudah diam ya nanti putri ayah yang cantik jadi jelek."

"Jadi, masalahnya seperti itu."

"Ya padahal aku sudah menunggunya. Tapi yang datang malah pak guru."

"Hah, kok bisa begitu?"

"Padahal baju yang kau buat basah ini baju hadiah ulang tahunku tahun lalu."

"A-aku minta maaf."

Maya diam menundukkan kepalanya.

"Kau tahu Maya, sebenarnya aku iri setelah mendengar ceritamu tadi." Andika mengambil batu kecil lalu melemparnya ke arah sungai.

"Memangnya kenapa?" Maya bertanya.

"Kalau ayahku walaupun dia pulang. Di rumah hanya tidur. Bawa bingkisan pulang juga tidak, walaupun terkadang dia mengajak kami jalan-jalan sebentar lalu dia pergi."

"Tapi setidaknya kau masih punya ibumu kan."

"Kalau ibuku terkadang juga jarang di rumah."

"Oh." Maya melempar batu ke sungai. "Kau tahu Andika, sepertinya kau sudah sedikit berubah."

"Tidak juga. Dari dulu aku selalu seperti ini kok."

"Bohong." Maya tertawa kecil.

"Ayo pulang, sekarang sudah hampir malam." Andika berdiri. "Tapi, kau harus ganti bajumu dulu."

"Sudahlah tidak perlu."

"Jangan nanti kalau kau masuk angin bagaimana. Lagi pula dari sini dekat dengan rumahku."

"Memangnya kau punya baju perempuan Andika?" Tanya Maya.

"Aku belum cerita ya. Sepertinya di episode sebelumnya ada deh."

"Kau bicara apa sih, Andika."

Mereka berdua akhirnya pulang bersama ke rumah Andika. Jarak rumah Andika tidaklah begitu jauh dari tempat mereka duduk, jalan sepuluh menit juga sampai.