webnovel

Dunia yang Berbeda

Daun Merah meninggalkan warung soto Pak Yes dengan perasaan keruh. "Kenapa dia lagi, dia lagi," gerutunya.

Dunianya memang sempit. Tapi tak sesempit yang dia rasa kini. Nama Langit Biru hampir memenuhi seisi dunianya. Dimana-mana ada dia dan dia.

Merah melajukan sepeda motornya ke tujuan yang entah. Entah dengan dirinya juga. Karena baru kali ini dia bisa berakrab dengan jalanan. Bersepada motor ria keliling-keliling kota. Padahal debu dan peluh bersetia. Meski tak ada seorang pun yang menemani.

Tak tahunya Merah telah sampai di Jalan Mataram. Dilihatnya sebuah agen surat kabar dan majalah yang sudah tutup, namun di depannya terdapat lapak kecil yang menjajakan koran dan majalah. Dia pun menghentikan laju sepeda motor yang dia kendarai.

"Kepodang Minggu Ini ada, Pak?" Tanyanya kepada pelapaknya.

"Masih ada, Mbak, ini."

Daun Merah meraih tabloid itu. Segera saja dia membuka-buka halamannya. Yang dia cari tidak ada.

"Edisi sebelumnya ada, Pak?"

"Hmmm, sepertinya masih ada. Sebentar, Mbak, saya carikan dulu."

Daun Merah merasa heran kepada dirinya sendiri. Meski ada kekesalan, namun keingintahuan kepada sumber kekesalan itu ternyata lebih besar. Daun Merah memerhatikan pelapak itu dan berharap yang dicarinya bisa segera diketemukan. Semenit dua menit berlalu. Terasa panjang bagi Merah.

"Ini, Mbak, silakan."

Senyum sumringah mengembang di bibir Daun Merah. Dia langsung membuka halaman di bagian belakang. Hmmm, yang dicarinya tidak ada lagi. Helaan nafas terdengar. Bertambah jengkel dirinya.

"Ada yang lebih lama lagi, Pak?" Tanya Merah mulai menyerah.

Pelapak itu menggeleng.

"Ih, menyebalkan. Tak dicari, bertemu dimana-mana. Dicari-cari malah sulitnya minta ampun," batin Merah.

Daun Merah benar-benar menyerah. Dia sudah berniat meninggalkan lapak itu. Sebagai bentuk penghargaan kepada pelapaknya yang telah berusaha mencarikan tabloid untuknya, dia mengeluarkan uang untuk membayar dua tabloid itu.

Pelapak itu menerima uang dari Merah seraya melipat tabloid, mencari uang kembalian, dan menyerahkannya.

Daun Merah berjalan gontai ke arah kendaraannya. Membuka jok dan memasukkan tabloid ke dalam bagasi. Daun Merah menutup jok dan mengenakan helm. Dia sudah duduk di atas jok motor dan siap menyalakan mesinnya.

"Mbak, mbak, ini ketemu. Edisi sebelumnya," teriak dari arah lapak.

Daun Merah masih merasakan kekecewaan. Tak ingin kecewa lagi. Dengan ogah-ogahan dia pun menanggapi. "Kalau ada cerpen Langit Biru, aku beli, Pak."

Daun Merah tak memerhatikan pelapak itu. Tiba-tiba sudah berada di dekatnya. "Ini, Mbak, ada."

Ada percikan kebahagiaan di dalam hati Daun Merah. Yang dicarinya telah ditemukan. Meski awalnya dia tak memiliki niat sedikit pun untuk mencari. Hanya saja ada suatu bisikan untuk mencari dan menemukannya. Sungguh bisikan aneh yang sama anehnya dengan kelakuan Daun Merah yang kini kegirangan.

Daun Merah menerima tabloid. Dia pun mengambil uang kembalian yang tadi untuk digunakan membayar tabloid.

"Ini untuk mbak. Gratis," kata pelapak itu dengan senyum yang lebar selebar senyum Daun Merah. Bedanya di hati Daun Merah dipenuhi oleh bunga-bunga yang entah datangnya dari mana.

Segera saja Daun Merah mengucap terima kasih dan menyimpan "barang temuannya" itu ke dalam bagasi. Dengan keceriaan di wajahnya, Daun Merah tahu tempat mana yang ingin dikunjunginya. Pusat perbelanjaan di tengah kota.

Meluncurlah Daun Merah melibas padatnya arus lalu lintas sore hari. Keringat yang mengering di wajah dan terasa di beberapa bagian sekujur tubuhnya tidak dihiraukannya. Tiba-tiba dia telah memarkirkan sepeda motor dan berada di dalam pusat perbelanjaan yang kini ramai oleh pengunjung.

"Waktu memang tak pernah berputar konstan. Dia melambat dan merambat cepat bergantung perasaan," gumamnya.

Daun Merah berkeliling dan melihat-lihat aktivitas orang-orang yang sedang berbelanja. Dia menikmatinya. Ada seorang bapak-bapak yang tampak malu-malu mengobrol dengan penjaga stand busana dalam wanita. Ada anak kecil yang merengek minta dibelikan sepatu. Seorang ibu tampak kerepotan membawa belanjaan. Dia juga melihat seorang gadis yang sedang melihat-lihat aneka macam busana. Saat didekati oleh pramuniaga, malah menjauh. Terlihat antrean cukup panjang di bagian kasir. Seorang pria berkepala botak menggaruk-garuk kepalanya. Dan, masih banyak lainnya yang tak teramati oleh Merah.

Ternyata ada keasyikan tersendiri saat mengamati.

Langkah kaki Daun Merah mengantarkannya ke depan pintu bioskop. Dia melihat-lihat reklame film yang sedang dan akan tayang. Judulnya lucu-lucu. Hantu-hantuan yang saling berebut eksistensi. Ada pocong, kuntilanak, suster ngesot; di kuburan, jembatan, kamar mayat, kamar sebelah, pohon, rumah kosong, bahkan di bangku kosong pun ada. Ada juga film-film yang mengumbar keseksian. Mulai dari kawin-kawinan, pijat-pijatan, dan bahkan keseksian juga berkolaborasi dengan hantu-hantuan.

Daun Merah memutuskan membeli tiket film yang sebentar lagi tayang. Antrian yang tak begitu panjang membuatnya tak perlu berlama-lama mengular. Dia memilih tempat duduk di deretan tengah. Kemudian dia membeli beberapa camilan dan minuman. Pemberitahuan untuk segera masuk ke bioskop berkali-kali dia dengar. Dia pun masuk dan menempatkan diri sesuai nomor kursi dengan ditunjukkan oleh seorang karyawan.

Lampu padam dan film mulai diputar.

Dia membuka botol minuman dan beberapa kali mereguk isinya.

"Mbak, mbak," terdengar panggilan.

Suara itu semakin keras terdengar. Daun Merah menggeliat dan mulai membuka mata. Keadaan tak lagi gelap. Bangku-bangku penonton sudah kosong. Seorang karyawan perempuan di depannya.

Daun Merah mengumpulkan kesadarannya. Menggeliatkan tubuh yang terasa kaku. Dan, bangun tergesa-gesa keluar dari dalam bioskop. Daun Merah menyadari bahwa dirinya tertidur. Sama sekali tidak ada yang bisa diingat dari film yang barusan diputar.

Dia mampir ke kamar kecil untuk cuci muka. Lapar melanda. Hari ini makanan yang mengisi perutnya hanya setengah mangkok soto Pak Yes. Kini panggilan alam itu terasa mendesak.

Dia teringat camilan yang dibelinya tadi tak sempat dinikmati. Hanya minuman dalam botol yang sempat direguknya. Semua caliman itu tak ada dalam penguasaannya. Tertinggal di bangku penonton. Daun Merah tetap melanjutkan langkah. Dia berjalan dengan perasaan asing. Orang-orang yang ditemuinya sama sekali tidak ada yang dikenalinya, apalagi mengenali dirinya.

Dia hanya ingin bersegera menyantap makanan.

Daun Merah memilih makanan di restoran cepat saji dengan menu utama ayam. Setelah membayar dan mendapatkan makanannya, dia memilih tempat duduk, dan makanan itu pun tak habis disantapnya. Perutnya terasa kenyang.

"Di tempat yang katanya modern ini aku merasa tidak dipercayai. Aku harus membayar sebelum makan. Sedangkan di tempat yang di pinggiran itu, aku kenyang lalu membayar," pikir Daun Merah meninggalkan tempat itu begitu saja.

Dia berjalan-jalan lagi dan berusaha mengamati orang-orang. Dan, tak ada lagi kenikmatan seperti tadi. Semua kembali tampak biasa. Tak ada satu pun yang menarik.

Dia menuju ke parkiran. Senja menghadang. Lampu-lampu jalanan di sana-sini mulai menyala. Dia memakai helm dan mencari kunci motornya. Tidak ada. Dia cari-cari lagi. Kunci dengan gantungan hiasan daun maple berwarna jingga itu tidak ditemukannya.

Daun Merah mulai panik. Dia pun berusaha mengingat-ingat. Lalu menuju ke tempat dia makan. Sambil mengamati ke bawah sepanjang perjalanannya. Tidak ada. Begitu juga saat bertanya ke karyawannya, dijawab tidak mengetahui. Tempat terakhir yang ada di benak Merah adalah bioskop. Dia menemui karyawan yang sedang bertugas.

"Mbak, tahu ada kunci dengan gantungan daun yang mungkin tertinggal di dalam bioskop?" tanya Daun Merah kepada karyawan bioskop.

"Mbak ini yang tadi tertidur di dalam?" tanya karyawan itu memastikan.

"Iya, Mbak. Aku tadi ketiduran. Aku bergegas keluar setelah ada yang membangunkan."

"Itu saya, Mbak, yang membangunkan. Iya, ada kunci yang tertinggal. Sebentar, Mbak, saya ambilkan. Tadi saya berikan ke teman beserta camilan dan minumannya," kata karyawan itu berlalu dari hadapan Daun Merah.

Daun Merah menunggu dengan perasaan yang lega.

"Ini, Mbak, kuncinya. Benar milik, Mbak?"

"Iya, benar. Terima kasih, Mbak."

Daun Merah menerima kunci itu.

"Hmmm, tapi maaf, Mbak..."

Daun Merah mengira apakah orang ini meminta imbalan. Dia pun berusaha mencari dompetnya. Lalu membukakan dompetnya untuk mengeluarkan beberapa lembar isinya.

"Bukan itu, Mbak. Maksud saya, maaf karena camilan Mbak dimakan oleh teman saya, sambung karyawan itu, Langit memang begitu. Maksud saya, teman saya memang sukanya begitu. Suka rese kalau lapar. Kalau ada makanan langsung saja diamankan. Di dalam perutnya tentunya. Hehehe."

Merah memaksakan diri untuk tersenyum. Senyum yang kacau. Jika tidak salah dengar karyawan itu menyebut nama Langit. Daun Merah merasa sangsi terhadap apa yang didengarkannya itu. Saat hendak ditanyakan, karyawan itu telah meninggalkan dirinya dengan pikiran bengong.

Ada dua hal yang membuat Daun Merah habis pikir. Pertama, sudah ada dua orang pada hari ini yang menyebut nama Langit. Kedua, ada dua orang juga yang menolak pemberiaan darinya.

"Dunia macam apa ini? Kok sepertinya berbeda sekali dengan dunia yang aku tinggali. Apa karena ada Langit?" batin Daun Merah bertanya-tanya sambil berjalan menuju ke parkiran. Mendadak dia ingin segera sampai rumah untuk kembali ke dunianya.

Di dalam perjalanan senja telah benar-benar sirna. Berganti malam dengan lampu jalanan dan sorot lampu kendaraan. Daun Merah teringat dengan tabloid di dalam bagasi di bawah jok yang dia duduki. Dia pun melajukan kendaraannya lebih cepat. []