webnovel

Rama part 1

Semua murid menunggu Akna masuk ke kelas, menunggu hasil belajar mereka selama satu semester. Semua murid menunggu dengan semangat terlebih Andika dan Yatno yang mengejar peringkat nomer satu di kelas.

Hampir sama seperti kalian yang jika mengambil rapot sering di temani orang tua kalian. Di cerita ini juga sama, mereka juga di temani orang tua mereka juga.

Di kelas.

Andika, Yatno, dan Yatna. Berkumpul di meja Maya.

"Sepertinya siapa ya yang mendapat peringkat satu di kelas?" Kata Maya.

Setelah mendengar kata-kata itu Andika dan Yatno seperti berada di medan perang yang sedang bersiap memulai peperangan antara mereka berdua. Ya memang seperti itu kalau mereka mulai membahas tentang nilai siapa yang tertinggi. Pertarungan antara mantan murid Javana Greed dan mantan murid Khusus Militer.

"Maya sepertinya tidak bagus kalau mengatakannya sekarang." Yatna menunjuk ke arah Andika dan Yatno. "Lihat mereka sudah mulai saling tatap menatap."

"Maaf aku lupa." Kata Maya.

"Tenanglah kalian berdua ingat kata Akna. Nilai bukanlah yang terpenting." Kata Yatna.

"Kalau itu aku tahu tapi untuk sekarang sepertinya tidak diperlukan lagi." Kata Andika.

"Ingat ini Andika aku tidak akan pernah kalah dari mu dalam hal apapun." Kata Yatno.

"Kau terlalu yakin. Hasil tanding kita 99:98 akulah yang menang dalam bela diri berpedang."

"Sudah. Tenanglah kalian berdua, sebentar lagi pengambilan rapotnya di mulai. Mau sampai kapan kalian bertengkar terus." Kata Yatna berusaha melerai pertengkaran mereka berdua.

"Ya itu benar kita ini teman bukan. Karena hal seperti ini kalian bisa bertengkar hebat seperti ini." Kata Maya.

"Ya baiklah. Ada benarnya kata mereka, bagaimana Andika. Kita sudahi saja pertengkaran ini." Kata Yatno.

"Ya baiklah. Tapi lihat saja siapa yang nomer satu nanti."

"Ya baiklah kita lihat saja nanti. Rival." Kata Yatno.

"Oh iya hari ini siapa yang menemani kalian mengambil nilai." Kata Maya, mengganti topik pembicaraan.

"Kalau kami berdua tidak perlu, karena ayah kami adalah guru di sini." Kata Yatno.

"Bagaimana denganmu Andika?" Tanya Yatna. "Ku harap bukan ayahmu yang datang."

"Tenang yang datang hari ini adalah ibuku." Balas Andika.

"Syukurlah sepertinya ibumu tidak segalak ayahmu." Kata Maya.

"Ya. Aku masih membayangkannya. Terhantam composite sword milik ayahmu." Kata Yatna.

"Kau pernah bertemu dengan ibunya Andika Maya?" Tanya Yatno.

"Iya, ibu Andika sangat baik kalau kalian tahu. Cantik, kuat, dan lagi masakannya itu sangat enak." Kata Maya.

"Wah sepertinya sangat menyenangkan memiliki ibu seperti ibunya Andika." Kata Yatna.

"Oh iya dari dulu aku penasaran, memangnya ibu kalian ke mana Yatna, Yatno? Aku tidak pernah melihatnya." Tanya Maya.

"Kalau ibu kami dia bekerja di ibukota tepatnya di pusat pemerintahan." Kata Yatno.

"Bekerja sebagai apa?"

"Entahlah, dia tidak pernah berbicara tentang pekerjaannya." Kata Yatna.

Maya dari tadi memerhatikan Andika kakinya gemetar dan juga berkeringat. "Andika kau kenapa?" Tanya Maya.

Andika terkejut. "Ah, ya. Kenapa?"

"Kenapa? Maya bertanya kepadamu. Kau malah berbalik bertanya." Kata Yatna.

"Kau kenapa Andika, kau sakit?" Tanya Maya.

"Sebenarnya kata-kata kalian yang membuatku keringat dingin." Kata Andika, mengelap keringatnya dengan bajunya.

"Memang kenapa dengan percakapan kami?" Tanya Maya, penasaran.

"Ibuku memang baik kalau menurutmu. Tapi saat dia marah." Mengangkat tangannya yang gemetar.

Baiklah akan ku ceritakan.

Saat itu Andika sedang di ruang makan. Dia sudah selesai dengan makanan malamnya Andika beranjak dari kursinya meninggalkan meja makan. Tiba-tiba Hamida memanggil Andika, Andika menoleh, dengan cepat sebuah piring, sendok, dan garpu mengenai Andika. Piring mengenai muka Andika lalu pecah, sedangkan sendok dan garpu menancap di badannya. Andika tergeletak seketika, Ibunya berkata. "Letakkan piring dan alat makan di tempat seharusnya." Terlihat senyuman manis tetapi menyeramkan di wajah Hamida.

Ada lagi. Saat itu Andika, Fadla, dan Megina sedang berlatih di tempat mereka biasanya yaitu di bawah pohon besar dekat sungai. Saat itu bukan Sukirto yang melatih mereka melainkan Hamida. Mereka sedang berlatih teknik bertahan, saat itu Hamida berkata akan sangat serius melatih mereka, tapi mereka malah menganggapnya enteng. Tiba-tiba saja mereka terlempar sepuluh meter dari tempat mereka berdiri. Tulang mereka patah karena pedang latihan yang menghantam mereka, bahkan pedang latihannya sampai patah terbelah dua karena terlalu kuat menghantam tiga orang sekaligus, Hamida kembali memperlihatkan senyum manisnya.

Sebenarnya masih banyak lagi, tapi kalau terus kuceritakan tidak akan sampai ke inti cerita. Memang hebat kelas S peringkat 2.

"Mengerikan." Andika menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang gemetar.

"Dia kenapa?" Tanya Yatna kekembarannya.

"Entahlah mungkin ingatan buruk." Jawab Yatno.

Kalau kalian tanya padaku itu bukan kenangan buruk lagi.

Akna masuk ke dalam kelas bersama para orang tua murid. Semua murid duduk di bangkunya masing-masing bersama orang tua mereka. Tidak lupa seperti biasa ketua kelas menyiapkan para murid.

Hamida berjalan menuju meja Andika. "Wah aku tidak menyangka kalian duduk bersebelahan." Kata Hamida sambil tersenyum.

"Sudahlah bu." Kata Andika.

"Iya tenang saja, ibu hanya bercanda." Mengelus kepala anak pertamanya. "Oh iya, ayahmu menitipkan pesan padaku dia minta maaf kalau tidak bisa mengambil rapot bersamamu. Tapi sebagai gantinya aku yang mewakilimu." Kata Hamida ke Maya.

"Oh. Terima kasih Ibu Andika, maaf merepotkan."

"Maaf ya, hari ini aku datang terlambat. Ada rapat penting yang harus ku datangi tadi bersama orang tua kalian dan mungkin aku harus pergi lagi sekarang. "Benar bukan Ibu Kisana?"

"Iya. Benar sekali." Hamida mengangguk.

"Baiklah langsung ke intinya saja." Akna menulis urutan nama-nama murid peringkat sepuluh sampai satu. Di urutan ke sepuluh Akna menulis Yatna.

"Sepertinya aku harus belajar lebih keras lagi. Selamat ya Yatna." Maya memuji Yatna.

"Ya, terima kasih. Kau juga harus banyak belajar lagi Maya."

Di urutan ketiga Akna menulis Yatno.

"Sudah jelas bukan." Kata Andika, meledek Yatno.

"Tenanglah, peringkat satu belum tertulis." Kata Yatno.

Di peringkat kedua Akna menulis Andika.

"Mustahil! Siapa?" Andika sangat terkejut.

"Hah, nomer dua." Kata Yatno mengejek kembali Andika.

"Lalu siapa yang pertama?" Tanya Maya.

"Entahlah." Kata Yatna.

"Tenanglah kalian, aku tidak dapat skennya kalau kalian berbicara terus." Akna memarahi mereka. Anak muda jaman sekarang selalu saja begitu." Kata Akna.

Akna menulis nama Rama Dhian, di peringkat nomer satu.

Murid-murid di kelas itu berkumpul di meja Rama yang berada di pojok paling belakang kelas. Mereka memujinya karena telah mengalahkan Andika dan Yatno, tapi Rama hanya diam tidak menjawab.

"Andika, ibu ingin berbicara padamu hanya empat mata." Terlihat senyuman di wajahnya.

"Baik."

Beberapa saat kemudian. Semua murid telah mengambil rapot mereka, mereka pulang ke rumah mereka masing-masing. Dari semua murid yang mengambil rapot mereka hanya Rama yang mengambil rapotnya sendiri, tanpa wali yang menemaninya.

Di kelas.

Setelah berbicara dengan ibunya Andika kembali ke kelas untuk mengambil tasnya yang tertinggal. Andika melihat Rama yang diam di mejanya, Andika menghampirinya. "Hei, namamu Rama bukan. Kau tidak pulang?" tanya Andika.