webnovel

Baik-baik ya

Kerja jurnalistik yang ditekuni oleh Langit Biru tak melulu berkait dengan narasumber, wawancara dan menulis berita. Ada hal lain yang lebih penting dari itu. Keberpihakan dan integritas.

Media massa sebagai salah satu pilar demokrasi menjadi tolok ukur yang nyata tentang kehidupan berdemokrasi yang terjadi di suatu negara. Media massa yang terlalu kenanan-kananan dan kekiri-kirian menunjukkan adanya ketimpangan. Untuk itu, kuli tinta dituntut bekerja secara jujur dan adil membela kebenaran. Berita yang benar memuat fakta-fakta yang seimbang.

Hanya saja persoalan "perut" sering kali menguji. Langit menyadari dirinya masih belum bisa menjadi seorang jurnalis yang diidealkannya itu. Uang panas yang berada di dalam saku celananya ini meronta-ronta minta pertanggungjawaban. Bagaimana mungkin seorang berintegritas rela sakunya dijejali dengan uang sogokan.

Ini bukan kali pertama. Sudah berkali-kali malahan. Nilainya beragam. Mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu. Dari yang beramplop hingga tanpa amplop. Diberikan secara sembunyi-sembunyi sampai terang-terangan.

Dia sadar dengan menerima uang itu berarti juga dirinya harus siap dicap sebagai wartawan murahan atau bahkan disebut gadungan. Wartawan yang bisa disetir idealismenya. Di sisi lain Langit belajar bahwa dunia ini tidak seputih yang terlihat di permukaan. Bagian tengahnya abu-abu dan di dasarnya adalah gelap. Seringkali dipenuhi oleh noda-noda.

Seorang dosen seperti Pak Dosen Buncit, misalnya, yang semestinya memiliki tingkat intelektualitas tinggi nyatanya masih menggunakan cara kuno untuk menutupi boroknya. Iya, suap. Cara kuno itu bernama suap. Sungguh ironis.

Langit Biru masih melangkah dengan gerak kaki yang mantap meski dia tidak tahu arah yang dituju. Dia masih berbangga. Setidaknya dia telah memiliki tujuan. Ruang Kepala Jurusan Akuntansi. Banyak orang yang memiliki jalan tapi tidak pernah punya tujuan. Hanya berputar-putar menghabiskan kebosanan. Bisa saja menghabiskan kebosanan adalah tujuannya.

Bagaimana mungkin orang bisa hidup tanpa tujuan? Lahir, hidup, dan mati adalah tujuan yang pasti.

Langit menghentikan langkah kaki saat berada di suatu tempat dengan kerumunan mahasiswa yang sedang duduk di bangku-bangku tunggu. Mereka mengelompok tiga-lima orang. Lainnya berseorang diri berjauh-jauhan dari kelompok-kelompok itu. Terdengar tawa dan kelakar dari dalam kelompok dan terlihat kesenduan, kesepian, dan kekuatiran di wajah seorang demi seorang yang berjauhan-jauhan itu. Ponsel, laptop, buku, tas, dan sesuatu di dalam stopmap tak jauh dari aktivitas mereka.

Di hadapan mereka adalah suatu ruang yang sepertinya luas. Empat kali ruang kelas. Ada tiga pintu kaca yang menutup. Dua pintu berdekat-dekatan dan satunya berada di ujung lainnya. Oh, rupanya ruang dosen. Terlihat dari papan petunjuk yang menggantung. Ada dua pintu untuk ruang dosen. Di sebelahnya merupakan ruang Kepala Jurusan dengan satu pintu.

Langit menuju bangku kosong di depan ruang Kajur untuk meletakkan bokong dan mengistirahatkan kaki. Masih ada beberapa puluh menit sebelum dia bertemu dengan Pak Kumis.

Langit teringat kepada Sontoloyo. Dia mengeluarkan ponselnya dan mengetik pesan . "Maaf telah merepotkanmu. Nanti saya langsung ke pusat kota. Kerja. Tidak usah ditunggu. Terima kasih," tulis Langit dan langsung mengirimkannya ke nomor milik Sontoloyo.

Kemudian, Langit bermain-main dengan ingatan dan pikirannya sendiri.

Pengusiran yang dialami oleh Langit ini bukanlah yang pertama. Namun, kali ini yang paling menghinakan. Kemungkinan pengusiran seperti ini memang sudah diprediksi oleh Langit sejak lama. Dia memasuki kelas yang bukan menjadi haknya. Pantas saja mendapat perlakuan itu.

Langit memang sering mengungsi ke ruang kuliah lain. Awal mulanya hanya iseng. Waktu itu, dosennya tiba-tiba membatalkan jadwal kuliah. Izin untuk melakukan penelitian atau pengabdian kepada masyarakat atau apalah. Padahal Langit sudah menyempatkan diri datang lebih awal di kelas. Daripada sudah ngampus tidak mendapat apa-apa, dia pun menyelinap ke ruang kuliah sebelah.

Mula-mula, ke kelas lain dalam satu jurusan. Lalu, berbeda jurusan dalam satu fakultas. Kemudian, lintas jurusan dalam satu perguruan tinggi tempat Langit belajar. Pernah kepergok, namun dia sudah siap dengan argumen.

"Saya sudah membayar kepada kampus ini. Lunas di awal semester. Saya tidak pernah meminta pihak kampus mengembalikan sepeserpun saat dosen-dosennya tidak memenuhi kewajibannya. Apakah saya salah jika ikut belajar di sini, di kampus yang memiliki kewajiban kepada saya untuk memberi ilmu?" kilah Langit Biru.

Alasan seperti itu berhasil membuat dosen-dosen di kampusnya terdiam. Jika pun sampai marah karena tingkah polah Langit, tak sampai terjadi pengusiran seperti tadi.

Langit tahu bahwa yang dilakukannya salah. Tapi ada sesuatu yang berhasil mendorongnya untuk berbuat demikian. Yakni saat rasa ingin tahu meluap-luap dan keinginan mendapat pengalaman baru bergejolak. Langit pun terdorong untuk melakukan hal yang lebih berani: menyusup ke kampus lain.

Dengan cara Langit menyamar menjadi mahasiswa kampus itu. Berpakaian khas sesuai ketentuan dalam berbusana di kampus. Lalu berkenalan dengan satu-dua mahasiswa untuk mengorek informasi. Syukur-syukur bisa diajak berteman. Melalui informasi yang didapat atau teman baru itulah Langit memasuki ruang perkuliahan dengan penuh percaya diri.

"Setidaknya saya tidak menjarah uang rakyat. Saya hanya sedikit mengais ilmu," batin Langit untuk membenarkan tindakannya.

Suara adzan menyadarkan Langit Biru dari lamunannya. Pukul dua belas. Tepat dengan janji yang disepakati untuk bertemu Pak Kumis, Kepala Jurusan Akuntansi. Dia mengabaikan suara adzan itu dan memutuskan mengetuk pintu ruangan di depannya.

"Janji adalah hutang. Hutang kepada manusia urusannya rumit. Jika tidak ditunaikan di dunia, bakal ditagih di akhirat. Padahal di sana tidak ada kesempatan untuk membayar hutang," batin Langit Biru.

Berada di dalam ruangan, udara sejuk langsung menyapa. Begitu pula seorang laki-laki paruh baya berkumis tebal dengan setelan resmi yang sedang duduk di balik meja kerjanya itu pun turut menyapa. Memberikan senyum ramah, berdiri, dan berjalan mendekati Langit Biru untuk memberi sambutan hangat. Jabat tangan yang erat terjadi di antara keduanya. Usai disilakan, segera Langit duduk di sofa panjang berwarna hitam dengan meja kaca kecil di depannya. Kedua benda ini berada persis beberapa langkah di depan meja kerja laki-laki itu. Sebuah televisi layar datar seukuran 32 inch menempel di tembok yang berada di hadapan Langit. Siaran berita siang sedang berlangsung. Laki-laki itu meraih remot, mengecilkan suara televisi, kemudian mengambil sesuatu di kulkas dua pintu di sebelah televisi. Minuman rasa teh disuguhkan kepada Langit.

"Terima kasih sudah datang di kampus sederhana ini. Oh, ya, dengan Mas ..."

"Langit, Pak. Nama saya Langit Biru. Maaf belum memerkenalkan diri," kata Langit.

"Mas Langit, ya, apa yang bisa saya bantu untuk majalah kampus Anda?"

"Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada bapak yang telah meluangkan waktu untuk saya. Saya yakin bapak sibuk."

"Ah, ya, tak apa-apa, Mas."

"Begini bapak, saya dan rekan-rekan sedang menyiapkan laporan tentang budaya mutu yang dilakukan oleh kampus-kampus di kota ini. Kami berasumsi bahwa kampus yang diminati masyarakat pasti menjunjung tinggi kualitas. Terutama jurusan yang bapak pimpin. Pada penerimaan mahasiswa yang lalu pasing grade-nya sangat tinggi. Meski begitu jumlah pendaftarnya tidak sedikit. Untuk itu, saya ingin tahu lebih lanjut tentang budaya mutu sekaligus manajemen mutu yang bapak terapkan di sini."

"Oh, ya, baiklah."

"Mohon maaf saya telah lancang berkeliling di kampus megah bapak. Saya menyaksikan sendiri bahwa jurusan yang bapak pimpin menjunjung tinggi kualitas. Baik secara fisik maupun non-fisik. Saya sangat bangga berada di kampus ini."

"Mas Langit santai saja, ya, anggap seperti kampus sendiri."

"Baiklah bapak, saya akan mulai melakukan wawancara. Bapak menghendaki wawancara formal atau santai?"

"Santai saja, ya, Mas."

Langit mengeluarkan block note dan alat tulis dari dalam tasnya. Menyiapkan ponsel miliknya. Membuka aplikasi perekaman suara dan mulai merekam.

"Pertama, mutu menurut bapak apa?"

"Oh, mutu, ya..."

***

Menjelang pukul 14.00, Langit menyelesaikan wawancara dengan Pak Kumis. Belum sholat yang dijadikan alasan Langit. Tanpa alasan itu, Pak Kumis pasti tidak akan berhenti bicara. Satu pertanyaan saja jawabannya dari A sampai Z. Sudah seperti perkuliahan. Berbagai teori dan pendapat para ahli diuraikan. Terlebih waktu wawancara dijeda oleh santap siang dengan menu spesial.

"Sungguh santapan yang bermutu," batin Langit.

Dari sekian wawancara yang telah dilakukan oleh Langit, ada suatu keunikan yang didapatkan. Satu hal membuat tersenyum saat mengingatnya dan pasti tidak akan dilupakan Langit dari Pak Kumis. Setiap bicara Pak Kumis tak pernah ketinggalan mengucapkan "ya" dengan berbagai macam intonasi dan ekspresi. "Ya..., oh, ya. Hmmm, ya. Wah, ya. Ya, ya, ya...."

"Bisa-bisa jadi buku jika aku tak segera pamit. Judulnya 'ya'. Hehehe," kelakar Langit dalam batinnya.

Langit melangkah gontai meninggalkan ruang kerja Pak Kumis. Dia berusaha mengingat arah datangnya suara adzan tadi. Dengan bertanya kepada orang yang berpapasan dengannya, sampai juga di masjid kampus yang cukup luas, megah, dan indah. Segera saja Langit melakukan aktivitas di tempat itu. Hanya butuh waktu beberapa menit.

Langit merebahkan tubuhnya di beranda masjid. Menutup mata. Meregangkan otot-otot tubuh dan mengistirahatkan pikirannya. Hari ini terasa panjang bagi Langit. Belum lagi aktivitas di tempat kerja nanti. Langit memalingkan muka ke kanan. Masih dalam keadaan terpejam. Tubuhnya bisa dia istirahatkan, namun pikirannya tidak. Dia pun membuka mata. Dilihatnya sebuah kotak infaq yang bertuliskan kotak amal. Ingin rasanya Langit tertawa membacanya.

Setahu Langit amal berarti perbuatan. Segala sesuatu yang dilakukan oleh manusia adalah perbuatan. Mulai dari tidur, bangun tidur, sampai tidur lagi. Ada yang baik, ada yang buruk. "Apa bisa melakukan semua itu di dalam kotak sekecil itu. Mungkin e'ek di kotak itu bisa. Hahaha," batin Langit menahan tawa.

Langit pun bangkit. Berjalan ke arah kotak itu. Merogoh sesuatu dari kantong celananya dan memasukkan ke dalam kotak. Empat lembar berwarna biru. Lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya. Sebuah amplop panjang berwarna putih yang baru saja diterimanya. Cukup tebal. Tak bakal bisa langsung dimasukkan ke dalam kotak. Terpaksa Langit membukanya.

Langit kaget mengetahui isinya. Merah-merah. Kira-kira bisa dibuat membayar kos selama tiga bulan. Langit sempat kecut juga saat mencoba menghitungnya. Ada keinginan untuk mengambil beberapa lembar. Namun niatnya tetap bulat, meski bulatannya agak oval.

Dia memasukkan lembar demi lembar ke dalam kotak itu. Di dalam batinnya terus berbicara.

"Tuhan, ini bukan milik saya. Mana mungkin saya berinfak dengan uang yang membuat panas-dingin ini. Ini adalah milik dua orang dermawan yang sebentar lagi menjadi manusia yang lebih baik lagi. Keduanya malu-malu mengakui kebaikkannya. Makanya menitipkan ini ke saya. Tuhan pasti tahu bahwa saya hanya perantara. Tapi saya tidak sedang menjualkan rumah apalagi menjadi makelar. Jadi, maafkan saya dan berilah kebaikkan kepada keduanya Tuhan. Amin."

Langit merasakan kebahagiaan telah berbuat yang menurutnya benar. Dia lantas pergi meninggalkan masjid kampus ini. Dia berjalan dengan penuh semangat menuju ke jalan raya. Semangatnya melebihi anak TK yang pulang sekolah sambil menyanyikan lagu "Sayonara".

Sesampainya di pinggir jalan raya dilihatnya ada truk yang melintas. Langit mengamati truk itu. Dia hendak menyeberang untuk menunggu angkot yang akan mengantarkannya menuju pusat kota. Saat truk itu melewatinya, Langit masih mengamati. Di bagian belakang bak truk terdapat tulisan besar disertai gambar empat perempuan berpakaian seksi. Tulisan itu dibaca Langit.

"Uang memang bukan segala-galanya. Tapi segala-galanya ada karena uang."

Spontan batin Langit Biru berteriak, "Asem, ik."

Dan, ada perasaan sesal menghinggapinya. Terutama saat melihat gambar empat perempuan itu yang seolah mengejek dirinya dengan senyum dan keseksian. Perempuan-perempuan itu seolah bergantian berbicara, "Pantas saja dia meninggalkamu. Kamu memang pantas ditinggalkan. Dia meninggalkanmu, ya... Dia memilih keputusan yang tepat."

"Segala-galanya ada karena uang," Langit mengulang membaca tulisan di bak truk yang semakin menjauh itu. Tiba-tiba sesosok perempuan berwajah sumringah muncul di benak Langit dengan tangan memegang setangkai bunga waru berwarna kuning.

Langit Biru masih berdiri terpaku di pinggir jalan. []