webnovel

Anaya dan Hujan Bab 3

Anaya melepas paksa pelukan Raka. "Lihat itu? Pilih salah satu, yang bisa kamu pakai. Bawa aku pergi dari sini," ucap Anaya. Sedangkan Raka masih diam melamun.

Anaya geram lalu menarik telinga Raka. "Hei Raka!"

"Aaah sakit Nona Anaya cantik. Aku sedang memilih beberapa mobil cantik ini. Astagaa aku baru melihat mereka," ucap Raka.

"Cepat."

"Ah, itu di ujung sana, warna hitam keren sepertinya," ucap Raka menunjuk mobil berwarna hitam di pojok kanan, dekat dengan jalan keluar.

"Pilihan yang bagus, pegang ini," Anaya memberikan Raka tas beratnya yang berisi buku dan makanan, eh ada uang miliknya juga.

"Tunggu Nona!"

"Jangan berisik!"

Perjalanan Anaya dan Raka dimulai, saat ini Rala sedang mengemudi mobil milik Anaya. Anaya sendiri tertidur dibangku depan samping Raka.

Raka yang terus melirik Anaya yang tertidur. Membuat si empunya wajah risih dan terbangun. "Apa yang kamu lihat?" tanya Anaya ketus.

"Bibirmu, ups!"

"Sekali lagi melihat tubuhku, jangan harap kamu bisa hidup," ucap Anaya tegas.

"Ma-maaf Nona cantik. Sudah tidur lagi saja, by the way apakah persediaan bahan bakar banyak?" tanya Raka sedikit berhati-hati.

"Ada, dibagasi mobil. Mereka aman disana, jadi jangan takut kehabisan, mobil ini irit bensin, kecepatannya juga sama seperti mobil mahal lainnya," ucap Anaya.

"Wah keren sekali, apakah kamu yang membelinya?"

"Bukan, aku yang mendesain, dan Ayah yang meminta pihak pembuatan mobil membuat pesananku," jawab Anaya, matanya mulai terbuka sepenunya.

"Jadi ini mobil pribadimu?"

"Iya, karena itu jangan sentuh kotak warna merah."

"Apa isinya?"

"Banyak tanya sekali, hentikan mobil ini didepan, perutku sudah lapar," ucap Anaya ketus.

"Baiklah aku juga lapar. Apa ada nasi goreng dan mie samyang disana?"

Sesampainya di caffe, Anaya langsung meminta buku Menu. Raka sibuk dengan Tab, laptop, dan handphone nya.

"Ada apa?" tanya Anaya heran.

"Ada peningkatan dan tambahan misi," jawab Raka singkat.

"Maksudnya?"

"Kamu, aku bawa pergikan? Ini berbahaya bagiku, dan aku harus melindungimu 24jam. Ada yang mengincar kamu, dan …" Raka melihat leher Anaya. "Dimana kalungnya?" tanya Raka tegas.

"I-ini. Ada apa denganku dan kalungku?"

"Kalung itu biar aku yang pakai, tetap tutupi simbol itu, dan jadilah pacarku untuk saat ini dan kedepannya." ucap Raka semakin tegas.

"Apa?!" Anaya semakin heran dengan tingkah makhluk ini. Ada apa sebenarnya?

"Sussttt! Jangan berisik disini," Raka berbisi pada Anaya. Hampir saja ketahuan.

"Iya lalu kenapa?" Anaya ikut berbisik.

"Kalung ini pendeteksi keberadaan kamu, semacam GPS lagi. Jika kalung ini dipakaikan dileherku, sinyal pendeteksi akan berubah menyesuaikan tubuhku, dan mereka tidak bisa menemukan kita, karena aku sudah mematikan sambungannya hehe," jelas Raka, masih bisa tertawa kecil. Tapi lucu, sedikit membuat Anaya tertawa, hanya sedikit.

"Baiklah terserah kau saja."

"Iya pacar, hehe."

Lagi dan lagi, bertengkar tidak tahu tempat dan waktu. Seperti layaknya pasangan muda mudi yang dipersatukan semesta. Anaya dan Raka menjalani sandiwara pacaran ini dengan sangat baik.

Tujuan mereka saat ini adalah, mengambil bukti kuat di kediaman Paman Toni, adik dari Ibu Daisy. Sepertinya agak sulit, sejak kecil Anaya takut pada paman Toni, padahal pama Toni hanya memberi permen pada anak kecil.

"Kenapa harus takut?"

"Bodoh, itu bukan permen biasa. Ada obat tidurnya, dan anak-anak itu, sahabatku. Satu persatu hilang tanpa kabar, lalu bagaimana perasaan orang tuanya? Aku hanya memikirkan itu," ucap Anaya, wajah nya terlihat murung karena kisah paman Toni.

"Sudah jangan takut, aku ada bersamamu," ucap Raka.

"Sudah jangan menggombal, habiskan kopi itu. Untuk tujuan selanjutnya biar aku yang mengemudi," ujar Anaya, lalu kembali memakan kue yang ada dimeja.

"Baiklah Nona pacar, hati-hati yah," kata Raka dengan senyum dan rentetan gigi putih dan rapih.

"Habis, kamu sangat lambat dalam mengemudi," tukas Anaya.

Selesai beritirahat dan makan malam, Raka dan Anaya kembali ketujuan mereka, rumah Paman Toni. Perjalanan hanya beberapa kilo meter dari caffe tadi. Hanya saja, jalanan ke rumah paman, berliku, bercabang, jalan setapak dan berada di atas bukit. Seperi hutan kecil, kesanapun hanya bisa jalan kaki, mobil tidak bisa masuk.

"Sudah aku duga, pasti kamu merengek saat ini," ujar Anaya pada Raka.

"Ti-tidak, aku tidak takut. Kamu tetap disampingku, jangan pergi dari sini--"

"Selamat malam Nak."

"Huwaa!" Raka dan Anaya kaget secara bersamaan. Tiba-tiba saja pama Toni sudah ada tepat dibelakang mereka.

"Ada apa malam ini kemari?" tanya paman Toni.

"Kami mencari paman, hanya ingin bersilaturahmi," jawab Anaya.

Raka berbisik pada Anaya. "Sepertinya paman ini ramah," bisiknya.

"Jangan mudah tertipu dengan keramahan seseorang," jawab Anaya ikut berbisik.

"Kalian berdua, teman atau sepasang kekasih?" tanya Paman Toni.

"Teman," jawab Anaya.

"Kekasih," ucap Raka.

"Jadi sebenarnya, teman atau kekasih?" tanya paman Toni sedikit curiga. Sedangkan Anaya dan Raka saling membuat kode.

"Kami sudah berpacaran paman, hehe," jawab Raka sedikit takut.

Sesampainya di rumah sederhana berwana biru, berukuran minimalis dengan gaya elegant. Rumahnya cantik, sepertinya sangat nyaman jadi tempat dinggah jika para penghuni tak kasat mata ini pindah rumah.

"Aku, mencurigai sesuatu," ujar Raka.

"Aku juga, diam dan tenang. Jangan lari Raka, aku juga takut," bisik Anaya.

"Oh, baiklah sayang."

Dari balik pintu, seorang ibu terlihat agak tua dari suaminya, rumor mereka, paman Toni menikahi janda cantik didesa ini. Perempuan itu menatap dengan wajah ramah, tapi beda lagi dengan pandangan Anaya.

Anaya kembali berbisik. "Hati-hati, perempuan itu ada pelindungnya," ujar Anaya.

"Apa yang melindunginya?" tanya Raka, juga ikut berbisik. "Tunggu, bau ini, aku tahu ini pasti Genderuwo," sambung Raka. Anaya mengangguk, jari telunjuknya ia tempelkan dibibirnya, pertanda Raka harus diam dan jangan banyak bicara.

Ibu itu mempersilahkan kedua muda mudi ini duduk dan disajikan beberapa jenis makanan ringan. Di gelas ada air berwarna merah, yang terlihat seperti sirup di mata Raka, dan darah hewan di mata Anaya.

Paman Toni duduk disamping istrinya lalu bertanya pada Anaya. "Anaya, ada perlu apa malam-malam datang kemari, apa kamu tidak takut?" tanya paman Toni.

"Tidak paman, oh iya, perkenalkan ini pacarku namanya Raka. Dia ingin meminjam buku sejarah yang tidak ada diperpustakaan Ayah. Hanya untuk tugas kuliah, setelah dia selesai kami mau langsung pulang," jawab Anaya.

Paman Toni dan istrinya saling menatap, lalu mereka. "Silahkan, asalkan jangan membuka pintu yang disebelah sana yah Nak," ucap Paman Toni, dan diangguki oleh istrinya.

Anaya dan Raka saling menatap, Raka memberi kedipan bisa disebut kode etik menurut mereka berdua. "Baik Paman terima kasih," ucap Anaya. "Cepat Raka," sambungnya lalu menarik lengan baju Raka.

Diperpustakaan mereka mencari bukti terkait kasus pembunuhan berencana, dan mencoba memecahkan teka-teki kemana hilangnya teman-teman Anaya.

Raka sedikit kesulitan membaca tulisan tangan dalam buku yang ada di atas meja belajar Paman. Tetapi ada bau tidak sedap mengganggu mereka berdua.

"Jangan, bergerak Raka, tetap diam disana," perintah Anaya. Raka sendiri kebingunga, ada apa dengan Anaya?

Clak .. Clak …

Tetesan darah jatuh dari langit-langit ruangan. Tapi Raka masih tidak menyadari. Sedangkan Anaya, sedikit kaget karena, hantu yang mengganggu Raka mirip dengan teman kecilnya. Adam, menurut rumor, dia hilang menjelang malam. Orang tuanya mengatakan, dia membawa sebungkus permen dan bunga melati, lalu pergi entah kemana. Adam hanya berpamitan ingin pergi bermain, setelah itu hilang berminggu-minggu.

Tak lama mayat Adam ditemukan, mayat itu ada didalam sumur tua bekalang rumah Paman. Dengan kondisi kaki kanan patah, luka tusukan diperut, dan lubang tepat diarea ginjal, bahkan ginjal Adampun hilang.

"Anaya?"

"Dia meminta ginjalmu Raka," ucap Anaya dengan tatapan kosong. Raka masih kebingungan. "Jangan ambil ginjal Raka, dia baik, dia temanku juga. Pulang adam," ucap Anaya pada sudut kosong rak buku.

"Siapa?" tanya Raka.

"Kemari, cepat!" ucap Anaya lalu menyeret Raka untuk mendekatinya.

"Anaya, dimana kakiku, dimana ginjalku? Aku mau pulang, aku lelah terus bergentayangan tanpa arah. Bantu aku Anaya," ucap arwah Adam.

Brak!!

Seketika lampu perpustakaan mati lalu kembali menyala, angin dari jendela masuk dan menerbangkan semua kertas dan buku yang ada disana. Adam terlihat marah, melihat Raka dan menarik Raka ke atas. Mencekik Raka dan mendorongnya ke tembok. Tangan hitam penuh darah itu mencoba mengorek dada Raka, dimana organ ginjal berada.

"Adam, jangan! Hentikan, akan aku bantu mencarinya," ucap Anaya mencoba berbegosiasi dengan Adam.

"Cari … cari ginjal dan kakiku … " ucap Adam, semakin merintih seperti kesakitan. Lalu Adam melempar Raka dan mengenai rak buku. Hampir saja rak buku itu jatuh meninpa tubuh Raka.

"Baik, akan aku carikan. Tapi jangan ganggu kami lagi," ucap Anaya.

Seketika arwah Adam menyempurnakan bentuknya, terlihat sosok laki-laki tampan menghampiri Anaya dan mengusap pipi tembam Anaya. "Jangan menangis, aku pulang kembali pada Tuhan, jaga dirimu baik-baik, dan laki-laki naif itu. Aku menyayangimu Anaya," ucap Adam lalu wujudnya kembali tidak sempurna dan menghilang. Karena Raka mengalami luka dalam, Anaya mencari ginjal dan kaki milik Adam ditempat lain.

Bersambung